Oleh: Rindoe Arrayah
Hingga kini, pandemi Covid-19 masih menjadi topik serius dalam perbincangan di tengah masyarakat. Bagaimana tidak? Di saat pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan new normal, justru di beberapa daerah mengalami penambahan jumlah penderita yang sangat mengkhawatirkan.
Sebagai daerah yang memiliki julukan Kota Santri, yaitu Kabupaten Gresik yang berada di propinsi Jawa Timur tidak luput dari pergerakan penderita Covid-19 yang kian hari semakin tinggi. Bahkan, Gresik mencatat rekor penambahan kasus tertinggi selama pandemi Covid-19 di wilayah tersebut, yakni 61 pasien positif dalam sehari sehingga total menjadi 806 pasien.
Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Gresik drg Saifudin Ghozali dalam siaran persnya di Gresik, Jumat (3/7/2020), mengatakan penambahan kasus hari ini merupakan dua kali lipat dari kasus tertinggi sebelumnya yang terjadi pada Minggu (21/6/2020) dengan catatan 39 pasien dalam sehari.
Dari 806 pasien terkonfirmasi positif itu, rinciannya 90 pasien sembuh, 633 dirawat, dan 83 meninggal dunia.
Tingginya kasus hari ini, kata dia, merupakan kelanjutan dari upaya Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 setempat dalam menelusuri sejumlah pasien yang sebelumnya berstatus pasien dalam pengawasan (PDP).
Saifudin yang juga Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik itu, merinci total penambahan kasus baru itu berasal dari 11 kecamatan, masing-masing Balongpanggang, Benjeng, Bungah, Cerme, Driyorejo, Duduk Sampeyan, Gresik, Kebomas, Kedamean, Manyar dan Kecamatan Menganti.
Untuk pasien meninggal dunia hari ini tercatat delapan orang, masing-masing dari Kecamatan Benjeng, Bungah, Gresik, Manyar, Menganti, dan Driyorejo.
Ketua DPRD Gresik Fandi Ahmad saat melakukan inspeksi mendadak ke salah satu laboratorium klinik di Jalan Panglima Sudirman Gresik mendengar adanya keluhan masyarakat bahwa tidak adanya fasilitas tes cepat dari Pemkab Gresik.
Gus Yani, panggilan akrab Fandi Ahmad itu, mengatakan Pemkab Gresik kurang serius dalam menangani kasus Covid-19, sebab tidak adanya fasilitas tes cepat di tingkat puskesmas.
Ia menyatakan prihatin dengan kondisi tersebut, sebab pemerintah tidak hadir di tengah situasi pandemi seperti ini (Bisnis.com, 4/7/2020).
Dari pemaparan fakta di atas, kita kembali disuguhi sebuah ironi tragedi negeri ini. Sebuah situasi di mana penguasa abai terhadap rakyat sendiri. Sistem kehidupan kapitalisme yang diterapkan saat ini telah melahirkan sosok-sosok pemimpin yang tidak amanah dalam menjalankan tugas kepemimpinannya.
Ada beberapa ciri pemimpin yang tidak amanah dan bisa mengancam kehidupan kaum yang dipimpinnya, di antaranya:
1. Tak memenuhi syarat sebagai seorang pemimpin. Menurut kesepakatan para ulama, syarat seorang pemimpin adalah: Islam, baligh dan berakal, lelaki, mampu (kafaah), dan sehat anggota badannya.
2. Pemimpin yang hanya mementingkan dirinya sendiri, keluarga, sahabat atau kelompoknya sendiri.
3. Pemimpin yang berbuat dzhalim. Ia memimpin hanya untuk meraih kekuasaan, uang, dan mendapat fasilitas dari negara. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya akan datang di tengah-tengah kalian ,para pemimpin sesudahku, mereka menasihati orang, di forum-forum dengan penuh hikmah, tetapi jika mereka turun dari mimbar mereka berlaku culas, hati mereka lebih busuk daripada bangkai. Barang siapa yang membenarkan kebohongan mereka, dan membantu kesewenang-wenangan mereka, maka aku ,bukan lagi golongan mereka, dan mereka bukan golonganku, dan tidak akan dapat masuk telagaku. Barang siapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka, dan tidak membantu kesewenang-wenangan mereka, maka ia adalah termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka, dan mereka akan datang ke telagaku.” (HR. At-Thabrani).
