Oleh: Irohima
Demokrasi,bsebuah ideologi berslogan manis tak terperi. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, hal ini memang membuat kita berhalusinasi agar kita dipelakukan bak putri di negeri ini. Namun sayang demokrasi juga tak mengenal pandemi, hingga pesta berebut kursi pun akan tetap dilakoni meski rakyat kini tertatih tatih mencari jalan menyelamatkan diri.
Pandemi yang telah berlangsung kurang lebih selama empat bulan sejak Maret 2020 belum menampakkan tanda tanda akan teratasi. Meski berbagai strategi penanganan telah dilakukan. Mulai dari penerapan Sosial dan Physical distancing, Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB hingga penerapan New Normal yang kini tengah berlangsung.
New normal merupakan perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas seperi biasa di tengah pandemi namun ditambah dengan penerapan protokol kesehatan. Hal ini di terapkan sampai ditemukannya vaksin untuk Covid-19.
Masih terkait dengan keputusan New Normal, rupanya tahapan penyelenggaraan Pilkada serentak pada tahun 2020 yang semula sempat ditunda kini akan tetap dilanjutkan. Pada 27 Mei lalu DPR RI bersama KPU dan pemerintah menyetujui secara resmi bahwa pilkada serentak yang semula tertunda akan tetap dilanjutkan, tepatnya pada hari Rabu, 9 Desember 2020.
Hal itu dikuatkan oleh terbitnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 5 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur,Bupati dan wakil bupati,serta walikota dan wakil walikota tahun 2020.
Salah satu alasan tetap dilaksanakannya Pilkada serentak ini agar tak terjadi kekosongan jabatan serta tak adanya jaminan pandemi ini akan berakhir meski Pilkada diundur ke tahun 2021.
Tidak dipungkiri, sistem demokrasi tidak hanya bobrok namun juga keji. Ditengah keterpurukan ekonomi, masih harus berjibaku menghadapi pandemi, namun memperebutkan kursi di parlemen seakan lebih urgent daripada menekan penyebaran Covid-19 yang makin hari makin tinggi.
Seperti yang kita ketahui, Pilkada memerlukan anggaran yang tak sedikit. Rasanya tidak bijak, memprioritaskan Pilkada saat kita menghadapi minimnya dana untuk menanggulangi Covid-19. Penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi tentu sangat mengundang kerawanan, yang bukan hanya mempengaruhi kualitas penyelenggaraan Pilkada namun juga beresiko terhadap kesehatan masyarakat, mulai dari peserta hingga penyelenggara sendiri.
Kita masih berduka atas meninggalnya ratusan petugas Pemilu tahun 2019 lalu yang katanya akibat kelelahan. Sekarang kita akan dihadapkan pada pagelaran kontestasi demokrasi ditengah pandemi Covid-19 yang masih terus menginfeksi dan membunuh puluhan bahkan ratusan orang setiap hari. Fakta bahwa banyaknya korban yang berjatuhan akibat pandemi, akan membuka peluang terjadinya masalah baru jika Pilkada yang notabene mengharuskan kita berinteraksi dengan banyak orang tetap dilakukan. Meskipun protokoler kesehatan diterapkan, tetapi tidak ada jaminan semua bakal mengikuti prosedur. Adapun alternatif lain yaitu metode menyelenggarakan Pilkada dengan memanfaatkan teknologi, akan tetap sama saja, karena keduanya akan memerlukan anggaran yang sangat besar.
Pro kontra penyelenggaraan Pilkada ditengah pandemi terus bergulir. Sebagian pihak menyebut momen Pilkada ditengah pandemi diputuskan agar kroni penguasa tak kehilangan kursi. Perhelatan pilkada yang dianggap sebagai mekanisme untuk melangsungkan kepemimpinan yang ideal dalam demokrasi tak hanya mencederai rakyat namun juga demokrasi itu sendiri.
Berbagai kritik muncul dari banyak pihak, tidak terkecuali Rizal Ramli, mantan Menteri Ekonomi era Gus Dur dalam dialog di kanal You Tube Refly Harun (sabtu,27/Juni 2020) yang menyampaikan bahwa rakyat sudah kesal dengan sistem yang dianut negeri ini yang diklaim sebagai demokrasi kriminal. Betapa tidak ? Besarnya kisaran biaya yang dibutuhkan dalam pemilu membuat terciptanya kompetisi memperebutkan kursi yang pada akhirnya dimenangkan pemilik modal yang lebih tinggi.
Ini akan memepermudah siapapun untuk berkuasa selama memiliki modal.
Inilah bobroknya demokrasi. Sistem ini mengekalkan sistem kriminal yang menghasilkan legitimasi perampokan kekayaan negara dan penyengsaraan nasib rakyat. Kemampuan mengcover mahalnya biaya demokrasi yang dimiliki kaum kapitalis atau pemilik modal besar, memungkinkan mereka akan mudah memiliki akses dan mengolah kekayaan negara milik rakyat untuk kepentingan pribadi atau golongan saja. Pilpres maupun pilkada bisa menjadi celah bagi para kapitalis untuk memanjangkan tangan guna menancapkan kuku kuku penjajahan mereka atas negeri ini.
Demokrasi yang tidak mengenal pandemi hingga kepentingan mendapat kursi jauh lebih tinggi ketimbang mengutamakan keselamatan rakyat sendiri. Karena jika mekanisme demokrasi terhenti maka kepentingan pribadi pun akan mati. Sudah selayaknya kita halau demokrasi dan ganti dengan sistem yang lebih mumpuni yaitu dengan sistem Islam yang jauh lebih baik dan lebih efisien.
Dalam Islam, pejabat negara yang diangkat oleh rakyat secara langsung adalah khalifah dan anggota majelis umat. Pejabat yang lain seperti mu”awin khalifah, wali, amil, qadhi, amirul jihad dan sebagainya diangkat oleh khalifah atau orang yang diberi kewenangan oleh khalifah berdasarkan ketetapan syara.vMekanisme ini tak hanya efektif dan efisien namun mampu menutup peluang munculnya diktatorianisme dan dominasi kekuasaan pihak tertentu.
Rakyat maupun penguasa tidak bisa membuat hukum sendiri. Hukum yang berlaku adalah hukum syara yang akan melahirkan berbagai kebijakan sesuai syara. Hukum ini tentu akan bersifat adil dan sangat memperhatikan kepentingan umat. Berbeda dengan demokrasi yang melahirkan banyak kebijakan yang tidak pro rakyat bahkan mendzalimi rakyat. Dalam demokrasi, pemegang kedaulatan bukanlah rakyat namun penguasa yang menjadi kaki tangan para kapitalis.
Sungguh kondisi yang berbanding terbalik bukan? Maka sudah saatnya kita mencari solusi alternatif supaya rakyat bisa hidup sejahtera, terlindungi jiwa dan raganya.
Wallahua'lam bishawab
Tags
Opini