Oleh: Rianny Puspitasari
(Ibu Rumah Tangga dan Pendidik)
Dibenci tetapi dirindukan. Itulah gambaran Bank Emok di tengah masyarakat yang keberadaannya selama pandemi divakumkan. Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bahwa aktivitas Bank Emok ini meresahkan masyarakat. Namun, meskipun demikian, Bank Emok dirindukan karena menjadi solusi cepat mendapatkan dana tanpa proses yang rumit dan berbelit.
Ironisnya, fenomena Bank Emok ini menjerat masyarakat hingga taraf yang sangat menyengsarakan. Ada yang rumahnya disita, ada suami yang tidak mau pulang ke rumah karena tidak kuat istrinya setiap hari ditagih oleh debt collector, hingga ada pasangan yang bercerai akibat sering cekcok karena terlibat Bank Emok.
Sebagai solusi masalah sosial yang muncul, Pemkab Bandung Barat bekerjasama dengan Bank Perkreditan Rakyat Kerta Raharja, berencana mengucurkan dana sebesar 10 miliar rupiah. Warga yang terlilit utang Bank Emok akan diberi pinjaman dengan suku bunga rendah untuk melunasi utangnya, yang kemudian membayar cicilan kepada BPR. (inilahkoran.com, 30/06/20)
Tentu kita patut mengapresiasi kepedulian pemerintah daerah terhadap masalah yang terjadi di tengah masyarakat, karena memang begitulah seharusnya fungsi pemerintah mengurusi urusan rakyatnya. Namun, ada hal yang patut kita waspadai, jangan sampai solusi yang diberikan ibarat keluar dari mulut singa, masuk mulut buaya. Terlepas dari jeratan rentenir, tapi tetap dililit utang yang juga berbunga. Meski dikatakan persentase bunganya rendah, namun besar atau kecil tetaplah riba dan itu dilarang oleh Allah SWT. Bahkan di lapangan, tidak sedikit juga masyarakat yang menderita akibat pinjaman dari bank yang legal sekalipun.
Tidak hanya saat pandemik melanda, sebelum pandemik pun umat dalam kondisi ekonomi yang lemah. Banyak rakyat yang hidup dalam kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahan pangan mahal, pendidikan berkualitas sulit dijangkau, kesehatan yang layak pun tidak mudah didapatkan dan harus melalui berbagai prosedur yang rumit. Belum lagi lapangan kerja yang sempit karena harus bersaing dengan tenaga kerja asing yang diimpor dari negeri panda. Hal inilah yang kemudian memicu masyarakat kalangan menengah ke bawah menjadikan Bank Emok sebagai andalan hidup mereka, meskipun akhirnya mereka jatuh tersungkur terbelit utang.
Semua kesusahan hidup yang dialami rakyat sesungguhnya adalah akibat salah urus dan salah sistem. Indonesia yang sebenarnya kaya akan sumber daya alam, namun akibat penerapan sistem hidup kapitalisme akhirnya tidak bisa menikmati kekayaan dan kemudahan hidup. Sebaliknya, Indonesia bahkan kehilangan kedaulatannya karena penguasa begitu bergantung pada para kapitalis (pemilik modal). Sistem hidup ini mengharuskan pengembannya menjadikan materi sebagai tolak ukur dan tujuan hidup, tidak peduli apakah materi tersebut didapatkan dari jalan yang halal atau haram. Berkaitan dengan solusi Pemkab di atas, maka tidak heran jika riba (bunga) ketika dilegalkan, menjadi boleh, meskipun kalam Sang Pencipta mengharamkannya.
Islam sebagai sebuah aturan hidup yang benar, telah menggariskan bagaimana seharusnya umat hidup dan diatur oleh hukum buatan Sang Pencipta. Sistem ekonomi Islam akan mengatur dengan adil dan mewajibkan penguasa menjamin kebutuhan dasar umat terpenuhi. Bahan pangan, papan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan keamanan adalah hal-hal yang harus dipastikan oleh penguasa bahwa umat mendapatkannya. Oleh karena itu, Bank Emok dan semacamnya tidak akan pernah diperlukan. Penguasa juga harus menjamin bahwa aturan yang diterapkannya merupakan aturan Islam dan tidak boleh melenceng sedikitpun, penguasa juga memastikan bahwa rakyat terjaga dari pelanggaran terhadap aturan Allah SWT, bahkan mendorong agar senantiasa bertaqwa dan mendekatkan diri kepada Sang Maha Pengatur. Dengan demikian, rakyat akan hidup sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat.
Sungguh jauh berbeda dengan kondisi saat ini, yang justru cenderung mendorong umat terjerumus pada pelanggaran hukum Allah SWT. Dengan demikian, benar salahnya aturan yang diterapkan di tengah masyarakat begitu besar dampaknya, bukan hanya dalam kehidupan saat ini, tapi juga kehidupan masa depan akhirat kelak. Sekarang kita bisa membandingkan dan merenungkan,
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (TQS. Al-Maidah 50)
Wallahu a’lam bish showab