Oleh : Mariatul Qibtiyah
Banyak hal yang terjadi saat semua orang menjalani masa pandemi Corona. Mulai dari masalah ekonomi dimana usaha masyarakat banyak yang gulung tikar, para pekerja yang di PHK, dan disaat bersamaan TKA berdatangan.
Dari sisi pendidikan tidak kalah pelik, anak-anak yang belajar dirumah sudah dalam tahap bosan, orangtuanya pun tak kalah jenuh. Tidak sedikit yang mengalami kendala biaya kuota ponsel dan jaringan yang kadang putus nyambung. Di satu sisi membuka sekolah sangat tidak mungkin dilakukan. Adanya tawuran antar pelajar, pesta seks dan kebiasaan ngelem anak remaja di saat pandemi menambah deretan masalah dibidang pendidikan.
Namun persoalan lain turut menghiasi kondisi pandemi. Baru-baru ini media banyak menyoroti masalah perceraian yang makin marak terjadi justru disaat pandemi.
Sebelum pandemi Covid-19, pada bulan Februari lalu, Pengadilan Agama Martapura Kelas I B contohnya, menangani rata-rata 60 perkara perceraian. Bahkan pada bulan Maret, April, dan Mei, angka perceraian rata-rata lima kasus per bulan. Namun sepanjang Januari hingga Juni, Pengadilan Agama Martapura, menangani 267 kasus perceraian. Alasan perceraian didominasi perselisihan karena impitan ekonomi. (kompas tv/30/06/20).
Kondisi penghasilan yang minim bahkan mencapai zero income jelas mempengaruhi kehidupan berumah tangga, karena perut minta diisi. Anak butuh gizi namun ekonomi tidak memadai menjadi pemicu istri minta cerai kepada suami.
Kondisi sistem kapitalisme sekuler meniscayakan bekal berumah tangga yang mumpuni tidak cukup bermodalkan cinta dan materi, namun mengabaikan bekal iman yang kokoh. Hal ini menambah faktor perceraian mendominasi solusi dalam rumah tangga masa kini.
Dalam sistem kapitalisme, standar kebahagiaan hakiki kehidupan yang masih hakiki adalah terpenuhinya kebutuhan yang sifatnya terindera saja atau jasadiyah. Berlimpahnya materi, terpenuhinya semua fasilitas maupun karir yang cemerlang adalah tolak ukur keberhasilan.
Sehingga ketika suami penghasilannya pas-pasan dan disaat bersamaan keinginan terus melonjak karena tuntutan gaya hidup membuat istri tak sabar dalam menghadapi situasi masa pandemi.
Inilah faktor lain yang mempengaruhi lonjakan perceraian saat wabah negeri ini makin menjadi-jadi. Pemerintah bersikap acuh terhadap persoalan rumah tangga ini karena dianggap ranah privasi yang tak bisa di campuri.
Padahal membangun ketahanan keluarga didalam sistem Islam menjadi salah satu fokus utama negara beserta pemerintahannya. Keimanan setiap individu keluarga sangat terjaga. Kontrol masyarakat pun berjalan dengan sangat baik. Posisi negara akan bertanggungjawab penuh dalam mengayomi seluruh rakyatnya. Sehingga ketika terjadi ujian pandemi seperti saat ini, bisa dilewati dengan penuh kesabaran dan ketawakalan atas dasar keimanan kepada Allah Swt.
Selain keimanan masyarakat yang harus dijaga oleh negara, kebutuhan pokok juga harus diperhatikan pemerintah, mengingat faktor yang mendominasi terjadinya perceraian adalah ekonomi yakni urusan perut. Jangan sampai ada kasus perceraian lantaran suami tak bisa menafkahi keluarga terjadi lagi.
Salah satu fungsi negara adalah menyediakan lapangan kerja yang memadai. Sehingga semua kepala keluarga bisa memenuhi nafkah keluarganya.
Maka sudah selayaknya kita segera kembali menerapkan Islam kafah dalam kehidupan, yang telah terbukti bisa mengayomi dan menjamin kebutuhan masyarakatnya.
Wallahu a'lam
Tags
Opini