Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Seketika Mak rasa panas dingin begitu si sulung sudah baligh. Meski sebenarnya ingin tertawa, melihat tingkah kikuknya menceritakan apa yang tengah terjadi padanya. " Ngompolnya banyak Bu," katanya ketika itu. Pukul satu dinihari, turun terburu-buru dari kamarnya di lantai dua.
Panas dinginnya sebab moment yang selama ini Mak tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Masihkah dia mengingat apa yang selama ini kami wejangkan? Begitu keluar dari kamar mandi, segera kudaratkan peluk dan cium. " Alhamdulillah, anak ibu sudah baligh ... "
Si sulung tak terlalu menanggapi, sedikit shock sepertinya. Namun saat keesokan harinya ketemu waktu yang pas, Alhamdulillah kami bisa berbincang panjang lebar. Sedikit mengajukan pertanyaan settingan, ternyata dia ingat. Salah satunya adalah bahwa ia sudah sempurna menjadi laki-laki dewasa. Yang punya tanggung jawab lebih serius lagi dari sebelumnya.
Pergaulan pun harus lebih dijaga, sebab konsekwensi syariat tak memberinya celah hanya untuk sekedar coba-coba. Miris setiap kali mendengar si sulung bercerita bagaimana temannya dalam sebulan sudah berganti pasangan tiga kali. Penasaran juga, apa yang ada dalam benak anak-anak ABG ini soal pacaran ya?
Sebenarnya upaya menjelaskan kepada si sulung sudah ada, melalui ayahnya. Tapi naas, ayahnya pun lupa bagaimana pengalaman pertamanya baligh, bahkan dia lupa merasa atau tidak, ya sudahlah apa adanya menjelaskan. Sedikit shock wajarlah, ...
Beberapa tahun berikutnya giliran si adik yang mengalami "hari berdarah". Alhamdulillah diapun bisa melewati dengan baik, tak terlalu shock seperti kakaknya, bisa jadi Mak juga yang lebih nyaman menjelaskan hal ihwal masalah baligh kepada sesama perempuan. Hadehh..
Dan kembali rasa panas dingin itu muncul, sebab nyatanya sekolah berbasis Islampun hari ini tak menjamin bebas dari pacaran. Setiap hari si adik tak pernah ceritanya berganti dari teman-temanya yang pacaran. Ada saja pasangan baru yang jadian. Ketika saya tanya apa sih dik yang dimaksud pacaran? Ya duduk berdua, chatting, ditembak, pegangan tangan, ciuman begitu bu.
Astaghfirullah, kemudian lain hari si adik cerita temannya nangis hanya gara-gara chatnya gak dibalas, ternyata si cowoknya sedang main mobile legend sehingga konsentrasi penuh pada permainan. Sungguh setan begitu indah menghiasai perzinahan, hal sepele bisa jadi besar. Apakah benar itu pacaran yang ada dalam benak mereka?
Benarkah pacaran memberikan dampak positif? Jika iya, jelas ada pemikiran yang diplintir. Sebab Allah jelas-jelas menjelaskan dalam Alquran haramnya mendekati zina.
Gharizah nau' yang terpapar kenegatifan yang tayang di gadget dan media mass setiap hari dan dimanapun, jelas meronta meminta pemuasan. Dan ternyata banyak orangtua yang kecolongan. Entah mereka yang benar tidak tahu anaknya pacaran, atau anak yang memang tidak memberitahu alias tertutup.
Sekulerisme memang telah mencampakkan jauh-jauh bahwa Allah itu ada dan Maha Melihat. Mereka mengakui Allah itu ada namun, disetiap tindakan dan pemikiran tidak mencerminkan apa yang mereka akui. Terus terang agak mencibir dalam hati jika sekolah mensosialisasikan pembelajaran karakter anak.
Sebab antara target dengan metode menuju ke sana tak menunjukkan kesatuan misi. Anak hanya diminta bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, namun luput penjelasan bahwa mereka juga dimintai pertanggung jawaban Allah atas apapun yang mereka lakukan.
Kegiatan-kegiatan sekolah dikemas sedemikian rupa hingga bercampur baur bahkan kholwat tak terelakkan lagi. Pentas seni dengan dalih ajang unjuk kebolehan dan talenta jadi unggulan. Dengan biaya jutaan pun dijabani, ya Allah ... Hendak dibawa kemana anak-anak ini? Lantas karakter yang bagaimana yang hendak disandarkan sebagai pembangun peradaban?
Namun, dilema para orangtua di negeri +62 memang hingga keubun-ubun. Berganti menteri ganti kurikulum, namun tetap saja tak menyentuh pembiayaan oleh negara dan Islam bukan mapel utama. Sehingga kesannya kita yang ngotot mantengin anak supaya sesuai track tapi di luar, begitu bangga jika anaknya pulang di bonceng teman lelakinya.
Yang paling riskan adalah ketika si Cupit ( ikon cinta liberalis) datang dan siap memanah hati dengan cinta semu, maka siap-siap rasa tercubit. Mungkin lebih bijaksana jika adukan kepada Allah, sang pemilik hati.
Sepanjang yang kita mampu adalah memperjuangkan perubahan , Islam menjadi dasar hukum, kita juga tak henti-henti membina hubungan baik dengan anak-anak. Usia remaja hanya sesaat, namun datang bak ombak tsunami, tentu butuh kapal tak sekedar klotok tapi tempur dengan radar tercanggih. Wallahu a'lam Bish Showwab.
