Oleh : Marsitin Rusdi
Praktisi Klinis dan pemerhati Sosial Lingkungan
Hari demi hari, waktu demi waktu berganti tahun. Permasalahan yang timbul di negeri zamrud katulistiwa yang subur dan kaya raya tidak ada habisnya. Sejak delapan tahun terakhir rakyat semakin terkucilkan.
Semakin sengsara, dan tidak merdeka, walau diatas kertas sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Merdeka palsu yang selama ini hanya didengar saja bahwa Indonesia merdeka, sesungguhnya negara ini dikuasai oleh mafia-mafia rezim.
Setiap penguasa yang naik menjadi pimpinan, hanya akan memberi kemerdekaan pada cukong dan kroninya yang ada dalam ruang kekuasaan. Penindasan merajalela tanpa ada yang bisa membela, karena penindasan difasilitasi oleh pemerintah, bahkan didukung oleh negara. Agama mayoritas menjadi minoritas, sehingga merdeka hanya ceremonial saja.
Sekolah dari play group hingga perguruan tinggi masih harus bayar, sehingga banyak anak yang putus sekolah bahkan tidak mengenal bangku sekolah karena biaya yang mahal. Di pelosok desa masih ada dan banyak yang tidak mengenal huruf karena tidak sekolah. Sungguh zalim penguasa ini, ditambah sekarang dengan sistem during, yang belum bisa menjangkau hingga seluruh pelosok negeri.
Kebijakan ini semakin menyengsarakan rakyat, murid sengsara, orang tua sengsara, guru juga sengsara. Belum lagi perubahan kurikulum seenaknya mengikuti kemauan berfikir sang menteri yang bidangnya bukan dalam hal pendidikan. Sehingga pendidikan disamakan dengan menu makan yang setiap saat bisa berubah sesuai seleranya, bahkan dibuat bisnis seperti mafia. Rakyat lagi yang menjadi korban nafsu mereka, bila tidak memenuhi target yang mereka rencanakan, maka rakyat lagi yang disalahkan dengan sanksi yang mereka buat.
Kesehatan dari dulu hingga kini menjadi masalah yang tidak pernah ada penyelesaian dan menguntungkan rakyat. Berobat bagi rakyat adalah kebutuhan pokok karena dengan sehat mereka bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Namun demikian negara masih tega menarik bayaran, bahkan diminta untuk membayar saudaranya dengan sistem subsidi silang dalam program paksaan penguasa, yang sesungguhnya kesehatan adalah tanggung jawab negara. Alih-alih biar dianggap pemerintah yang membiayai pengobatan rakyat, dibuatlah sistem BPJS.
Rakyat kecil yang tidak tahu mengatakan yang bayar pemerintah, padahal dia sendiri yang bayar tiap bulan dana kesehatan itu. Justru pemerintah yang dapat dana dari sistem BPJS karena uang orang yang tidak sakit otomatis tidak disetorkan pada asuransi BPJS, terus dimana berhentinya uang tersebut?
Jika demikian justru pemerintahlah yang diperhatikan rakyat, bukan pemerintah yang memperhatikan rakyat. Apabila rakyat telat membayar kena sanksi dan denda. Peraturan dibuat hanya untuk menjerat rakyat agar rakyat terjerat dalam aturan mereka. Sehingga harus memenuhi tuntutan hukum yang mereka buat. Sehingga rakyat lagi yang sengsara, rakyat lagi yang menderita.
Seperti kasus Covid-19 yang sekarang belum selesai, yang disalahkan rakyat lagi karena tidak patuh pada aturan yang dibuat penguasa. Penguasa tidak sampai sumbu pemikirannya, kenapa rakyat harus melanggar? langsung saja gampang menyatakan rakyat tidak patuh. Rakyat tidak patuh karena mereka ingin cari uang untuk makan setiap hari, karena pemerintah tidak menjamin pangan mereka selama lockdown saat pandemi. Tidak mungkin rakyat akan patuh diam dirumah sedang seluruh anggota keluarga kelaparan karena penghasilan mereka dari usaha dagang nasi goreng yang harus jualan tiap hari untuk supaya bisa makan, atau kenyang.
Dari mana kalau tidak mencari keluar dari rumah bahkan bekerja diluar rumah untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka, karena itu adalah kebutuhan pokok demi kelangsungan kehidupan mereka.
Pemerintah mengatakan bahwa anggaran kesehatan untuk Covid-19 sebesar Rp. 87,55 triliun dan tidak akan ditambah walau kasus Covid-19 semakin bertambah, lalu buat apa anggaran sebegitu banyaknya ?
