Oleh Rifdatun Aliyah
Pemerintah mengatakan anggaran kesehatan untuk penanganan Covid-19 yang sebesar Rp87,55 triliun tidak akan bertambah hingga akhir tahun walaupun kasus positif Covid-19 saat ini semakin banyak dengan jumlah penambahan rata-rata per hari di atas 1000 kasus (aa.com.tr/04/07/2020).
Pemerintah beranggapan naiknya pasien Covid-19 hanya karena tes massif yang dilakukan. Bukan karena tidak diputusnya rantai penyebaran. Jika dilihat lebih lanjut, meningkatnya jumlah pasien positif terjadi seiring dengan pelonggaran PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan berlakunya kebijakan 'new norwal'.
Sehingga, kebijakan pelonggaran PSBB inilah yang seharusnya dievaluasi. Selain itu, pemerintah juga harus melakukan terobosa dalam penanganan pandemi ini. Besarnya dana yang harus disiapkan juga harus diprioritaskan agar rantai penyebaran bisa segera diputus.
Namun, apakah mungkin pemerintah akan melakukan hal ini? Jika pemerintah saat ini menyadari akan peran dan tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat, maka hal tersebut akan dilakukannya. Akan tetapi, apabila pemerintah hanya memikirkan bagaimana menaikkan ekonomi akibat defisit ditengah pandemi, maka hal itu akan sulit dilakukan.
Hal ini lumrah terjadi di negara-negara yang mengemban ideologi kapitalis dan terjerat dengan hutang ribawi. Sebab, bagi negara pengemban ideologi kapitalis, menghidupkan ekonomi yang disokong oleh para kapitalis (pemilik modal) adalah hal yang harus diutamakan.
Negara sangat bergantung kepada pajak diberikan para kapitalis termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam.Padahal sejatinya negaralah yang memiliki wewenang atas pengelolaan sumber daya alam. Sehingga, meskipun pandemi masih terjadi, rakyat dibiarkan terjun ke 'medan tempur melawan virus' tanpa adanya jaminan perlindungan dari negara.
Prinsip kepengurusan rakyat ditengah pandemi yang dilakukan negara kapitalis sangat jauh berbeda dengan kepengurusan yang dilakukan oleh sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah Islamiyah. Dalam pandangan Islam, negara wajib memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh warga negara. Ditengah pandemi, Khilafah akan membiayai seluruh dana yang diperlukan dalam usaha memutus rantai penyebaran wabah. Hal ini tentu saja diiringi dengan sikap karantina wilayah yang dilakukan negara.
Pembiayaan kesehatan dan kebutuhan rakyat lainnya diambil dari dana hasil pengelolaan sumber daya alam yang sejatinya merupakan milik umum yang harus dikelola oleh negara. Dana dari baitul mal yang berasal dari ghanimah (harta rampasan perang), jizyah (pembayaran dari non-Muslim untuk menjamin perlindungan keamanan), kharraj (pajak atas tanah atau hasil tanah), dan lain sebagainya juga dapat digunakan jika dana dirasa tidak mencukupi.
Bahkan, jika krisis ekonomi sedang melanda negara, Khalifah sebagai kepala negara dapat meminta bantuan kepada seluruh Gubernur wilayah agar turut serta membantu rakyat dalam memenuhi kebutuhan hingga pandemi berakhir dan rakyat dapat beraktivitas serta mencari nafkah sendiri. Inilah sebagian gambaran atas kepemimpinan seorang pemimpin yang amanah berlandaskan keimanan kepada Allab SWT. Para Khalifah yang memimpin rakyat dengan sistem Islam memahami betul bahwa menjadi pemimpin negara merupakan sebuah tugas yang kelak juga akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Mereka juga menyadari betul hadis Rasulullah SAW. Beliau SAW bersabda, "Siapa saja yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum Muslim, lalu dia tidak peduli kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan peduli kebutuhan dan kepentingannya (pada Hari Kiamat).” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi). Sudah saatnya umat Islam bangkit kembali dengan Islam. Karena Islam bukanlah agama spiritual belaka. Namun juga merupakan sebuah ideologi terbaik yang pernah diterapkan selama lebih dari 13 abad.
Tags
Opini