Oleh: Ida Farida S.Pi
Euforia new normal di tengah masyarakat tidak terbendung. Beragam kegiatan outdoor kembali marak. Setelah hampir dua bulan PSBB tampak pemberlakuan new normal disambut dengan riuh. Pro Kontra pemberlakuan new normal menjadi perdebatan yang tenggelam di tengah kesibukan normal baru masyarakat. Bisa jadi ini mampu menggoyahkan bagian masyarakat yang sebelumnya yakin kondisi masih berbahaya. Masyarakat terbelah, saling merasa terancam. Sungguh menyedihkan.
New Normal Abaikan Nyawa Manusia
New normal Indonesia di tengah memuncaknya kasus positif adalah kebijakan yang salah. New Normal life berarti mendorong rakyat untuk berada dalam kenormalan aktivitas di tengah pandemi, bedanya aktivitas dengan protokol kesehatan.
Dalam kondisi virus belum terkendali, virus bagaikan api yang berkobar. Akan membakar kayu apa saja yang ada di sekitarnya. Dan kayu itu adalah manusianya. Bila manusia tidak dibatasi mobilitasnya. Maka tak bisa dihindari kebakaran besar terjadi. Maka akan dimungkinkan kasus infeksi bertambah banyak.
Kebijakan nekat ini sesungguhnya karena sedari awal, negara memang fokus pada perbaikan ekonomi. Misalnya diawal Januari pemerintah sibuk melakukan penolakan virus bisa masuk ke Indonesia. Malah kemudian memberikan stimulus pada sektor pariwisata. Katanya ini peluang datangkan turis lebih banyak. Karena negara lain lockdown. Ini membuktikan kebijakan negara fokusnya ekonomi bukan antisipasi.
Kemudian tidak mau lockdown ketika kasus positif di Indonesia ada. Kebijakannya PSBB saja, karena APBN katanya sedang kronis. APBN tidak mampu menjamin kebutuhan pokok rakyatnya selama lockdown. Padahal mampu stimulus bank sebanyak 300T untuk selamatkan rupiah. Kebijakan Ini berarti itung-itungan ekonomi untuk kendalikan pandemi.
Kini paling akhir menetapkan new normal, agar ekonomi kembali bangkit. Karena negara terancam masuk resesi. Mendorong masyarakat kembali beraktivitas seperti biasa. Menggiatkan kembali produksi dan konsumsi dalam masyarakat. Kebijakan Ini berarti utamakan pertumbuhan ekonomi di atas keselamatan nyawa penduduk negeri.
Fokus utama harusnya selamat kan masyarakat dari pandemi. Baru bicara soal selamatkan ekonomi. Ini sulit dilakukan karena penguasa terlilit oligharki ekonomi. Di tengah lesunya ekonomi karena krisis ekonomi sebelum pandemi. Ditambah adanya pandemi, ekonomi terancam mati. Negara memilih ekonomi dari keselamatan penduduk negeri. Karena negara menerapkan kapitalisme sebagai solusi.
Menurut ekonomi kapitalisme, setiap krisis akan ada korban berjatuhan. Itu adalah hal wajar agar keseimbangan baru dalam ekonomi kembali terwujud. Akan ada yang selamat berati adalah yang kuat dan akan ada yang kalah berarti berarti yang lemah. Begitulah rimba ekonomi kapitalisme, sungguh kapitalisme kamu jahat!
Islam Harusnya Menjadi Solusi
Kapitalisme harus selalu memilih keselamatan manusia ataukah keselamatan ekonomi. Sistem ini tidak mampu mewujudkan keselamatan kedua-duanya. Berarti ada cacat dalam sistemnya.
Sistem Islam memberikan jaminan atas keduanya, manusia dan ekonomi. Sekalipun dalam kondisi pandemi. Jaminan Islam bersumber dari solusi Syariah. Kebenarannya karena bersumber dari Alloh SWT. Dan terbukti secara secara historis.
Ketika pandemi terjadi maka Islam kebijakan fokus pada keselamatan manusia. Ekonomi dipandang sebagai sarana yang akan tumbuh bila manusia di dalamnya terjaga kesehatan dan keselamatannya.