Berdasarkan data hingga hari ini saja penambahan jumlah positif baru Covid-19 mencapai.1447 kasus, hingga total kasus positif mencapai 62.142.yang dinyatakan sembuh 28.219 dan meninggal 3.089. dengan wilayah penyebaran di jawa timur masih tinggi dengan 413 kasus baru, DKI Jakarta 223 kasus baru, Sulawesi selatan 195 kasus baru , Jawa Tengah 110 kasus baru, Bali 91 kasus baru dan jawa Barat 88 kasus baru (Vivanews , 4 Juli 2020 ).
Hal ini justru membuat rakyat semakin panik karena penambahan kasus ini mencapai 1000 kasus per hari. Pemerintah beranggapan bahwa naiknya kasus hanya karena tes yang makin massif, bukan karena tidak diputusnya rantai penyebaran. Seolah sesuatu yang wajar, bahkan dianggap prestasi pemerintah yang menunjukkan sudah dilaksanakan tes lebih banyak orang. Padahal sesungghnya pelonggaran PSBB yang menjadi kunci peningkatan kasus Covid-19.
Sudah seharusnya pemerintah mengevaluasi kebijakan pelonggaran PSBB dan tidak lagi menyalahkan rakyat terus.
Dalam sistem kapitalis demokrasi rakyat tidak pernah merdeka selalu menjadi sasaran ketidak berhasilan rencana pemerintah. Dan pemerintah sebagai lembaga negara yang harus menjalankan roda pemerintahan tidak pernah mau menerima kritik dan saran dari wakil rakyat atau rakyat sendiri dengan upaya demonstrasi menyampaikan aspirasi namun tidak pernah digubris. Dalam demokrasi selamanya rakyat yang sengsara, walau jargonnya dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, seharusnya rakyat yang jadi raja. Namun kenyataanya rakyat justru jadi bulan bulanan penguasa, dijadikan prajurit pengumpul upeti untuk mereka.
Dalam sistem Islam rakyatlah yang merdeka, justru pemimpin /khalifah yang meriayah atau memelihara rakyat. Sehingga seluruh kebutuhan rakyat diperhatikan, tidak memandang pejabat atau rakyat jelata, semua diperhatikan sesuai dengan porsi yang ada dalam nas atau syariat Islam.
Khalifah Umar bin Khatab dijuluki Al-Faruq yang artinya adalah orang yang bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Dan beliau adalah tokoh pembaharuan dalam bidang pemerintahan dan politik. Membangun departemen khusus dibentuk sebagai tempat masyarakat dapat mengadu mengenai para pejabat dan negara.
Ketika tanah Arab dilanda paceklik atau saat itu dikenal dengan tahun abu, yakni musim kemarau panjang yang membuat tanah arab jadi tandus, suatu sore khalifah Umar mengajak sahabatnya Aslam blusukan ke kampung terpencil disekitar Madinah. Beliau mendengar suara tangisan disebuah gubug reot, sang khalifah mengajak berhenti sahabatnya, setelah memberi salam kepada penghuni gubuk bertanyalah sang khallifah kepada ibunya yg sedang mengaduk-aduk air di bejana. Kenapa anakmu menangis? ” Tanya sang Khalifah Umar. Ibunya menjawab, “anak saya kelaparan”. Apa yang kamu masak? Tanya sang khalifah. Batu,”jawab sang ibu miskin itu. Mengapa kamu memasak batu?”Tanya sang khalifah. Aku memasak batu ini karena ingin menghibur anakku, biasanya hingga terlelap ia menunggu masakan saya masak. Inilah kejahatan khalifah Umar bin Khatab. Dia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi apa belum,”kata perempuan itu.
Umar bin Khatab menitikkan air mata ia segera bangkit mengajak Aslam ke Madinah untuk mengambil gandum di baitul Mal. Dibawanya sendiri karung gandum oleh sang khalifah dipinggang beliau. Aslam meminta untuk membawakan gandum itu tidak diijinkan, wajah beliau merah padam. “Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Kau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau mau memikul beban dipundakku ini dihari pembalasan kelak?” kata Umar dengan nada tinggi. Sesampai digubuk wanita itu khalifah Umar sendiri yang memasak untuk keluarga si janda dan anaknya,setelah matang khalifah mengajak keluarga miskin tersebut makan. Umar kemudian pamit ia meminta perempuan itu besuk datang menemui khalifah Umar bin Khatab dikediamanya dan diminta berkata yang baik- baik kepada khalifah.
Betapa terkejutnya ibu tersebut, setelah sampai di kediaman khalifah, ternyata sosok yang ditemui perempuan miskin itu adalah sang Khalifah Umar bin Khatab pemimpinnya. Dan Umar yang minta maaf dulu kepada rakyatnya si wanita janda miskin itu karena tidak adil kepadanya. Begitulah sosok tauladan sang Khalifah hingga menjamin perempuan itu dalam kehidupannya. Jadi rakyatlah yang merdeka dalam sistem khilafah.
Wallahuaklam bissawwab
Tags
Opini