4. Pemimpin yang menyesatkan umat. Ini adalah tipe pemimpin yang paling dikhawatirkan Rasulullah SAW. Pemimpin seperti ini adalah pemimpin yang berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari Dajjal laknatullah. Rasulullah SAW bersabda: “Selain Dajjal, ada yang lebih aku takuti atas umatku; yaitu para pemimpin yang sesat.” (HR Ahmad).
5. Pemimpin yang merusak tatanan sosial masyarakat. Seperti merajalelanya kemaksiatan, kejahatan, narkoba, perzinaan, dan tindakan kriminal lainnya.
Sepatutnya para penguasa bisa mencontoh salah satu sahabat Rasulullah SAW, yaitu Umar bin Khattab saat ia menjadi khalifah. Kepercayaan yang dibebankan dipundaknya dijadikan jembatan untuk mencari anugerah dan ridha Allah SWT.
Di sela-sela istirahatnya di malam hari, Umar menyisihkan waktu untuk mengunjungi perkampungan tempat tinggal kaumnya. Tak segan dan tak tanggung-tanggung dia mengusap kepala anak-anak yatim, mengulurkan bantuan kepada para dhuafa, fakir miskin.
Mereka yang dipercaya rakyat harus memikirkan rakyat, bukan hanya untuk memikirkan keluarga dan golongan sendiri, membodohi rakyat, mengeruk harta sebanyak-banyaknya seraya menggunakan aji mumpung.
Kekuasaan, jabatan, dan harta semata-mata hanyalah amanat dari yang Mahakuasa yang akan dimintai pertanggungjawaban di hari kelak. Semua manusia akan melihat segala amal perbuatan mereka di dunia.
Pun begitu, pada saat Umar bin Khattab menghadapi wabah yang menjangkiti rakyatnya. Dalam kitab Ash-Shahihain diceritakan, suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab Ra mengunjungi negeri Syam. Dia kemudian bertemu dengan Abu Ubaidah dan sahabat-sahabat lainnya. Dalam perbincangannya, mereka melaporkan kepada Umar, bahwa di Negeri Syam sedang diserang wabah penyakit, seperti wabah kolera. Perdebatan di antara mereka cukup hangat seputar masalah ini.
Meski demikian, Umar tak langsung mengambil keputusan langsung begitu saja. Beliau ingin bermusyawarah dengan mendengar masukan dari para sahabat-sahabatnya dan kaum Muslim saat itu.
"Panggillah orang-orang Muhajirin pertama!" perintah Umar.
"Saya sudah memanggil mereka, dan bahkan sudah berkonsultasi dengan mereka tentang pencemaran dan wabah yang sedang terjadi di negeri ini. Ujung-ujungnya, mereka berbeda pendapat dan pandangan," jawab Ibnu Abbas.
"Engkau keluar dari masalah ini!" Kami tidak tahu apakah engkau akan kembali mempedulikannya," kata salah seorang sahabat yang lain.
"Ada sahabat-sahabat yang lain, para sahabat Rasulullah pun juga ada. Kami sendiri tidak melihat mereka akan mendatangi wabah ini," kata sahabat yang lain.
"Cukup! jangan berdebat lagi. Kalau begitu pangil kaum Anshar kemari," kata Umar.
Akhirnya, mereka menghadirkan kaum Anshar dan meminta penjelasan dari mereka. Kaum Anshar juga demikian. Mereka berpendapat seperti halnya kaum Muhajirin. Saling berselisih pendapat.
"Sudahlah, akhiri perdebatan ini! Kalau begitu, sekarang hadirkan pembesar-pembesar Quraisy yang berhijrah di masa pembebasan Makkah," kata Umar.
Mereka kemudian dipanggil dan dihadirkan. Ternyata, tidak ada yang berdebat, kecuali dua orang saja. Dari ini tampak ada jalan terang.
"Menurut kami, engkau harus mengevakuasi orang-orang itu, dan jangan biarkan mereka mendatangi wabah ini," kata salah seorang pembesar Quraisy.
Umar bin Khattab lalu mengizinkan mereka.
"Wahai Amirul Mukminin, apakah ini lari dari takdir Allah?" tanya Abu Ubaidah.
"Mestinya orang selain engkau yang mengatakan itu, wahai Abu Ubaidah. Benar, ini lari atau berpaling dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain. Tidakkah engkau melihat, seandainya saja engkau memiliki unta dan lewat di suatu lembah dan menemukan dua tempat untamu; yang pertama subur dan yang kedua gersang. Bukankah ketika engkau memelihara unta itu di tempat yang subur, berarti itu adalah takdir Allah. Demikian juga apabila engkau memeliharanya di tempat yang gersang, apakah itu juga takdir Allah?" tanya Umar.
