Oleh : Uqie Nai
Ibu Rumah Tangga dan Alumni BFW 212
Negeri +62 memang luar biasa. Beragam cerita dan fenomena yang berujung kecewa terus menjadi konsumsi publik, baik yang datang dari pemerintah pusat, daerah hingga lapisan masyarakat bawah tak pernah absen mewarnai pemberitaan di dunia nyata maupun dunia maya. Statemen aneh, kebijakan nyeleneh dengan bongkar pasangnya, bahkan dampak turunan yang mengikutinya hingga viral tagar Indonesia terserah menjadi pertanda negeri ini "istimewa."
Karut marut negeri pengadopsi aturan kufur semakin terlihat sejak Covid-19 muncul di Indonesia. Banyak kalangan mengusulkan lockdown segera diberlakukan, namun alih-alih mengabulkan, kebijakan yang muncul justru semakin memperburuk keadaan. Gagap, lamban dan inkosisten terus ditunjukkan oleh pemangku kebijakan. Tiga bulan sudah rakyat berjuang melawan virus diiringi minimnya perhatian negara, sementara aturan mengharuskan mereka manut dengan segala resiko yang tentu saja pemerintah tak mau tahu. Mulai dari himbauan #Dirumahaja, menjaga jarak (social distancing and physical distancing) hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Herd Immunity serta New Normal Life.
Dalam acara Dua Sisi tvOne pada Jumat (29/5/2020) Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Ngabalin akhirnya blak-blakan ungkap alasan Presiden Jokowi saat penerapan New Normal, yakni karena pertimbangan kesiapan RS, menunggu ditemukannya vaksin penawar virus sambil terus produktif dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. "Presiden juga tak mau rakyatnya terpapar Corona juga tak mau rakyatnya lapar." imbuhnya. (Tribunnewswiki.com, 30/5/2020)
Gonta-gantinya aturan yang dibuat pemerintah pusat nampaknya memaksa rakyat harus lebih bersabar lagi karena sebelum persiapan new normal pemerintah telah menghimbau pada masyarakat agar hidup berdamai dengan Corona. Alhasil jumlah kasus semakin banyak, bahkan akan terus bertambah apabila pemerintah terus dalam keplin-planannya.
Pemerintah yang punya kewajiban menjaga kehidupan bangsa serta melindungi seluruh rakyat seharusnya bersungguh-sungguh mengatasi pandemi ini. Salah satunya dengan cara membuat kebijakan yang benar-benar akan mengakhiri penyebaran virus. Tak boleh kendor menjalankan kebijakan tersebut, tegas, konsisten serta menerapkan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran. Jika pemerintah selaku pembuat kebijakan melanggar kebijakannya sendiri, pantaskah rakyat yang disalahkan?
Perubahan kebijakan secara cepat, tumpang tindihnya satu kebijakan dengan kebijakan lain serta tidak selarasnya kebijakan pemerintah pusat dan daerah menunjukkan lemahnya negara dalam melindungi rakyat, sekaligus bukti negara tak punya rencana dan strategi dalam menangani pandemi ini. Dapat pula dikatakan negara yang bersistem Demokrasi-Kapitalisme ini telah gagal melepaskan Indonesia dari pandemi. Dan pemerintah harus mengakui kegagalannya itu.
Sayang Pengusaha Ketimbang Rakyat
Keberpihakan pemerintah kepada pengusaha (korporat) setelah beberapa kebijakan yang dikeluarkannya tidak memihak rakyat adalah fakta tak terbantahkan. Para korporat ternyata lebih diperhatikan oleh pemerintah daripada keselamatan rakyatnya. Hal ini terlihat jelas dalam penetapan pelonggaran PSBB di tengah kondisi pandemi yang kian memburuk hanya karena takut sektor perekonomian semakin terpuruk. Negara benar-benar ingin berlepas tangan. Yang kuat akan bertahan sedang yang lemah akan tumbang. Sungguh ironi. Satu saja kebijakan pemerintah yang salah akan berakibat fatal bagi rakyat, apalagi bila semua kebijakan yang diterapkan salah sasaran, harapan pandemi akan berakhir nampaknya tinggal harapan, tak akan menjadi kenyataan.
Inkonsistensi kebijakan rezim menunjukkan wajah aslinya sebagai pengemban kapitalisme. Dalam ideologi kapitalisme tidak ada yang langgeng, apa pun bisa berubah. Demikian juga perundang-undangan dan peraturan yang sudah dibuat, sah saja dilanggar bahkan diganti dengan kebijakan baru.
Kenapa hal itu bisa terjadi? Karena dalam kapitalisme yang tetap adalah kemaslahatan dan keuntungan materi. Hal inilah yang harus terus dipertahankan keberadaannya. Demi meraup keuntungan segala macam cara akan dilakukan, sekalipun kontradiktif dengan aturan lainnya.
Ketidakjelasan aturan juga merupakan bukti bahwa rezim saat ini tidak memiliki dasar yang benar dalam membuat aturan dan kebijakan. Berbagai peraturan yang dibuat terkesan asal-asalan dan reaktif karena adanya tuntutan dan tekanan dari pihak lain yang sebenarnya lebih berkuasa.
Ya, merekalah para pengusaha yang berkepentingan memperpanjang keberlangsungan berbagai proyek dan bisnis di negeri ini. Kemaslahatan dan kepentingan rakyat yang seringkali diajukan menyertai lahirnya kebijakan, hanyalah alasan klise supaya ketetapan ini diterima tanpa ada perlawanan.
Kesadaran akan berharganya satu nyawa rakyat sulit ditemukan dalam pemerintahan berbasis demokrasi. Sebab demokrasi yang lahir dari ideologi kapitalisme sekuler tak punya perhatian pada aspek ruhiyah, kemanusiaan dan akhlak. Orientasi sistem ini hanyalah manfaat dan keuntungan. Manfaat adalah asasnya, manfaat jugalah landasan peraturan yang diterapkan dalam sistem ini.
Penguasa dalam sistem demokrasi menjadi pelayan pemodal, bukan menjadi pelayan rakyat. Rakyat sekedar tameng para penguasa demi mencapai tujuan yang diharapkan. Mall, stasiun, bandara dibuka pasca pelonggaran PSBB tanpa memperhatikan keselamatan rakyat dari serangan virus Corvid-19 adalah bukti sistem demokrasi-kapitalisme berpihak pada koorporasi dan abai melindungi rakyat.
Konsistensi Aturan Islam
Ideologi Islam berbeda dengan sistem mana pun, tidak ada satu pun aturan dan perundang-undangan yang sama dengan sistem Islam. Islam konsisten dalam aturannya. Benar dan salah dinilai dengan parameter yang jelas.
Boleh tidaknya suatu perbuatan juga ditetapkan berdasarkan standar yang tetap dan tidak berubah-ubah. Semua aktivitas manusia harus terikat dengan hukum syara, “at-taqayyud”. Tidak ada satu pun perbuatan manusia yang bebas dari penilaian hukum syara.
Semuanya harus merujuk kepada hukum yang berasal dari Pencipta manusia, Dialah Allah Swt. yang Mahabijaksana dan Mahaadil terhadap hamba-Nya.
Allahlah “Asy-Syaari”, Sang Pembuat hukum. Aturan dan hukum Allah ini berupa risalah Islam yang disampaikan baginda Nabi saw. kepada seluruh manusia agar mereka tunduk patuh kepada syariat yang dibawa beliau. Islam sudah sempurna dan lengkap mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Karenanya, kita diseru untuk masuk Islam secara kafah sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Baqarah ayat 208: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian”.
Dari kandungan surah al-Baqarah ayat 208 tersebut, maka tidak ada ruang bagi manusia untuk menyusun undang-undang dan peraturan sendiri dalam rangka mengatur seluruh aspek kehidupannya. Sebab, mereka wajib iltizam terikat dengan syariat yang sudah diturunkan Allah Swt. Bahkan dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 229, Allah Swt. menyebut orang yang melanggar batas-batas hukum Allah sebagai orang yang zalim.
Perbedaan pendapat dalam hukum syariat tidak bermakna plin plan sebagaimana pernyataan Syekh Taqiyyuddin An Nabhani dalam kitabnya Syakhshiyyah Islamiyah juz 2 halaman 134: Hukum-hukum syar’i, yaitu Khithab Asy-Syari yang berkaitan dengan perbuatan hamba disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadis, dan di dalamnya tidak sedikit di antara perkara-perkara yang memiliki banyak arti, baik menurut bahasa Arab maupun menurut istilah syara’. Sehingga, secara alami dan otomatis manusia berselisih dalam memahami perkara-perkara tersebut. Dari sini, muncullah pemahaman-pemahaman yang berbeda. Karena itu, terkadang dalam satu permasalahan terdapat pendapat yang bertentangan.
