Darurat Pendidikan di Musim Pandemi





Oleh: Neng Ipeh*

Pandemi virus corona yang saat ini masih terjadi telah menyebabkan darurat pendidikan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Belum lama ini, organisasi Save the Children menyebutkan bahwa pandemi corona virus 2019 (covid-19) telah menyebabkan kondisi darurat pendidikan. Badan amal dari Inggris ini mengutip data UNESCO yang menunjukkan bahwa pada bulan April 2020, ada sebanyak 1,6 miliar anak dikeluarkan dari sekolah dan universitas karena langkah-langkah yang berhubungan dengan Covid-19. Jumlah ini sekitar 90 persen dari seluruh populasi siswa di dunia.

"Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, seluruh generasi anak-anak di seluruh dunia mengalami gangguan pendidikan," kata lembaga itu dalam sebuah laporan baru bertajuk Save our Education seperti dikutip kantor berita AFP. (mediaindonesia.com/13/07/2020)

Lantas, bagaimana dengan di Indonesia? 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengambil kebijakan bahwa daerah dengan status Covid-19 zona merah, oranye, dan kuning, tidak boleh melaksanakan pendidikan tatap muka, melainkan pembelajaran jarak jauh. Akan tetapi menurut Ketua Komisi X DPR RI, Saiful Huda, belajar dari rumah tidaklah efektif karena Kemendikbud belum menyiapkan adaptasi kurikulum. Sementara, tidak semua sekolah dapat melaksanakan pembelajaran jarak jauh melalui daring karena keterbatasan sarana dan prasarana. Di sisi lain, sejumlah orang tua siswa juga tidak memiliki akses internet. Sehingga, ia menilai pandemi Covid-19 berdampak pada sektor pendidikan. Bahkan, ia menganggap Indonesia menghadapi darurat pendidikan.

"Kenapa darurat pendidikan? Karena anak-anak kita tidak maksimal bisa belajar. Tidak semua sekolah bisa menyelenggarakan pendidikan jarak jauh, orang tua tidak punya pulsa, sekolah juga tidak punya kuota, dan seterusnya," ujar Saiful dalam diskusi virtual 'Pemuda dan Pendidikan Kita di Masa Pandemi'. (republika.co.id/13/07/2020)

Adanya pandemi ini telah mengakibatkan jatuhnya ekonomi yang memaksa anak-anak putus sekolah karena kemiskinan. Sehingga kini semakin banyak anak muda yang akhirnya dituntut untuk bekerja atau anak perempuan yang dipaksa menikah dini untuk menghidupi keluarganya.

Polemik mahalnya biaya pendidikan sebenarnya merupakan akumulasi dari berbagai kebijakan negara yang rusak, baik menyangkut tata kelola negara yang kapitalistik maupun sistem pendidikannya.

Tata kelola negara kapitalistik yang berlandaskan paradigma Good Governance atau Reinventing Government atau konsep New Public Management mengharuskan negara berlepas tangan dari kewajiban utamanya sebagai pelayan rakyat. Negara hanya menjadi regulator (pembuat aturan) bagi kepentingan siapa pun yang ingin mengeruk keuntungan dari dunia pendidikan.

Berlepasnya negara menjadikan hubungan negara dengan rakyat tak lebih bagai hubungan dagang. Perhitungan untung rugi menjadi patokan. Pelayanan pendidikan diberikan minimalis jika tidak menghasilkan untung finansial. Sebaliknya, jika masyarakat menghendaki tambahan kualitas, dibebankan kepada masyarakat sendiri. Maka lahirlah berbagai pungutan. 

Di sisi lain, turunan dari konsep Reinventing Government dalam sistem pendidikan adalah adanya konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) dimana esensi dari MBS adalah kemandirian (otonomi) sekolah dalam mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah. Dalam hal ini, Komite Sekolah berwenang mengumpulkan sumbangan bagi keberlangsungan kegiatan sekolah. Inilah yang memunculkan berbagai pungutan (sumbangan) di sekolah. Sehingga menjadi suatu hal yang wajar jika biaya pendidikan mahal dan tak terjangkau bagi masyarakat yang belum sejahtera.

Tentu menjadi sebuah mimpi yang takkan pernah usai jika masih berharap akan mendapatkan pendidikan berkualitas tinggi ketika sistem yang diterapkan adalah kapitalisme. Maka sudah selayaknya kita buang sistem yang menyengsarakan rakyat ini dan menggantinya dengan sistem Islam yang berkualitas dan penuh dengan keberkahan.


*(Aktivis BMI Community Cirebon)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak