Islam Menjamin Infrastruktur dalam Pendidikan


 

Oleh : Shintami Wahyuningsih (Aktivis Muslimah Banyuasin)

Curva kasus covid-19 yang semakin hari semakin meningkat, menyebabkan sistem pembelajaran jarak jauh pun harus diperpanjang, tidak tahu sampai kapan belum ada yang bisa memastikan. Kebijakan penerapan pembelajaran jarak jauh ini dilakukan untuk mengurangi dampak pandemi covid-19. Namun yang menjadi persoalannya, bagaimana penerapan sistem pembelajaran daring (dalam jaringan) ini bisa diakses oleh puluhan juta pelajar di seluruh Indonesia. 

Fakta yang terjadi menunjukan bahwa sistem pembelajaran secara daring ini tidak mampu diakses oleh sebagian  besar pelajar terutama yang berada di lokasi terpencil atau pedesaan, namun bukan hanya lokasi yang menjadi persoalan tetapi juga tingkat pendidikan, pekerjaan, dan status ekonomi orang tua pun menjadi penentu dalam kemampuan pelajar mengakses pendidikan secara daring.

Sebagaimana riset terbaru dari INOVASI, terhadap 300 orang tua siswa sekolah dasar di 18 kxabupaten dan kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Utara (Kaltara), dan Jawa Timur mengonfirmasi ketimpangan tersebut. Sebelum ada putusan resmi Kemendikbud, 76% orang tua murid mengaku telah mulai menerapkan kebijakan belajar dari rumah sejak pekan ketiga (16-22) Maret. Namun kenyataannya, hanya sekitar 28% anak yang sanggup belajar menggunakan media daring untuk belajar maupun menggunakan aplikasi belajar daring. Adapun 66% pelajar menggunakan buku dan lembar kerja siswa, dan 6% orang tua menyatakan tidak ada pembelajaran sama sekali selama siswa diminta belajar dari rumah.

Faktor geografis pun berpengaruh. Semakin jauh lokasi seorang murid dari “pusat pembangunan”, semakin terkucil dari pembelajaran daring. Di Jawa Timur, 40% responden menyatakan anak mereka dapat mengakses pembelajaran daring. Angka ini merosot di NTB, di mana pembelajaran daring kurang dari 10%, dan menurun lagi di NTT (hanya 5%).

Anak-anak yang memiliki akses pembelajaran daring umumnya memiliki orang tua yang bekerja sebagai karyawan pemerintah (39%) dan wiraswasta (26%), dan memiliki latar belakang minimal S1 (34%) dan SMA (43%). Padahal, mayoritas responden yang diminta melakukan pembelajaran daring bekerja sebagai petani (47%) dan berpendidikan SD (47%). (asumsi.co, 12/5/2020).

Pendidikan adalah hak bagi setiap anak, maka negara sebagai fasilitator wajib memenuhinya, tanpa terkecuali. Dengan berbagai kemampuan dan pembiayaan seharusnya negara menghadirkan berbagai solusi dari keterbatasan yang sedang dialami oleh seluruh rakyat untuk mendapatkan haknya dalam pendidikan. Misal dengan membangun berbagai infrastruktur yang mendukung dalam perkembangan kecanggihan teknologi yang semakin maju dan berkembang.

Namun apa daya, di tengah derasnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan sejak lama hingga saat ini, tidak mampu memberikan dukungan ataupun manfaat bagi pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Seperti hari ini di mana pandemi telah menyingkap dengan nyata bagaimana kegagalan pembangunan yang hanya didasarkan pada materi atau kapitalistik semata. 

Akibat dari sistem kapitalisme neo-liberal prioritas pembangunan itu bukan semata untuk rakyat. Namun, lebih kepada kemegahan dan keuntungan atau manfaat para pemilik modal yang ingin meraup keuntungan dari hasil pembangunan tersebut. Terbukti saat masyarakat berada dalam kondisi membutuhkan sarana seperti telekomunikasi dan ketersediaan jaringan untuk melakukan pembelajaran jarak jauh yang menjadi kebijakan selama masa pandemi mereka tidak mampu memenuhinya. 

Mirisnya kondisi keterbatasan yang dialami sebagian besar rakyat ini tidak menjadikan negara mengambil kebijakan pembangunan yang akan mendukung dan memudahkan rakyat, justru sebaliknya keberpihakan tetap untuk para kapital.

Tidak hanya itu, bahkan kapitalisme telah membelenggu banyak kalangan dari mengenal dan menggunkan teknologi ini. Baik karena keterbatasan ekonomi untuk memiliki alat (media) dan akses internet, maupun keterbatasan ilmu.

Sungguh berbeda dengan sistem Islam yaitu Khilafah yang akan menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat, salah satunya dalam sistem pendidikan. Sehingga akan menempatkannya sebagai prioritas pembangunan dalam kondisi apapun karena hak rakyat wajib hukumnya dipenuhi oleh negara.

Paling utama adalah penerapan sistem politik Islam, yang menetapkan bahwa negara atau penguasa adalah pengurus dan penjaga umat. Keadaan ini dipastikan akan mensupport penuh sistem pendidikan Islam. Misalnya sistem ekonomi dan keuangan Islam, yang salah satunya mengatur soal kepemilikan. Bahwa Sumber Daya Alam (SDM) yang ada merupakan milik umat. Dan negara wajib mengelolanya untuk kemaslahatan umat.

Bahkan ada sumber-sumber keuangan lain yang ditetapkan oleh syariat, yang membuat negara memiliki dana hampir tak berbatas untuk mensejahterakan rakyatnya. Termasuk mendukung sistem pendidikan gratis lagi berkualitas bagi seluruh rakyat tanpa kecuali, yaitu dengan melakukan pembangunan berbagai fasilitas yang akan mendukung pendidikan. Apalagi di masa pandemi saat ini, hingga memudahkan seluruh pelajar untuk mengaksesnya.

Bahkan, dukungan sistem pun datang dari penerapan sistem lainnya, seperti sistem sosial Islam, sistem informasi dan kemedia-masaan Islam, serta sistem sanksi Islam yang menjamin tujuan pendidikan terealisasi dengan maksimal.

Sehingga institusi pendidikan yaitu,  negara, keluarga, dan masyarakat berjalan beriringan dalam mewujudkan dan menjaga generasi cemerlang. Dan Islam memudahkan semua pihak untuk menjalankan kewajibannya dalam memberikan hak-hak kepada warga negaranya.

Wallahu’alam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak