Oleh: Sri Mariana,S.Pd
(Pemerhati Keluarga dan Generasi)
Kebijakan pemerintah untuk melakukan relaksasi pembatasan sosial, yang sebenarnya masih sangat longgar, justru berpotensi memicu peningkatan kasus baru penderita Covid-19 di Indonesia. Pasalnya, dari perspektif epidemologi, saat ini Indonesia belum layak untuk melakukan pelonggaran sosial. Penilaian yang dilakukan WHO per 2 Juni 2020, membuktikan hal tersebut. Menurut lembaga tersebut, ada tiga syarat pelonggaran pembatasan sosial, yaitu: terjadi penurunan kasus baru secara terus menerus setidaknya 50% selama periode tiga minggu sejak puncak; jumlah sampel tes yang positif untuk COVID-19 kurang dari 5%, setidaknya selama dua minggu terakhir; penurunan jumlah kematian di antara kasus yang dikonfirmasi dan yang mungkin terkena setidaknya selama 3 minggu terakhir.
Namun, dari penilaian WHO selama April dan Mei, seluruh provinsi di Jawa tidak memenuhi syarat tersebut. Lebih dari itu, kriteria tersebut tidak dapat diterapkan kecuali di Jakarta, lantaran tes minimal yang diperlukan adalah 1 per 1000 dalam seminggu. Dengan demikian, dua kriteria pertama tidak dapat diterapkan secara ideal. Jumlah kematian yang diumumkan pemerintah juga tidak dapat diterapkan secara ideal, sebab hanya pada pasien yang terkonfirmasi yang dihitung, sementara Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang meninggal tidak masuk dalam perhitungan tersebut.
Kasus positif Covid-19 semakin menunjukkan peningkatan yang signifikan. Bahkan, sempat menyentuh angka 500 kasus dalam satu hari. Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengakui hal tersebut. Ia mengatakan peningkatan kasus lantaran semakin masifnya test Covid-19 yang dilakukan petugas.
"Memang kita lihat tren peningkatan kasus konfirmasi positif mengalami peningkatan. Kenapa meningkat? Karena kemampuan kita untuk testing semakin besar," jelas Doni Monardo dalam video conference usai rapat bersama Presiden Jokowi, Senin (11/5).
Menurut dia, semakin masifnya tes corona dilakukan sesuai instruksi Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Pasalnya, Jokowi menargetkan agar tes spesimen dilakukan 10.000 setiap harinya(Merdeka.com/11/7/2020).
Berdasarkan laporan data pada akun Twitter @BNPB_Indonesia, Sabtu (11/7/2020) sore, tercatat ada 1.671 kasus baru. Sehingga total kasus virus corona di Indonesia menjadi 74.018 orang.
Untuk jumlah pasien yang sembuh bertambah sebanyak 1.190 orang.Total pasien sembuh yakni 34.719 orang.Sedangkan 3.535 pasien positif virus corona dilaporkan meninggal dunia.
Jumlah tersebut bertambah 66 dari pengumuman di hari sebelumnya.Penyebaran virus corona di Indonesia ini tersebar dalam 34 provinsi di Indonesia.Per hari ini, Jawa Timur mencatat kasus baru terbanyak dengan jumlah penambahan 409, sehingga total ada 16.140 kasus( Tribunternate.com/11/7/2020)
Ironisnya, bertambahnya korban tidak dibarengi dengan bertambahnya anggaran kesehatan. Anggaran kesehatan untuk penanganan Covid-19 yang sebesar Rp87,55 triliun tidak akan bertambah hingga akhir tahun walaupun kasus positif Covid-19 saat ini semakin banyak dengan jumlah penambahan rata-rata per hari di atas 1000 kasus.
Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Kunta Wibawa Dasa Nugraha mengatakan kasus positif saat ini memang semakin tinggi karena tes yang semakin banyak, namun rasio kasus sebenarnya sama(Nasional/4/7/2020)
Padahal tingginya angka penularan di Indonesia diantaranya disebabkan oleh kurang seriusnya pemerintah untuk menambah fasilitas kesehatan penanganan Covid-19, seperti Alat Pelindung Diri (APD); ventilator; dan tes kit seperti, reagent dan tabung Virus Transfer Media (VTM). Jumlah ventilator saat ini sekitar 8.400 unit. Jumlah tersebut masih sangat kurang jika dibandingkan dengan lonjakan penderita yang mengalami gangguan pernafasan akibat Covid-19.
Pemerintah semestinya mengambil pelajaran dari negara-negara lain bahwa terburu-buru melakukan relaksasi hanya akan meningkatkan jumlah korban. Negara-negara yang melakukan relaksasi pembatasan sosial adalah negara-negara yang menunjukkan kurva kasus baru yang telah menurun secara persisten dari posisi puncak, seperti Cina, Taiwan, New Zealand, Jerman, dan beberapa negara Eropa lainnya. Sebaliknya, beberapa negara berkembang yang mencoba melakukan pelonggaran di saat pandemi masih berkecamuk alias kurvanya masih bergerak naik, justru mengalami nasib yang tragis. Brazil, misalnya, mulanya bertindak cepat untuk melakukan lockdown untuk mencegah penularan virus Covid-19, namun keputusan pemerintah yang gegabah untuk melakukan pelonggaran membuat jumlah kasus baru di negara ini naik tajam. Hal serupa terjadi di Meksiko, dua hari setelah pemerintah mengumumkan normalisasi kegiatan ekonomi pada 1 Juni, jumlah penderita baru melonjak menjadi 3.891 kasus baru dari angka tertinggi bulan Mei sebesar 3.463.
Kebijakan tersebut jelas sangat membahayakan rakyat negara ini. Nabi saw bersabda:“Tidak boleh melakukan tindakan bahaya (mudarat) dan tidak boleh menyebabkan bahaya bagi orang lain(dari Abu Sa’id Sa’d bin Malik bin Sinan al-Khudri ra).
Oleh karena itu, dalam konteks ini, semestinya pemerintah memperkuat implementasi kebijakan yang bertujuan memutus mata rantai virus; meningkatkan kemampuan tenaga medis untuk melakukan tes, menelusuri (tracing) pihak yang berhubungan dengan penderita hingga beberapa lapis, dan melakukan tindakan yang optimal kepada penderita.
Nabi saw bersabda:
“Pemimpin itu adalah pelayanan. Dan dia bertanggungjawab atas seluruh rakyatnya.”
Walhasil, kebijakan pemerintah melakukan kebijakan pelonggaran pembatasan sosial dengan jargon New Normal, di saat kasus baru penderita Covid-19 masih tinggi, merupakan tindakan yang zalim yang bertentangan dengan syariat Islam. Jika pemerintah tetap memberlakukan kebijakan tersebut, maka ini menjadi bukti kesekian kalinya bahwa penguasa saat ini lebih tunduk pada kepentingan para pebisnis dibandingkan mengurusi rakyatnya secara umum. Wallahu a’lam bi shawab.