Namun adanya peluang perbedaan pemahaman terhadap hukum syara ini tidak bermakna adanya ketidakpastian hukum syara. Bagi seorang muslim, dia wajib memilih hukum mana yang dia yakini kebenarannya. Dan ketika dia sudah menetapkan pilihan, maka dia terikat dengan hukum tersebut serta haram mengubah pendapatnya, kecuali dengan alasan yang dibolehkan syariat.
Dalam Islam tidak dibenarkan plin plan dalam mengadopsi hukum, apalagi berpendapat tanpa didasarkan pada aturan hukum, merupakan perkara yang diharamkan.
Seorang muslim terlebih dahulu harus memilih hukum syara’ yang akan diikutinya berdasarkan keyakinan bahwa hukum tersebutlah yang benar. Berikutnya dia wajib konsisten untuk mengamalkan hukum syariat tersebut.
Menurut Imam Taqiyyuddin An Nabhani, ada empat hal yang menjadi alasan bolehnya seorang muslim meninggalkan hukum yang sudah diadopsinya.
Pertama, diketahui bahwa hukum yang sudah dipilihnya dalilnya lemah, dan ditemukan dalil yang lebih kuat dari dalil sebelumnya. Sehingga dalam hal ini dipastikan bahwa hukum Allah baginya adalah apa yang ditunjukkan oleh dalil yang lebih kuat. Maka pada saat itu dia wajib meninggalkan hukum yang telah diadopsinya dan beralih pada pendapat baru.
Kedua, dia memiliki dugaan kuat bahwa pendapat yang baru tersebut digali oleh orang yang lebih mengetahui cara pengambilan kesimpulan, lebih teliti, atau lebih menguasai syariat daripada dirinya. Maka pada kondisi seperti ini, dia boleh meninggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat baru. Hal ini berdasarkan apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat senior bahwa mereka meninggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat sahabat lain. Seperti Abu Bakar pernah mengambil pendapat Ali dan meninggalkan pendapat beliau sendiri.
Ketiga, bermaksud mempersatukan kaum Muslim dalam satu pendapat. Dalam kondisi ini boleh bagi seorang muslim untuk meninggalkan pendapat yang telah diadopsinya dan mengambil pendapat yang diinginkan agar dengannya kaum Muslim bersatu. Hal ini sebagaimana dilakukan Utsman bin Affan, meninggalkan pendapat dirinya dan mengambil apa yang telah diadopsi oleh Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar.
Keempat, ketika Khalifah mengadopsi suatu hukum yang berbeda dengan hukum yang dihasilkan oleh ijtihadnya, maka dalam kondisi seperti ini dia wajib untuk tidak mengamalkan hukum hasil ijtihadnya, sebaliknya dia wajib melaksanakan hukum yang telah diadopsinya.
Hal demikian didasarkan pada ijmak sahabat yang menetapkan bahwa keputusan imam akan menghilangkan perbedaan dan perintahnya harus dilaksanakan seluruh kaum muslim.
Hanya dengan empat alasan itulah seorang Muslim boleh mengganti pendapatnya. Di luar kondisi di atas dia wajib terikat pada hukum yang sudah dipilihnya. Karenanya, dalam Islam tidak diterima perubahan hukum atau kebijakan dengan alasan kemaslahatan atau untuk menyesuaikan dengan keadaan dan tuntutan zaman.
Sejak diturunkannya kepada Baginda Nabi saw sampai dunia ini berakhir, syariat Islam tetap bisa dilaksanakan sampai kapan pun. Sekalipun orang yang mengembannya sudah berganti dan tempat pemberlakuannya sudah berubah, syariat Islam akan senantiasa bisa diterapkan di mana saja untuk menyelesaikan berbagai permasalahan manusia.
Yang penting dipahami adalah metode Islam dalam menggali “istinbath” hukum supaya bisa menjawab tantangan perubahan tersebut dan tidak keluar dari rambu-rambu yang telah ditetapkan. Dalam khasanah tsaqafah Islam, metode ini dikenal dengan nama ijtihad hukum syara.
