Oleh: Ummu Aisyah
Peribahasa biar lambat asal selamat, mungkin cocok untuk beberapa persoalan. Namun untuk tim work sebuah perusahaan, terlebih sebuah kabinet pemerintahan, jelas tidak boleh terjadi. Karena berakibat sangat fatal. Baru-baru ini heboh warga medsos sikapi kemarahan Bapak Jokowi. 'Marah Unfaedah' menjadi trending. Lambannya kabinet kerja yang beliau pemimpin dalam menangani pandemi menjadi penyulut kemarahannya. Ancaman Presiden untuk reshuffle pun terlontar. Tuntutan bekerja dengan sense of crisis dan melakukan kebijakan extraordinary menjadi hal yang direkomendasikan.
Kelambanan tim kabinet jelas tidak bisa dilepaskan dari top leader-nya. Menteri adalah pembantu presiden. Menteri akan bekerja dan membuat kebijakan berdasarkan arahan presiden. Kemarahan pemimpin setelah 4 bulan berjalan sangat memilukan hati rakyat. Bagaimana tidak, selama pandemi para tim medis mengeluhkan kurangnya Alat Pelindung Diri (APD), mempertanyakan insentif yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan pemerintah hingga puluhan tim medis meninggal setelah positif covid-19. Suara hati para tim medis ini seakan hilang bersama angin dan tidak sampai ke istana. Namun kini istana baru menyadari ternyata dana yang dianggarkn untuk kesehatan sebesar Rp.75 Trilliun baru keluar 1,53 persen. Begitu juga dengan kondisi ekonomi rakyat. Sudah ribuan rakyat jadi korban PHK. Rakyat menjerit tak bs memenuhi kebutuhannya saat pandemi, pun baru terkoreksi jika dana bansos belum seluruhnya cair untuk rakyat. Seakan baru menyadari juga bahwa kelambanan ini disebabkn pula oleh sistem yang ada. Hal ini tergambar dari pernyataan menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Beliau mengatakan kebijakan stimulus fiskal untuk penanganan COVID-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menghadapi 'musuh baru'. Permasalahan ini terjadi di level operasional dan proses administrasi. “Kondisi ini terjadi mengingat stimulus ini baru awal dan akan dilakukan perbaikan untuk percepatan," kata Sri Mulyani dalam webinar di Jakarta, Sabtu (27/6) dikutip dari Antara.
Beliau juga mengatakan tantangan tersebut membuat penyerapan belanja stimulus fiskal masih melambat dan belum optimal hingga mendekati akhir Juni 2020.
Demikianlah sistem Kapitalis bekerja. Dari sisi orang yang melaksanakan, tidak terbentuk sikap amanah dan tanggung jawab, pemahaman bahwa setiap amal akan diminta pertanggungjawaban pun tidak ada dalam sistem ini. Memunculkan sikap lamban dan kurang prioritas. Dari sisi mekanisme pelaksanaan pun lamban bahkan kadang tumpang tindih. Inilah satu hal yang belum pernah disadari oleh pemimpin atau petinggi di manapun bahwa semua hal tadi merupakan buah penerapan sistem Kapitalis. Tidak sekedar masalah orang, namun juga sistemnya. Oleh karenanya, jika ingin memperbaiki kinerja dalam pemerintahan, reshuffle bukanlah solusi. Sebab ada masalah yang lebih krusial yaitu sistem yang diterapkan.
Maka jika kita ingin memiliki pejabat yang penuh amanah dan tanggap krisis, memiliki sistem administrasi yang mudah dan sederhana birokrasinya, tidak ada pilihan lain kecuali sistem Islam. Sungguh Islam adalah agama sempurna yang berasal dari pencipta manusia dan alam semesta ini. Sistem yang mengatur mulai dari urusan aqida, ibadah hingga bernegara. Terkait kinerja pejabat,Islam memiliki pandangan yang jelas. Bahwa setiap pemimpin harus amanah dan akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW. Ketika Abu Musa al-Asy’ari r.a. bersama dua orang dari Bani ‘Ammi menemui Rasulullah saw, dan salah seorang di antaranya meminta Nabi saw agar memberikan jabatan kepada mereka, maka Nabi saw pun bersabda,
إِنَّا وَاللَّهِ لاَ نُوَلِّى عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ ».
