Oleh : Ayra Naira
Belum selesai rasanya pilu akibat dampak wabah Corona, yang tidak hanya menyebabkan nyawa melayang, tetapi juga merenggut pekerjaan sebagian besar para pekerja swasta. Ya, ribuan pekerja di-PHK akibat perekonomian yang lesu. Disamping itu kabar tidak mengenakkan justru datang dari pemerintah yang akan segera mengesahkan Omnibus Law yaitu Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker).
RUU Cipta Kerja sendiri masih menuai berbagai penolakan dari kalangan masyarakat. Selain warga sipil yang menolak, tidak tanggung-tanggung penolakan ini juga disuarakan oleh Serikat Pekerja PT PLN (Persero). Ketua Umum DPP SP PT PLN Persero M Abrar Alib, mengatakan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi menimbulkan terjadinya liberalisasi dalam tata kelola listrik di Indonesia. Beliau mengungkapkan bahwasanya listrik adalah aset strategis bangsa dan bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga pertahanan.(Kumparan,09/07/2020)
Disisi lain ada yang menyambut dengan suka cita Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker), tidak lain dan tidak bukan adalah para pengusaha. Bahkan mereka berharap agar RUU Cipta Kerja ini segera disahkan karena tentunya akan membawa angin segar bagi iklim investasi dan berpotensi membuka lapangan kerja. Ketua Komite Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial untuk Upah Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Aloysius Budi Santoso, mengatakan bahwa pandemi Covid-19 telah membawa dampak besar bagi perekonomian Indonesia, sehingga membutuhkan investasi yang cukup besar guna mendongkrak perekonomian Indonesia pasca pandemi. Beliau juga menambahkan RUU Cipta Kerja ini membuat negara bisa lebih efektif dan efisien dengan penyederhanaan perizinan usaha dan investasi. (Republika.co.id, 12/07/2020)
Disaat solusi untuk masalah pandemi yang belum membuahkan kemajuan, perhatian kita tertuju pada RUU Cipta Kerja, sepertinya terburu-buru untuk membahas dan mengesahkannya di tengah situasi seperti ini. Terkesan terburu-buru karena pembahasannya pun dilakukan secara tertutup dan hanya beberapa kali dengan pembahasan yang berat serta minim partisipasi masyarakat sipil dalam mendaur ulang pasal inkonstitusional.
Alih-alih ingin mengembalikan perekonomian Indonesia akibat dampak dari wabah Covid-19 nyatanya malah membuat aturan yang melenggangkan para pengusaha asing untuk masuk dan berinvestasi ke Indonesia, dan lebih parahnya lagi juga membuka kran yang besar bagi para TKA untuk bekerja disini. Terlepas dari itu semua maka bisa dipastikan rakyatlah yang dirugikan karena harus bersaing bukan hanya dengan penduduk lokal tapi juga dengan para TKA.
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja juga dinilai sangat tidak melindungi hak tenaga kerja. Pasalnya RUU ini seolah menerapkan perbudakan modern lewat sistem fleksibilitas tenaga kerja berupa legalisasi upah di bawah UMK, upah per jam dan perluasan kerja kontrak outsourcing. Melihat hal tersebut sangat sejalan dengan rencana pemerintah yang akan melakukan kawin massal antara universitas dan industri, serta mengklarifikasi bahwa sistem pendidikan kita memang untuk menghasilkan buruh.
Hal ini membuat kita prihatin karena sebenarnya dalam sistem Islam para tenaga kerja sangat dilindungi haknya. Mereka diperlakukan manusiawi, tidak seperti budak pemerintah ataupun korporasi. Khilafah bertanggung jawab untuk memampukan setiap warga negara dalam memenuhi kebutuhan dasar individu (papan, sandang, pangan) dengan mekanisme tidak langsung, yakni kewajiban bekerja bagi laki-laki (kepala keluarga). Maknanya, negara diberi tugas oleh syariat untuk membuka lapangan pekerjaan yang luas dan iklim usaha yang kondusif. Pemberian harta oleh negara kepada warga negara tanpa kompensasi apa pun ini dikenal dengan konsep i’tha’ daulah. Bentuk yang diberikan bisa berupa lahan pertanian, benih dan bibit, modal uang, harta yang langsung dimanfaatkan seperti sarana produksi traktor, mesin bubut, sarana perdagangan lapak di pasar dan sebagainya.
Cara daulah dalam memenuhi hak dasar warganya yaitu, pertama Khilafah membuka lapangan pekerjaan dengan proyek-proyek produktif pengelolaan SDA yang ditangani oleh negara, bukan diserahkan pada investor.
Kedua, khalifah juga memastikan upah ditentukan berdasar manfaat kerja yang dihasilkan oleh pekerja dan dinikmati oleh pengusaha/pemberi kerja tanpa membebani pengusaha dengan jaminan sosial, kesehatan, dan JHT/pensiun. Ini mekanisme yang fair tanpa merugikan kedua belah pihak.
Ketiga, negara menyediakan secara gratis dan berkualitas layanan kesehatan dan pendidikan untuk semua warga negara, baik kaum buruh atau pengusaha. Sedangkan layanan transportasi, perumahan, BBM, dan listrik tidak akan dikapitalisasi karena dikelola negara dengan prinsip riayah/pelayanan; keempat, negara dilarang menjadi tukang palak yang banyak memungut pajak dan retribusi di segala lini. Negara dalam Islam adalah daulah riayah bukan daulah jibayah.
Kejayaan daulah telah dicatat dengan tinta emas dalam sejarah. Bahkan sejarawan barat Will Durant pun mencatat kemuliaan Islam dalam buku The Story Civilization , “Para Khalifah telah berhasil memberikan perlindungan yang ideal terhadap kehidupan dan tenaga kerja, senantiasa membuka peluang bagi setiap bakat, menciptakan kemakmuran selama tiga sampai enam abad di wilayah yang dulunya tidak begitu makmur, mendorong dan mendukung perkembangan pendidikan, sastra, sains, filsafat dan seni selama lima abad menjadi wilayah paling beradab didunia”. Inilah sistem yang kita butuhkan saat ini.
Maka sudah selayaknya kita segera berjuang untuk mencari solusi alternatif yang bisa menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan.
Menggunakan sistem alternatif yang ditawarkan oleh Islam yang telah terbukti mampu memberikan solusi untuk semua permasalahan kehidupan.
Wallahu a'lam
Tags
Opini