Abdurrahman bin Auf kemudian datang padahal sebelumnya dia tidak hadir dalam pertemuan itu. Karena, dia sedang mencari dan memenuhi kebutuhannya.
Abdurrahman lalu berkata, "Saya tahu tentang masalah ini. Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Jika kalian berada di suatu tempat (yang terserang wabah), maka janganlah kalian keluar darinya. Apabila kalian mendengar wabah itu di suatu tempat, maka janganlah kalian mendatanginya."
Dalam kondisi di tengah merebaknya wabah penyakit ini, Umar bin Khattab telah mengambil keputusan yang berbobot. Tujuannya tak lain adalah menyelamatkan lebih banyak kaum Muslimin dan manusia secara umum agar tidak dibinasakan oleh wabah penyakit.
Umar telah mempraktikkan sendiri apa yang pernah beliau ucapkan. Yaitu, nasihatnya ketika manusia menghadapi masalah. Pertama, menyelesaikan masalah dengan idenya yang justru semakin merusak. Kedua, menyelesaikan masalah dengan berkonsultasi dan memusyawarahkan kepada yang lebih ahli. Ketiga, bingung dan tidak menyelesaikan masalah, tetapi tidak mau mencari solusi dan tidak mau mendengar saran dan solusi orang lain."
Umar mengambil langkah kedua, dia bermusyawarah meminta pendapat para sahabat dari kalangan Anshar maupun Muhajirin. Intinya, dia melibatkan orang-orang yang dianggap memiliki keahlian karena yang dipanggil adalah para pemukanya. Apalagi, setelah Umar mendapat penjelasan dari salah seorangsahabat Nabi yang populer yaitu Abdurrahman bin Auf yang menyampaikan bagaimana petunjuk Nabi Muhammad ketika menghadapi wabah penyakit dan bagaimana menyelesaikan dan memutus mata rantai wabah penyakit itu.
Umar sama sekali tidak mengambil langkah pertama selaku orang yang mengambil keputusan yang merusak. Umar juga tidak mengambil langkah yang ketiga yaitu seorang yang bingung ketika menghadapi masalah.
Selain itu, Umar juga memberikan nasihat kepada kita. Bagaimana seorang pemimpin harus mengambil sikap yang tegas untuk menyelesaikan sebuah masalah. Untuk menyelesaikan masalah, seorang pemimpin juga sama sekali tidak diperbolehkan untuk menyepelekan suatu masalah. Karena, jika masalah itu disepelekan dan tidak diselesaikan, maka dampaknya akan terus menerus.
"Masalah tidak bisa diselesaikan, kecuali dengan ketegasan tanpa paksaan, dan dibarengi dengan cara lembut tapi tidak disepelekan,” begitu kata Umar.
Di sinilah bobot keputusan Umar yang sangat bagus untuk diteladani. Dan, ada satu lagi nasihat Umar dalam mempertahankan eksistensi sebuah negeri. Di mana, dia memilih orang-orang yang terbaik untuk membangun suatu daerah yang dipimpinnya agar tidak rusak.
Dikisahkan, ada suatu daerah yang nyaris hancur, padahal daerah itu sudah dibangun dan berkembang. Umar bin Khattab lalu ditanya, "Bagaimana bisa ada kampung yang hancur, padahal sudah dibangun kokoh dan berkembang?" Umar menjawab, "Jika para pembuat dosa lebih hebat dari pada orang-orang yang baik di daerah itu, kemudian pemimpin dan tokoh masyarakatnya adalah orang-orang munafik."
Di masa Umar, kemajuan Islam banyak dicapai. Dan, negeri-negeri di bawah kepemimpinan Umar sejahtera. Dan, negeri itu jauh dari kata kehancuran. Ini karena, Umar dalam memilih pemimpin bukan orang-orang yang munafik. Sehingga, kebijakan para kepala daerah/gubernur pilihan Umar, benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk mengutamakan kepentingan diri si pejabat atau kelompoknya.
Sejarah telah menggambarkan, betapa syariat Islam manakala diterapkan akan mengantarkan masyarakat pada kehidupan yang sejahtera dan penuh keberkahan. Tidak hanya disituasi normal, bahkan saat terjadi pandemi pun syariat Islam dengan nyata selalu terdepan dalam memberi solusi. Saatnya merapatkan barisan demi memperjuangkan kembali kejayaan Islam di muka bumi ini.
Wallahu a’lam bishowab.