Bila wabah muncul dan menjadi pandemi maka Islam memerintahkan lockdwon daerah yang terkena wabah agar wabah tidak menyebar lebih luas. Metode ini diterapkan Umar bin Khattab pada saat terjadi wabah di kota amwas pada abad 17H.
Daerah yang terlockdown dijamin seluruh kebutuhan nya oleh negara baik kesehatan dan ekonominya. Dengan kebijakan ini wilayah lain yang sehat masih tetap bisa berproduktifitas karenanya ekonomi bisa tetap berputar.
Islam telah menerapkan social distancing dan menjadi cara efektif menghilangkan virus di kota amwas. Ini diterapkan pada masa gubernur Amru bin Ash. Bila penanganan membutuhkan hasil penelitian maka Islam mendorong para peneliti menemukan sebuah cara agar penularan bisa d kendalikan. Saat ini metode 3T ( Tracking, Test, Trace) bisa diadopsi oleh Islam untuk memisahkan yang sakit dari yang sehat. Sehingga yang sehat tetap bisa beraktivitas.
Negara punya kapasitas yang besar dalam pembiayaan total aspek kesehatan dengan tetap menjaga stabilitas ekonomi. Karena pertama negara punya fleksibilitas relokasi anggaran, melalui Baitul Maal. Filosofi pengeluaran Baitul Maal memenuhi seluruh kebutuhan dan kemaslahatan rakyat secara tuntas.
Yang kedua pendapatan Baitul Maal sangat besar. Ada tiga sumber pendapatan pokok negara, yaitu berasal dari harta fai dan ghanimah, harta kepemilikan umum dan harta infak, zakat shodaqoh. Kepemilikan umum berasal dari kekayaan hutan, laut dan pertambangan. Seluruhnya dikelola oleh negara, dan hasil yang diperoleh seutuhnya untuk kemaslahatan ummat.
Misalkan dari potensi laut Indonesia saja, menurut Rokhmin Dahuri, nilai potensi lestari laut Indonesia baik hayati, non hayati, maupun wisata adalah sekitar US$ 82 Milyar atau Rp. 738 Triliun. Belum dari pertambangan dan hasil hutan. Negara akan memiliki dana yang cukup besar untuk kemaslahatan rakyatnya. Dana tersebut hanya bisa dikelola secara penuh oleh negara untuk kemaslahatan rakyat dengan konsep ekonomi Islam yang diterapkan dalam sistem khilafah.
Bila kas Baitul maal kurang maka negara memiliki mekanisme pinjaman. Dalam khilafah, negara dibolehkan pinjam kepada rakyatnya yang kaya. Islam melarang keras pinjaman luar negeri yang dijadikan sebagai alat penjajahan. Bila mekanisme pinjaman belum cukup juga, mekanisme terakhir adalah penerapan pajak. Pajak ditetapkan terbatas pada rakyat dari kalangan muslim alaki-laki yang mampu. Pajak dihentikan setelah masalah tuntas.
Dari mekanisme tersebut bisa tergambar bagaimana khilafah akan mampu menyelesaikan pandemi sehingga masyarakat kembali sehat sambil tetap mampu menjaga stabilitas ekonominya. Bukti Sejarah mencatat, Granada bisa kembali bangkit dari wabah Black Plague abad ke 14 dan berhasil menyelesaikan proyek pembangunan istana Alhambra. Sementara itu, di periode waktu yang sama, di kota Siena, Italia, yang sedang merenovasi Katedral Siena terhenti proyeknya akibat wabah yang sama dan tidak pernah bisa menyelesaikannya seusai wabah berakhir hingga kini (Ober &Aloush, 1982).
Sistem Islam menjadikan manusia sebagai sentral peradaban sehingga manusia dijadikan subyek yang harus di jaga nyawa, harta , agama dan kehormatannya. Berbeda dengan kapitalisme, kemajuan materi dijadikan pusat peradaban. Manusia bisa saja dikorbankan bila hal itu menjadi keharusan. Sungguh sudah saatnya kita kembali pada Islam, kembali pada sistem khilafah yang akan menerapkannya.
Lampiran :
Ober, W.B., &Aloush, N. (1982). The plague at Granada, 1348-1349: Ibn Al-Khatib and ideas of contagion. Bulletin of the New York Academy of Medicine, 58 4, 418-24.
Tags
Opini