Seketika Mak rasa panas dingin begitu si sulung sudah baligh. Meski sebenarnya ingin tertawa, melihat tingkah kikuknya menceritakan apa yang tengah terjadi padanya. " Ngompolnya banyak Bu," katanya ketika itu. Pukul satu dinihari, turun terburu-buru dari kamarnya di lantai dua.
Panas dinginnya sebab moment yang selama ini Mak tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Masihkah dia mengingat apa yang selama ini kami wejangkan? Begitu keluar dari kamar mandi, segera kudaratkan peluk dan cium. " Alhamdulillah, anak ibu sudah baligh ... "
Si sulung tak terlalu menanggapi, sedikit shock sepertinya. Namun saat keesokan harinya ketemu waktu yang pas, Alhamdulillah kami bisa berbincang panjang lebar. Sedikit mengajukan pertanyaan settingan, ternyata dia ingat. Salah satunya adalah bahwa ia sudah sempurna menjadi laki-laki dewasa. Yang punya tanggung jawab lebih serius lagi dari sebelumnya.
Pergaulan pun harus lebih dijaga, sebab konsekwensi syariat tak memberinya celah hanya untuk sekedar coba-coba. Miris setiap kali mendengar si sulung bercerita bagaimana temannya dalam sebulan sudah berganti pasangan tiga kali. Penasaran juga, apa yang ada dalam benak anak-anak ABG ini soal pacaran ya?
Sebenarnya upaya menjelaskan kepada si sulung sudah ada, melalui ayahnya. Tapi naas, ayahnya pun lupa bagaimana pengalaman pertamanya baligh, bahkan dia lupa merasa atau tidak, ya sudahlah apa adanya menjelaskan. Sedikit shock wajarlah, ...
Beberapa tahun berikutnya giliran si adik yang mengalami "hari berdarah". Alhamdulillah diapun bisa melewati dengan baik, tak terlalu shock seperti kakaknya, bisa jadi Mak juga yang lebih nyaman menjelaskan hal ihwal masalah baligh kepada sesama perempuan. Hadehh..
Dan kembali rasa panas dingin itu muncul, sebab nyatanya sekolah berbasis Islampun hari ini tak menjamin bebas dari pacaran. Setiap hari si adik tak pernah ceritanya berganti dari teman-temanya yang pacaran. Ada saja pasangan baru yang jadian. Ketika saya tanya apa sih dik yang dimaksud pacaran? Ya duduk berdua, chatting, ditembak, pegangan tangan, ciuman begitu bu.
Astaghfirullah, kemudian lain hari si adik cerita temannya nangis hanya gara-gara chatnya gak dibalas, ternyata si cowoknya sedang main mobile legend sehingga konsentrasi penuh pada permainan. Sungguh setan begitu indah menghiasai perzinahan, hal sepele bisa jadi besar. Apakah benar itu pacaran yang ada dalam benak mereka?
Benarkah pacaran memberikan dampak positif? Jika iya, jelas ada pemikiran yang diplintir. Sebab Allah jelas-jelas menjelaskan dalam Alquran haramnya mendekati zina.
Gharizah nau' yang terpapar kenegatifan yang tayang di gadget dan media mass setiap hari dan dimanapun, jelas meronta meminta pemuasan. Dan ternyata banyak orangtua yang kecolongan. Entah mereka yang benar tidak tahu anaknya pacaran, atau anak yang memang tidak memberitahu alias tertutup.
Sekulerisme memang telah mencampakkan jauh-jauh bahwa Allah itu ada dan Maha Melihat. Mereka mengakui Allah itu ada namun, disetiap tindakan dan pemikiran tidak mencerminkan apa yang mereka akui. Terus terang agak mencibir dalam hati jika sekolah mensosialisasikan pembelajaran karakter anak.
Sebab antara target dengan metode menuju ke sana tak menunjukkan kesatuan misi. Anak hanya diminta bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, namun luput penjelasan bahwa mereka juga dimintai pertanggung jawaban Allah atas apapun yang mereka lakukan.
Kegiatan-kegiatan sekolah dikemas sedemikian rupa hingga bercampur baur bahkan kholwat tak terelakkan lagi. Pentas seni dengan dalih ajang unjuk kebolehan dan talenta jadi unggulan. Dengan biaya jutaan pun dijabani, ya Allah ... Hendak dibawa kemana anak-anak ini? Lantas karakter yang bagaimana yang hendak disandarkan sebagai pembangun peradaban?
Namun, dilema para orangtua di negeri +62 memang hingga keubun-ubun. Berganti menteri ganti kurikulum, namun tetap saja tak menyentuh pembiayaan oleh negara dan Islam bukan mapel utama. Sehingga kesannya kita yang ngotot mantengin anak supaya sesuai track tapi di luar, begitu bangga jika anaknya pulang di bonceng teman lelakinya.
Yang paling riskan adalah ketika si Cupit ( ikon cinta liberalis) datang dan siap memanah hati dengan cinta semu, maka siap-siap rasa tercubit. Mungkin lebih bijaksana jika adukan kepada Allah, sang pemilik hati.
Sepanjang yang kita mampu adalah memperjuangkan perubahan , Islam menjadi dasar hukum, kita juga tak henti-henti membina hubungan baik dengan anak-anak. Usia remaja hanya sesaat, namun datang bak ombak tsunami, tentu butuh kapal tak sekedar klotok tapi tempur dengan radar tercanggih. Wallahu a'lam Bish Showwab.
Tags
Opini