Oleh : Dina Eva
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap perempuan meningkat selama pandemi COVID-19. Hal ini berdasarkan survei yang menjaring 2.285 responden sepanjang April-Mei 2020.
Sebanyak 80 persen responden perempuan dalam kelompok berpenghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan mengatakan bahwa kekerasan yang mereka alami cenderung meningkat selama masa pandemi. Secara umum, survei online itu mencatat kekerasan psikologis dan ekonomi mendominasi bentuk KDRT.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Semarang ( (FPsi USM)) Dr Rini Sugiarti mengatakan, kekerasan dalam rumah tangga meningkat selama pandemi COVID-19 dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk ekonomi yang menimbulkan dampak terhadap keluarga Intensitas pertemuan suami dan istri naik akibat gaya hidup yang berubah saat pandemi, kata dia, ikut berpengaruh dalam fenomena peningkatan KDRT. Karena dalam beberapa kasus intensitas pertemuan yang bertambah akan menimbulkan gesekan.
Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Leny Nurhayati Rosalim mengatakan kekerasan pada anak meningkat selama pandemi COVID-19.
Sejumlah perubahan terjadi pada anak, mulai dari kekerasan pada anak, anak tidak senang belajar di rumah, anak tidak bahagia, dan anak bosan berada di rumah.
Survei yang dilakukan Forum Anak terkait pandemi COVID-19, menyatakan bahwa 99 persen anak menyatakan belajar di rumah itu sangat penting. Kemudian 58 persen menyatakan perasaan tidak menyenangkan selama menjalani program belajar di rumah. Sebanyak 49 persen anak juga menyatakan bahwa program belajar dari rumah membebani anak dengan tugas yang banyak.
Dia menambahkan, idealnya orang tua harus mampu menciptakan suasana gembira. Pengasuhan anak pada masa pandemi harus mengalami transformasi.
Leny juga memberikan sejumlah saran pengasuhan anak pada saat pandemi yakni luangkan waktu untuk dihabiskan bersama anak, gunakan kalimat positif dan kembangkan perilaku positif pada anak.
Selanjutnya, tetap tenang dan kelola stres, membuat rutinitas harian yang fleksibel dan konsisten, terbuka tentang informasi COVID-19, dan mengarahkan perilaku anak yang buruk.
Untuk menciptakan iklim yang positif di rumah pada masa pandemi COVID-19 memerlukan komitmen, komunikasi, dan kreatif serta aksi.
Selain itu, KPPPA juga menyediakan layanan konseling bagi orang tua yang menggalami gangguan psikologis pada saat pandemi COVID-19.
Berbagai permasalahan yang kerap terjadi di negeri tak bisa lepas dari sistem sekuler kapitalis yang telah lama mencengkram negeri ini. Sistem yang bersumber dari akal manusia yang lemah telah terbukti gagal memberikan kesejahteraan terhadap rakyat.
Dari wabah Corona yang tak kunjung teratasi, hingga anjloknya perekonomian negeri membuat kesengsaraan setia menemani kehidupan rakyat di negeri ini. Surutnya ekonomi di tengah pandemi membuat kahidupan keluarga semakin tak harmonis lagi, memenuhi kebutuhan hidup, hingga mencukupi tanggungan anak istri tak jarang membuat kekerasan dalam rumah tangga kerap terjadi.
Hal itu menegaskan bahwa sistem kufur ini harus segera diganti dengan sistem yang berasal dari Illahi. Karena telah terbukti lebih dari 13 abad diterapkan berhasil mencetak kegemilangan yang terus terpatri.
Sejarah telah membuktikan, saat negara yang menerapkan hukum-hukum Allah dalam bingkai khilafah berhasil mengatasi wabah yang merambah, dalam masa kekhilafahan Umar Bin Abdul Aziz juga terwujud kesejahteraan yang tiada tara.
Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M) merupakan salah satu masa pemerintahan di era kejayaan islam. Meskipun masa kekhilafahannya cukup singkat, hanya sekitar 3 tahun (99-102 H/818-820 M), namun umat Islam akan terus mengenangnya sebagai Khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat.
Ibnu Abdil Hakam dalam kitabnya Sirah Umar bin Abdul Aziz hal. 59 meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata,”Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya.” (Al-Qaradhawi, 1995).
Kemakmuran itu tak hanya ada di Afrika, tapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Basrah. Abu Ubaid dalam Al-Amwal hal. 256 mengisahkan, Khalifah Umar Abdul mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin di propinsi itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata,”Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka tetapi di Baitul Mal masih terdapat banyak uang.” Umar memerintahkan,”Carilah orang yang dililit utang tapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya.” Abdul Hamid kembali menyurati Umar,”Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitul Mal masih banyak uang.” Umar memerintahkan lagi, “Kalau ada orang lajang yang tidak memiliki harta laludia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya.” Abdul Hamid sekali lagi menyurati Umar,”Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah tetapi di Baitul Mal ternyata masih juga banyak uang.” Akhirnya, Umar memberi pengarahan,”Carilah
yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah pinjaman kepada mereka agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih.” (Al-Qaradhawi, 1995).
Luarbiasa kegemilangan yang ditorehkan pada masa kekhilafahan Umar Bin Abdul Aziz, jika diterapkan pada saat ini di negeri yang kaya akan Sumber daya alam saat ini, sungguh kesejahterynitu tak mustahil bisa dirasakan oleh seluruh lapisan keluarga Indonesia.