Oleh : Ummu Habil
(Ibu Rumah Tangga)
Keputusan pemerintah memberlakukan new normal nampaknya sangat tidak tepat. Ini terbukti semakin bertambahnya jumlah kasus positif covid-19.
Sejak diberlakukannya new normal setiap harinya lebih dari 1000 kasus baru terjadi bahkan pada hari Jumat tanggal 10 juli 2020 ini kasus positif bertambah 1.611 orang.
Namun demikian pemerintah mengatakan anggaran kesehatan untuk penanganan Covid-19 yang sebesar Rp. 87,55 triliun tidak akan bertambah hingga akhir tahun walaupun kasus positif covid-19 saat ini semakin banyak dengan jumlah penambahan rata-rata di atas 1000 kasus. Pemerintahan juga beranggapan naiknya kasus hanya karena tes yang semakin massif, bukan karena tidak diputusnya rantai sebaran. Bahkan seolah ini menjadi hal yang wajar dan menjadi prestasi pemerintah karena telah melakukan tes ke lebih banyak orang.
Adanya program pelonggaran PSBB juga seharusnya menjadi evaluasi bagi pemerintah,betapa tidak kebijakan pelonggaran ini justru di ambil ketika kasus Covid-19 ini sedang meningkat.
Seharusnya pemerintah segera membuat kebijakan dan terobosan yang efektif termasuk menambah anggaran untuk penanganan kasus ini.
Alasan lain dari diberlakukannya new normal ini juga untuk menyelamatkan perekonomian negara. Alih-alih menyelamatkan perekonomian, negara justru seolah mengabaikan dan mengorbankan keselamatan dan nyawa banyak rakyatnya.
Islam memiliki solusi tuntas dalam mengatasi pandemi yang terjadi, bukan hanya menyelesaikan masalah kesehatan dan nyawa manusia tetapi aktivitas ibadah dan perekonomian pun bisa berjalan dengan normal.
Isolasi/karantina adalah di antara tuntunan syariah Islam saat wabah terjadi di suatu wilayah. Rasul saw. bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Jika terjadi wabah di tempat kalian berada, janganlah kalian keluar dari wilayah itu (HR al-Bukhari).
Tindakan isolasi/karantina atas wilayah yang terkena wabah tentu dimaksudkan agar wabah tidak meluas ke daerah lain. Karena itu suplay berbagai kebutuhan untuk daerah itu tetap harus dijamin. Ini hanyalah masalah manajemen dan teknis. Relatif mudah diatasi. Apalagi dengan teknologi modern saat ini. Namun demikian, semua itu bergantung pada kebijakan dan sikap amanah Pemerintah sebagai pengurus rakyat.
Tindakan cepat isolasi/karantina cukup dilakukan di daerah terjangkit saja. Daerah lain yang tidak terjangkit bisa tetap berjalan normal dan tetap produktif. Daerah-daerah produktif itu bisa menopang daerah yang terjangkit baik dalam pemenuhan kebutuhan maupun penanggulangan wabah. Dengan begitu perekonomian secara keseluruhan tidak terdampak.
Secara simultan, di daerah terjangkit wabah diterapkan aturan berdasarkan sabda Rasul saw.:
لاَ تُورِدُوا الْمُمْرِضَ عَلَى الْمُصِحِّ
Janganlah kalian mencampurkan orang yang sakit dengan yang sehat (HR al-Bukhari).
Untuk menerapkan petunjuk Rasul saw. itu harus dilakukan dua hal: Pertama, jaga jarak antar orang. Kedua, harus diketahui siapa yang sakit dan siapa yang sehat.
Jaga jarak dilakukan dengan physical distancing seperti yang diterapkan oleh Amru bin ‘Ash dalam menghadapi wabah Tha’un ‘Umwas di Palestina kala itu dan berhasil.
Adapun untuk mengetahui siapa yang sakit dan yang sehat harus dilakukan 3T (test, treatment, tracing). Kecepatan dalam melakukan 3T itu menjadi kunci. Harus dilakukan tes yang akurat secara cepat, masif dan luas. Lalu dilakukan tracing kontak orang yang positif dan dilakukan penanganan lebih lanjut. Mereka yang positif dirawat secara gratis ditanggung negara. Tentu semua itu disertai dengan langkah-langkah dan protokol kesehatan lainnya yang diperlukan.
Dengan langkah itu bisa dipisahkan antara orang yang sakit dan yang sehat. Mereka yang sehat tetap bisa menjalankan aktivitas kesehariannya. Mereka tetap dapat beribadah dan meramaikan masjid. Mereka juga tetap menjalankan aktivitas ekonomi dan tetap produktif. Dengan begitu daerah yang terjangkit wabah tetap produktif sekalipun menurun.
Dengan prosedur sesuai petunjuk syariah itu, nyawa dan kesehatan rakyat tetap bisa dijaga. Agama dan harta (ekonomi) juga tetap terpelihara. Kebijakan seperti itulah yang semestinya diambil dan dijalankan sekarang ini. Apalagi penerapan syariah Islam memang bertujuan untuk memelihara agama, nyawa dan harta manusia.
Tujuan memelihara agama antara lain diwujudkan dengan menjamin syiar-syiar Islam, pelaksanaan ibadah (termasuk shalat berjamaah di masjid), dsb. Islam menilai upaya melarang atau menghalangi syiar Islam dan pelaksanaan ibadah tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariah sebagai dosa besar.
Penerapan syariah Islam juga bertujuan untuk memelihara nyawa manusia. Dalam Islam, nyawa seseorang—apalagi nyawa banyak orang—benar-benar dimuliakan dan dijunjung tinggi. Menghilangkan satu nyawa manusia disamakan dengan membunuh seluruh manusia (Lihat: QS al-Maidah [5]: 32). Nabi saw. juga bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Sungguh lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim (HR an-Nasai, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).
Perlindungan dan pemeliharaan syariah Islam atas nyawa manusia diwujudkan melalui berbagai hukum. Di antaranya melalui pengharaman segala hal yang membahayakan dan mengancam jiwa manusia. Nabi saw. bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارَ
Tidak boleh (haram) membahayakan diri sendiri maupun orang lain (HR Ibn Majah dan Ahmad).
(Dikutip dari buletin Kaffah, No. 144).
Wallah a’lam bi ash-shawab.