Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menganggarkan Rp1 triliun untuk program Dana Bantuan Uang Kuliah Tunggal ( UKT). Penerima Dana Bantuan UKT akan diutamakan dari mahasiswa perguruan tinggi swasta (PTS). (KOMPAS.com, 21 Juni 2020).
"Dan juga kami mengalokasikan dana sebesar Rp 1 triliun, terutama PTS dan mahasiswa PTS untuk meringankan beban UKT mereka sehingga mereka masih bisa lulus, masih bisa melanjutkan sekolah mereka, dan tidak rentan drop out," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem beberapa waktu lalu.
Untuk mendapatkan bantuan Dana UKT mahasiswa, ada sejumlah kriteria yang disyaratkan. Calon penerima harus dipastikan orangtua mengalami kendala finansial sehingga tak mampu membayar UKT. Penerima Dana Bantuan UKT juga bukan mahasiswa tidak sedang dibiayai oleh program KIP Kuliah atau beasiswa lainnya.
Dana Bantuan UKT diperuntukkan mahasiswa PTS dan PTN yang sedang menjalankan semester 3, 5, dan 7 pada tahun 2020. Penambahan jumlah penerima Dana Bantuan UKT akan diberikan sebanyak 410.000 mahasiswa (terutama Perguruan Tinggi Swasta) di luar 467.000 mahasiswa yang menerima Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi dan KIP Kuliah.
Dana KIP Kuliah Reguler tahun 2020 tetap diberikan untuk 200.000 mahasiswa baru yang menjalankan semester 1 di tahun 2020. Adapun dana Bidikmisi tetap dilanjutkan bagi mahasiswa yang melanjutkan studi di tahun 2020 dan tetap menjalankan program Afirmasi Pendidikan Tinggi dengan sasaran 267.000 mahasiswa.
Nadiem berharap PTS dapat menyalurkan Dana Bantuan UKT ke mahasiswa melalui anggaran yang telah disiapkan oleh Kemendikbud. Dana Bantuan UKT merupakan bantuan tambahan di luar program bantuan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah.
Sebelumnya, Kemendikbud mengeluarkan regulasi baru terkait keringanan UKT bagi mahasiswa perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS).
Melalui Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020, Nadiem menyebutkan, Kemendikbud akan memberikan keringanan UKT bagi mahasiswa PTN yang menghadapi kendala finansial selama pandemi Covid-19. Regulasi tersebut, lanjut Nadiem, dibuat untuk memastikan bahwa keringanan dan fleksibilitas UKT bisa terjadi di semua perguruan tinggi negeri.
Jangankan untuk membayar uang kuliah, untuk makan sehari-hari saja, mereka sangat kesulitan. Sementara di saat sama, mereka harus berusaha agar kuliah bisa tetap jalan, meski harus merogoh kantong lebih dalam untuk sekadar membeli kuota paketan yang besarannya cukup mahal.
Akan tetapi, kisruh soal UKT ini memang tak hanya terjadi di saat wabah ini saja. Sejak pemerintah menetapkan kebijakan UKT melalui Permendikbud No. 55 tahun 2013, telah muncul keberatan-keberatan di tengah masyarakat.
Maklum, aturan yang katanya ditujukan untuk mewujudkan pendidikan berkeadilan ini faktanya tak semanis teorinya. Bagi kalangan tertentu UKT tetap saja dirasa mahal. Apalagi jurusan-jurusan tertentu. Biaya UKT-nya jauh lebih mahal.
Otomatis kelompok yang terkategori miskin makin kecil kesempatan mengenyam pendidikan tinggi serta kehilangan kesempatan mengakses jurusan yang mereka idamkan. Apalagi faktanya, dari tahun ke tahun UKT mengalami penyesuaian alias kenaikan. Sehingga kebijakan ini memang terasa sangat memberatkan.
Pada kasus UKT di era wabah, pemerintah melalui Kemendikbud akhirnya memang memberi penjelasan. Pertama, bahwa UKT tak ada kenaikan. Kedua, bahwa Majelis Rektor PTN sudah menyepakati empat skema keringanan beban biaya perkuliahan. Ketiga, bahwa mahasiswa yang orang tuanya terdampak akan diberi bantuan sebesar Rp400.000 melalui program Kartu Indonesia Pintar.
Adapun 4 (empat) skema keringanan yang ditawarkan terdiri dari: (1) kebolehan mengajukan penundaan pembayaran, (2) kebolehan menyicil pembayaran, (3) mengajukan penyesuaian UKT pada level yang faktual, (4) mengajukan beasiswa jika orang tua mengalami kebangkrutan.