''Sesungguhnya, demi Allah! Kami tak akan memberi amanah kekuasaan kepada seseorang yang memintanya, dan juga pada orang yang berambisi padanya.'' (Hadits Riwayat Muslim ari Abu Musa al-Asy’ari, Shahîh Muslim, juz V, hal. 6, hadits no. 4821).
Sebagaimana hadits dari Abdullah bin Umar r.a.,
أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang memimpin manusia akan bertanggung jawab atas rakyatnya." (Hadits Riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar, r.a. Shahîh Muslim, juz VI, hal. 7, hadits no. 4828).
Rasulullah saw bersabda,
إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ إِذَا أُسْنِدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.
''Apabila amanah disia-siakan tunggulah saat kehancurannya. ". Orang itu bertanya: "Apa yang dimaksud dengan disia-siakannya amanat itu ya Rasulullah?" Rasulullah pun menjawab: "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggullah saat terjadinya kehancuran itu". (Hadits Riwayat Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, hal. 129, hadits no. 6496).
Islam juga telah menunjukkan dalam sejarah panjangnya bagaimana seorang pemimpin dalam memilih pejabatnya agar benar-benar amanah dan optimal menjalanka tugas negara. Salah satunya adalah Umar bin Abdul Aziz, Kholifah dari dinasti Umayyah. Maimun bin Mahran menyebutnya sebagai guru ulama. Karena menurutnya, Umar bin Abdul Aziz adalah seorang imam, ahli fiqih, mujtahid, paham akan sunnah, berkedudukan tinggi, seorang hafidz, tunduk kepada Allah, suka bertaubat, bagus sejarah hidupnya dalam menegakkan keadilan seperti kakeknya dari pihak ibu (Umar bin Khattab).
Salah satu tolok ukur yang dapat diambil pelajaran dari sistem pemerintahan Islam adalah cara ia mengangkat pejabat kekhalifahan. Karena pejabat di bawah khalifah adalah faktor penentu untuk bisa tidaknya pemerintahan berjalan baik atau sebaliknya. Ketika Umar bin Abdul Aziz memilih pejabat, hal utama yang diperhatikannya adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul.
Umar bin Abdul Aziz adalah seorang yang sangat teliti dalam mengangkat pegawai dan pejabatnya. Ia menetapkan tiga syarat mutlak yang harus dipenuhi pejabat atau pegawainya. Syarat itu adalah harus bertaqwa, amanah, dan menjalankan agama dengan baik.
Jika kita tinjau syarat tersebut, akan berbanding terbalik dengan pejabat pemerintahan negeri ini baik dalam skala nasional maupun lokal. Bahkan ada beberapa kalangan yang menganggap syarat tersebut adalah syarat pendamping sehingga tidak menjadi mutlak yang wajib dipenuhi oleh seorang calon pejabat.
Syarat yang ditetapkan Umar bin Abdul Aziz bukan hanya ada dalam selembar kertas yang menjadi manuskrip lusuh tanpa ada tindak lanjutnya. Sebagai contoh, ketegasan Umar Bin Abdul Azis bisa kita lihat dari fakta sejarah pada saat sang khalifah mencopot jabatan Khalid bin Rayan. Khalid bin Rayan pada masa itu adalah kepala keamanan pada masa khalifah sebelumnya yang terkenal zalim. Kemudian khalifah berjalan melihat calon yang akan menggantikan jabatan Khalid. Pandangannya tertuju pada wajah Amru bin Muhajir Al-Anshari dan kemudian khalifah berkata, “Demi Allah, kamu sendiri tahu wahai Amru, bahwa di antara aku dan kamu tidak ada kekerabatan kecuali dalam Islam, namun aku sering mendengar kamu selalu membaca Alquran dan aku juga melihatmu melaksanakan shalat di tempat yang kamu pikir tidak ada seorangpun melihatmu, dan aku lihat shalatmu kala itu lebih khusyuk dibanding shalat di tempat yang dapat dilihat orang lain. Karena itu, ambillah pedang ini, karena aku akan mengangkatmu sebagai kepala keamananku”. Begitulah Kholifah Umar bin Abdul Azis memilih orang yang akan diberinya jabatan untuk memimpin rakyat.
Tidakkah kita ingin mengulang kepemimpinan seperti ini kembali? Yaitu kepemimpinan berdasarkan Syari’at Islam kaffah.
Wallahu a’lam bish-showab