Guru adalah profesi yang berperan penting dalan membangun sebuah peradaban. Menurut Wikipedia, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Guru merupakan sosok yang sangat berjasa bagi para anak didiknya. Hal ini ditunjukkan ketika para guru mengajarkan ilmu, hingga yang awalnya tidak tahu akan menjadi tahu, yang tidak bisa akan menjadi bisa, dan lain sebagainya.
Tugas guru tidak hanya mentrasnfer ilmu saja kepada murid-muridnya akan tetapi guru yang juga mendidik murid-muridnya supaya bisa menjadi lebih baik lagi. Seorang guru mempunyai tanggung jawab yang besar akan tugas-tugasnya, mereka diberi amanah untuk menyampaikan ilmunya kepada murid-muridnya.
Sumber daya manusia yang berkualitas akan mampu memajukan suatu bangsa. Bagaimana caranya hingga terbentuk sumber daya manusia yang berkualitas? Disinilah tugas penting guru dan sistem pendidikan berperan.
Masa kegemilangan Islam, yakni di masa Kekhilafahan Islam, dimana mayoritas masyarakatnya adalah orang-orang terdidik, tak lepas dari besarnya perhatian negara terhadap seluruh komponen yang bergerak dalam bidang pendidikan.
Karena perhatian yang besar inilah, negara berhasil melahirkan tokoh-tokoh pemikir dan ilmuwan Muslim yang sangat disegani. Misalnya, al-Ghazali, Ibnu Ruysd, Ibnu Sina, Ibn Khaldun, Al-Farabi, al-Khawarizmi dan al-Firdausi.
Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar ( 1 dinar = 4,25 gram emas) (sekitar 29 juta rupiah dengan kurs sekarang,).
Pada zaman Shalahuddin al Ayyubi, gaji guru di dua madrasah yang didirikannya yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah, berkisar antara 11 dinar sampai dengan 40 dinar. Artinya gaji guru bila di kurs dengan nilai saat ini adalah Rp 26.656.850,- sampai Rp 96.934.000,-.
Kepedulian terhadap kesejahteraan guru memberikan dampak yang sangat baik terhadap kualitas anak didik. Dampak ikutannya, terbangun masyarakat yang berilmu, negarapun memiliki sumber daya manusia yang mumpuni dalam mengurusi urusan umat dan negara. Oleh karena itulah, perhatian terhadap guru sudah seharusnya menjadi kewajiban negara.
Namun bagaimana jika kesejahteraan guru tidak diperhatikan? Di kala para pendidik juga harus memikirkan pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan primer? Bagaimana bisa fokus untuk memberikan pelayanan pendidikan terbaik?
Baru-baru ini dunia pendidikan dihebohkan dengan kebijakan yang lagi-lagi tak berpihak. Disebutkan dalam media indonesia.com (20/04/2020), bahwa IKATAN Guru Indonesia (IGI) memprotes langkah pemerintah yang memotong tunjangan guru hingga Rp3,3 triliun lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.
Dalam lampiran Perpres Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, tunjangan guru setidaknya dipotong pada tiga komponen yakni tunjangan profesi guru PNS daerah dari yang semula Rp53,8 triliun menjadi Rp50,8 triliun, kemudian penghasilan guru PNS daerah dipotong dari semula Rp698,3 triliun menjadi Rp454,2 triliun.
Kemudian pemotongan dilakukan terhadap tunjangan khusus guru PNS daerah di daerah khusus, dari semula Rp2,06 triliun menjadi Rp1,98 triliun. Menangani wabah covid-19 yang masih berlangsung hingga saat ini memang memerlukan dana yang tidak sedikit. Namun mengurangi apa yang menjadi hak guru seharusnya bukan menjadi pilihan. Apalagi dalam kondisi ekonomi yang semakin sulit akibat pandemi berkepanjangan.
Sudah terang benderang bagaimana kapitalisme yang diterapkan saat ini tak mampu menyelesaikan berbagai persoalan. Memangkas hak guru untuk mengatasi wabah ibarat solusi tambal sulam. Saatnya untuk kembali pada solusi alternatif yang terbukti keunggulannya. Sistem islam yang memiliki aturan sempurna, memiliki solusi ampuh dalam mengatur perekonomian, termasuk ketika di masa wabah.
Sistem ekonomi Islam tidak akan mengalami jalan buntu seperti dalam kondisi saat ini. Islam dengan pengaturan ekonominya yang sempurna, memiliki strategi dalam pelaksanaannya. Satu sisi, negara harus fokus menyelesaikan masalah pandemi, melakukan seleksi ketat terhadap masyarakat, memisahkan yang sehat dengan yang sakit.
Kemudian melakukan isolasi terhadap yang sakit, dan mengerahkan seluruh ilmuwan dan pakar sampai menemukan vaksinnya. Keluarganya dijamin kehidupannya, apalagi jika ia adalah kepala keluarga. Dengan pengelolaan ekonomi yang diatur dalam Islam, sumber dana untuk menyelesaikan pandemi tentu selalu ada.
Pun jika sampai terjadi kekosongan dalam baitul mal, maka negara akan melakukan hal-hal diantaranya :
Pertama, Mengelola harta milik negara.Misalnya saja menjual atau menyewakan harta milik negara, seperti tanah atau bangunan milik negara. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di Tanah Khaibar, Fadak, dan Wadil Qura. Khalifah boleh juga mengelola tanah pertanian milik negara, dengan membayar buruh tani yang akan mengelola tanah pertanian tersebut.
Semua dana yang yang diperoleh dari pengelolaan harta milik negara di atas akan dapat menambah pendapatan negara. Namun harus diingat, ketika negara berbisnis harus tetap menonjolkan misi utamanya melaksanakan kewajiban ri’ayatus-syu’un.
Kedua, mnarik pajak (dharibah) sesuai etentuan syariah. Pajak hanya dapat ditarik oleh Khalifah ketika ada kewajiban finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dan umat. Dalam Islam, pajak bukanlah sumber pendapatan utama negara, akan tetapi akan diregulasikan jika kondisi genting. Objek wajib pajak pun hanya bagi masyarakat yang berkelebihan dari sisi harta.
Ketiga, menghemat pengeluaran, yakni dengan menentukan pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak mendesak.
Keempat, berutang (istiqradh). Hutang dapat dilakukan dalam kondisi khusus Khalifah secara syar’i boleh berutang ketika memang sangat dibutuhkan, namun tetap wajib terikat hukum-huk4um syariah. Haram hukumnya Khalifah mengambil utang luar negeri, baik dari negara tertentu, misalnya Amerika Serikat dan Cina, atau dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
Alasan keharamannya ada 2 (dua): utang tersebut pasti mengandung riba dan pasti mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang. Khalifah hanya boleh berutang dalam kondisi ada kekhawatiran terjadinya bahaya (dharar) jika dana di baitulmal tidak segera tersedia.
Kondisi ini terbatas untuk 3 (tiga) pengeluaran saja, yaitu: (1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil, dan jihad fi sabilillah; (2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll; (3) untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan, dll.
Dengan adanya alternatif yang dituntun oleh syariah, persoalan wabah ini tidak akan berkepanjangan hingga membawa kepada dampak yang lebih besar.
Penulis : Linda Maulidia, S.Si (Pengajar Sekolah Tahfizh)
Tags
Opini