Mekanisme ijtihad jelas berbeda dengan pembuatan hukum dan aturan yang berdasarkan hawa nafsu dan berpijak pada asas kepentingan materi seperti yang dilakukan para pengemban demokrasi kapitalis dewasa ini.
Proses ijtihad memiliki pijakan yang jelas, yakni dalil-dalil syara dan metode istinbath yang syar’i serta dilakukan oleh orang yang mumpuni secara keilmuan dan kukuh dalam keimanan. Semua upaya dilakukan agar supaya selalu dalam koridor ketaatan terhadap syariat, bukan untuk mengabaikan syariat, apalagi menentangnya.
Budaya ijtihad inilah yang sekarang sudah melemah di tengah umat. Dominasi sistem kufur yang mencengkeram kaum muslimin semenjak runtuhnya khilafah Islam tahun 1924 telah menjauhkan buah ijtihad dari benak umat Islam. Padahal keberadaannya sangatlah vital bagi keberlangsungan syariat. Karenanya, ijtihad hukumnya fardu kifayah. Harus selalu hadir seorang mujtahid pada setiap masa.
Khilafah yang Dirindukan
Hanya sistem Islam lah yang akan memberikan kepastian hukum. Para pemimpinnya tidak mengambil keuntungan pribadi dan kelompok dari pemberlakuan hukum tersebut. Penerapan hukum semata untuk menjalankan amanah yang ada di pundaknya, yakni terlaksananya hukum syara secara sempurna, hingga mampu merealisasikan Islam sebagai rahmatan lil’aalamiin.
Semoga fakta ketidakjelasan kebijakan rezim sekarang semakin menyadarkan umat bahwa tidak bisa berharap kesejahteraan pada kapitalisme, kemudian akan mendorong mereka menuntut perubahan ke arah sistem yang diridai Allah Swt.
Seharusnya rakyat Indonesia menjadikan hal tersebut sebagai bukti betapa buruknya demokrasi mengurusi rakyat. Rakyat harus mau meninggalkan demokrasi dan kembali kepada Islam yang dengan sistem khilafahnya terbukti selama lebih dari 13 abad menaungi 2/3 belahan dunia. Dalam kepemimpinan khilafah, manusia bisa merasakan kesejahteraan, tak hanya umat Islam, tapi juga umat yang lain, tak hanya bangsa Arab, tapi juga bangsa-bangsa yang lain yang hidup dalam naungan khilafah Islam.
Khilafah juga punya prestasi membebaskan rakyatnya dari bahaya wabah penyakit. Serta menjamin kebutuhan rakyatnya, hingga rakyatnya tak perlu mati karena kelaparan. Penerapan hukum Islam secara menyeluruh menjadikan khilafah mampu menyelesaikan seluruh persoalan yang dihadapi. Sebab Islam memiliki solusi atas seluruh persoalan kehidupan. Sebab hukum-hukum Islam bersumber dari Allah subhanahu wa ta'ala Sang Penguasa Alam Semesta.
Kepentingan politik dan ekonomi takkan membuat khilafah loyal kepada koorporasi, apalagi pada negara-negara kafir penjajah. Sebab institusi ini tak berdiri di atas asas keuntungan materi. Khilafah akan sepenuhnya berkhidmat melayani rakyat, takkan menghianati rakyat karena alasan apapun. Karena Khalifah/pemimpin dalam sistem ini dibaiat untuk ditaati selama ia taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Khalifah juga tak mungkin plin-plan dalam menetapkan kebijakan, sebab nyawa satu rakyatnya sangat berharga. Tak mungkin juga kebijakannya berubah-ubah, sebab hukum yang diterapan oleh khalifah dalam menjalankan pemerintahan adalah hukum Allah yang tidak boleh berubah, sebab mengubah hukum Allah termasuk dosa besar.
Lebih dari pada itu, khalifah juga adalah seorang Muslim yang taat, dan punya rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Ia mencintai rakyatnya serta bersungguh-sungguh mewujudkan kesejahteraan dan berlaku adil kepada rakyatnya. Sosok pemimpin seperti ini hanya ada dalam sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syariah kaffah dalam naungan Dawlah al Khilafah.
Wallahu a’lam bi ash Shawwab