Oleh Melitasari
Seruan aksi boikot produk Unilever tengah ramai digaungkan di dunia maya, aksi ini adalah sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap perusahaan Unilever global yang pada 19 Juni lalu resmi menyatakan diri berkomitmen mendukung gerakan L98TQ+. Hal tersebut disampaikan melalui akun Instagram resminya.
"Kami berkomitmen untuk membuat rekan L98TQ+ bangga karena kami bersama mereka. Karena itu, kami mengambil aksi dengan menandatangani Declaration of Amsterdam untuk memastikan setiap orang memiliki akses secara inklusif ke tempat kerja," kata Unilever.
Unilever juga membuka kesempatan bisnis bagi L98TQ+ sebagai bagian dari koalisi global. Selain itu, Unilever meminta Stonewall, lembaga amal untuk L98T, mengaudit kebijakan dan tolok ukur bagaimana Unilever melanjutkan aksi ini.(Republika.co.id, 29/06/20)
Pernyataan resmi tersebut lantas menuai banyak kecaman dari berbagai pihak, baik dari elemen masyarakat sebagai pengguna produk, hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang turut mengajak masyarakat untuk memboikot produk Unilever dan beralih ke produk lain.
Menurut Azrul, kampanye pro L98T yang tengah gencar dilakukan Unilever sudah keterlaluan dan sangat keliru. Azrul juga menyayangkan keputusan Unilever untuk mendukung kaum L98T.
“Saya kira Unilever ini sudah keterlaluan. Kalau ini terus dilakukan, saya kira ormas-ormas Islam bersama MUI akan melakukan gerakan anti-Unilever atau menolak Unilever dan kita mengimbau masyarakat untuk beralih pada produk lain,” katanya menegaskan.
Membuat boikot terhadap produk perusahaan pendukung L98T memang akan merugikan produsen, namun tidak ada jaminan bahwa dukungan terhadap kebobrokan L98T akan dihentikan. Faktanya di era dominannya kapitalisme, MNC perusahaan Multinasional pendukung LGBT berpihak pada liberalisme yang diagungkan dan memberi lahan subur bagi bisnis mereka.
Di mana liberalisme secara umum merupakan sebuah pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama. Paham liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu.
Paham ini menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Kebebasan tanpa aturan akan melahirkan banyak penyimpangan, termasuk diantaranya adalah penyimpangan seksual seperti adanya kaum L98T. Namun bagi sistem kapitalis yang notabenenya mengedepankan asas untung rugi, keberadaan mereka adalah sesuatu yang menguntungkan. Pasalnya kaum L98T adalah pangsa pasar yang cukup besar.
Berbeda halnya dengan kapitalis, dalam sistem Islam homoseksual merupakan perbuatan keji (pelaku fahisyah) yang tergolong ke dalam dosa besar, dan sebagai perilaku khabits atau perbuatan hina karena menyalahi fitrah manusia yang secara normal menyukai lawan jenis.
Hubungan homoseksual antara laki-laki dengan laki-laki statusnya jauh lebih buruk dibandingkan pezina sebagaimana Allah telah menimpakan hukuman yang berat kepada kaum nabi Luth yang belum pernah ditimpakan pada siapapun sebelumnya.
Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi (Q.S. Hud [11]: 82).
Dalam sistem Islam pelaku L98T harus dibunuh sebagai hukuman untuk mereka di dunia, seperti dikatakan dalam sebuah hadist
"Siapa menjumpai orang yang melakukan perbuatan homo seperti kelakuan kaum Luth maka bunuhlah pelaku dan objeknya!” (HR. Ahmad 2784, Abu Daud 4462, dan disahihkan al-Albani).
Hal ini menunjukkan betapa kejinya perbuatan homoseksual tersebut hingga mereka harus dibunuh dengan cara dilemparkan dari tempat yang paling tinggi dengan keadaan terjungkir lalu kemudian disusul dengan lemparan batu yang besar.
Begitupun dengan para pendukung L98T seperti istri nabi Luth yang Allah timpakan azab kepadanya bersamaan dengan azab para pelakunya. Dengan adanya hukuman yang berat terhadap pelaku L98T, maka dapat dipastikan tindakan penyimpangan tersebut akan mudah dihentikan, dan menyetop terjadinya penyebaran paham yang semakin meluas.
Hukum tersebut hanya dapat dilaksanakan dalam sistem yang yang menganut paham Islam sebagai ideologinya. Sehingga jalan yang diambil bukanlah hanya sekedar memboikot produk pendukung perilaku seksual yang tidak menjamin dukungan tersebut dihentikan, melainkan dengan penerapan hukum sesuai syara yang membuat efek jera dan menghapuskan dosa. WAllahu 'alam bishowab.
Tags
Opini