Namun rupanya, kebijakan tersebut dianggap masih belum memuaskan. Apalagi sejalan dengan kebijakan otonomi kampus, implementasinya diserahkan kepada masing-masing institusi pendidikan. Padahal faktanya, kondisi dan kesiapan setiap institusi kampus berbeda tingkatan.
Walhasil, apa yang disebut skema keringanan faktanya tak bisa benar-benar dirasakan mahasiswa. Karena semua tergantung kondisi lapang. Dalam negara yang menerapkan sistem sekuler kapitalis neoliberal, hal seperti ini memang sangat niscaya. Kemurahan penguasa tampaknya selalu harus disertai syarat dan ketentuan.
Faktanya kita lihat, dalam segala hal penguasa selalu saja berhitung rugi laba. Karena mereka ada memang bukan untuk mengurus rakyatnya. Melainkan mendudukkan diri hanya sebagai penjual jasa atau regulator saja.
Jasa layanan publik, termasuk sebagian kecil di antaranya. Maka tak heran jika layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan harus dibeli rakyat dengan harga mahal. Yang tidak punya uang, jangan harap bisa mendapatkan.
Dalam hal pendidikan, kapitalisasi pun demikian telanjang. Salah satunya nampak ketika atas nama otonomi kampus, negara berlepas tangan dari penyelenggaraan pendidikan tinggi (PT) dengan mengubah bentuk pengelolaan PT dalam bentuk badan usaha yang berbadan hukum, baik dalam hal pembiayaan maupun dalam hal visi pendidikan.
Bahkan yang lebih miris, pendidikan dasar hingga tinggi menjadi salah satu bidang usaha jasa yang diliberalisasi. Yang membuat aroma komersialisasi makin terasa kental di dunia pendidikan.
Hal ini misal terlihat dari diterbitkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 77 tahun 2007 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. Di mana jasa pendidikan termasuk salah satu bidang usaha yang ditetapkan.
Namun yang harus diwaspadai bukan hanya soal biaya pendidikan yang makin mahal. Pendidikan dalam sistem ini faktanya juga kian jauh dari kedudukannya yang mulia sebagai pilar peradaban. Yakni saat visinya hanya melulu berorientasi memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja. Seperti nampak dari konsep link and match, triple ABC, atau maraknya pendidikan vokasi.
Sehingga alih-alih mendatangkan berkah, pendidikan akhirnya hanya jadi alat investasi sekaligus alat produksi untuk memutar industri dan kapital. Bukan sebagai wasilah membentuk kepribadian, apalagi sebagai pilar untuk membangun peradaban cemerlang.
Wajar jika output pendidikan sekuler banyak melahirkan manusia-manusia pintar dan berorientasi mengejar material, tapi minus nilai-nilai moral. Bahkan yang fatal, pendidikan menjadi sarana melanggengkan hegemoni kapitalisme global.
Berbeda jauh dengan sistem Islam. Dalam Islam, pendidikan, kesehatan dan keamanan merupakan bagian dari ikhtiar membentuk manusia dan umat berkualitas purna sesuai dengan misi penciptaan. Sehingga salah satu hukum turunannya, Islam juga menetapkan bahwa ketiga hal tersebut merupakan hak seluruh rakyat yang wajib dipenuhi negara sebaik-baiknya, sebagaimana hak dasar seperti pangan, sandang dan papan.
Hal ini sejalan dengan ketetapan syariat, bahwa fungsi negara atau penguasa adalah mengurus dan menjaga rakyatnya. Dan atas hal ini, kelak mereka akan dimintai pertanggungjawaban. Dalam potongan Hadis Sahih Riwayat al-Bukhari no 4789 disebutkan, dari Abdillah, bersabda Nabi (Saw.):
“Setiap kalian adalah pemimpin (pengurus) dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban. Maka seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban.”
Dengan demikian, sisi ruhiyah dalam sistem Islam begitu kental. Dimana para penguasa akan merasa takut jika abai dalam memenuhi hak-hak rakyatnya. Karena mereka paham bahwa amanah kepemimpinan kelak bisa jadi sesalan. Maka tak heran, jika support negara dalam sistem pendidikan begitu maksimal. Termasuk dalam mewujudkan layanan pendidikan gratis dan berkelas bagi seluruh rakyatnya. Hingga terbukti, sepanjang belasan abad, pendidikan Islam bisa benar-benar menjadi salah satu pilar peradaban cemerlang.
Dalam praktiknya, supporting system itu terwujud dalam penerapan Islam kaffah oleh institusi khilafah. Karena tak dipungkiri bahwa visi pendidikan Islam yang mulia itu tak mungkin terwujud kecuali ada dukungan sistem Islam yang lainnya. Seperti sistem pemerintahan Islam yang berbentuk khilafah, yang menjadikan akidah dan syariah sebagai landasan dan tuntunan, bukan sistem sekuler yang tak kenal halal haram.
Juga butuh sistem ekonomi yang kuat, yang membuat negara khilafah memiliki sistem keuangan yang kuat sebagai modal menyejahterakan rakyatnya. Termasuk menggratiskan semua layanan publik dengan layanan yang optimal. Bahkan memberi gaji dan fasilitas pendidik, jaminan fasilitas, dan uang saku pelajar, fasilitas maksimal untuk perpustakaan, support penuh untuk penelitian yang semuanya serba mencengangkan.
Jadi, bukan seperti sistem ekonomi liberal yang justru membuat anggaran negara selalu defisit atau terbelit utang berbunga. Sementara sumber daya milik umat yang begitu melimpah diserahkan kepada swasta dan asing. Dan negara, alih-alih meringankan beban rakyatnya, tapi justru hobi memalak rakyatnya dengan berbagai kebijakan pajak.
Selain itu, keberhasilan sistem pendidikan Islam pun di-support oleh sistem sosial Islam dan sistem sanksi yang menjaga masyarakat dari kerusakan. Sehingga kerja keras orang tua di rumah dan para penyelenggara pendidikan di kampus dan sekolah, akan diperkuat oleh lingkungan dan masyarakat yang bersih dimana amar makruf nahi mungkar dan hukum Islam yang tegas ditegakkan.
Walhasil, siapa pun tak bisa menafikan, bahwa output pendidikan Islam benar-benar ideal. Ini tampak dari lahirnya generasi terbaik yang kontribusinya pada peradaban dunia tak perlu lagi dipertanyakan. Sekolah-sekolah dan universitas-universitas Islam di masa itu betul-betul menjadi pabrik sumber daya manusia yang cemerlang. Yang tinggi dalam level kepribadian, sekaligus inovatif dalam menyelesaikan berbagai problem kehidupan. Hingga perkembangan teknologi pun terbukti dipimpin dunia Islam.
Bahkan mereka yang jujur akan mengakui bahwa dunia barat berhutang pada Islam. Karena faktanya sebagian warga negara mereka menjadikan negeri-negeri Islam sebagai pusat orientasi pendidikan. Hingga banyak para bangsawan mereka berbondong-bondong belajar di negeri-negeri Islam. (Silakan baca: https://www.muslimahnews.com/2020/06/10/editorial-era-new-normal-arah-pendidikan-kok-makin-kacau/)
Sehingga, sudah selayaknya bagi umat Islam agar bersegera mencampakkan sistem pendidikan yang jelas-jelas rusak dan hanya melahirkan kerusakan. Dengan cara berjuang mewujudkan sistem yang akan menegakkannya, yakni khilafah Islam.
Adapun langkah praktisnya adalah serius mengupayakan prasyarat bagi tegaknya khilafah. Berupa menggencarkan dakwah secara berjamaah untuk mewujudkan umat yang terbina dengan akidah yang lurus yang melahirkan kesiapan untuk menerapkan Islam kaffah.
Dan tentunya, di saat sama, mendakwahkan Islam kaffah dengan detail dan jelas sehingga tergambar posisinya sebagai pemecah berbagai persoalan yang dihadapi. Sehingga harapannya, umat akan merasa berdosa ketika hidup dengan aturan sekuler dan rindu untuk hidup di bawah naungan sistem Islam.
Hanya saja, dakwah Islam kaffah ini tentu harus merambah pada seluruh kalangan. Termasuk para pemilik kekuatan yang akan memimpin perubahan dan menyokong kekuasaan yang siap menegakkan sistem khilafah Islam.
Dan semua ini adalah jalan alami yang sudah dicontohkan baginda Nabi saw. Saat beliau bersama kelompoknya sungguh-sungguh menapaki jalan dakwah dan memimpin perubahan dari masyarakat jahiliah menuju masyarakat Islam. Hingga akhirnya berhasil membangun negara Islam yang kuat dan berdaulat, yang diakui menjadi pionir peradaban cemerlang.