Oleh : Yunanda Indah
Aktivis Dakwah Kampus
Sampai hari ini kasus Corona di belahan dunia di Indonesia pun belum mengalami angka penurunan. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengurangi angka penyebaran masih saja belum diindahkan. Ini bisa di lihat dari ketidakdisiplinan masyarakat melaksanakan protokol kesehatan saat melakukan aktivitas di luar rumah. Terlebih dengan adanya kebijakan new normal, gugus tugas percepatan Penanganan Covid-19 mengungkapkan bahwasanya produktivitas di tengah pandemi hanya akan menimbulkan resiko yang lebih besar di sejumlah daerah.
Dilansir oleh VivaNews.co, (04/06/20), berdasarkan datanya hingga hari ini penambahan jumlah positif baru Covid-19 mencapai 1.447 kasus, sehingga total kasus positif mencapai 62.142. Yang dinyatakan sembuh 28.219 dan meninggal 3.089. Berdasarkan wilayah, penyebaran di wilayah Jawa Timur masish tertinggi dengan 413 kasus baru, DKI Jakarta 223 kasus baru, Sulawesi Selatan 195 kasus baru, Jawa Tengah 110 kasus baru, Bali 91 kasus baru dan Jawa Barat 88 kasus baru.
Angka ini menjadi gambaran apabila dilaksanakan produktivitas diluar rumah justru menimbulkan resiko dengan angka yang lebih meningkat lagi. Apalagi produktivitas yang dilakukan diluar rumah megabaikan protokol kesehatan, misal menjaga jarak, mencuci tangan atau menggunkan masker.
Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLHI) menilai, penerapan kebijakan Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hanya upaya pemerintah pusat melempar tanggung jawab penanganan Covid-19 kepada pemerintah daerah.
Kebijakan PSBB yang awal mulanya digadang-gadangkan pemerintah menjadi opsi untuk pengurangan angka Covid-19, justru kian bertambah angka penyebarannya apalagi ketidakdisiplinan masyarakat mengikuti protokol kesehatan. Ini menjadi bukti bahwasanya, kebijakan PSBB perlu dikoreksi dan juga membutuhkan solusi jangka panjangnya.
Kesehatan di Sistem Kapitalisme
Sebelum memasuki tahap pandemi Covid-19, masalah kesehatan yang terbilang penting justru tidak diindahkan di Indonesia terlebih sekularisme masih mengakar kuat di negeri mayoritas muslim. Sebagai contoh, kenaikan BPJS Kesehatan di situasi pandemi yang tidak tanggung-tanggung mencekik rakyatnya sendiri. Di masa pandemi seperti ini seharusnya pemerintah memenuhi kembali janji di masa kampanyenya untuk mensejahtrakan rakyat bukan malah menambah kesakitan rakyatnya sendiri dengan kebijakan yang mencekik.
Kondisi pandemi seperti sekarang ini, kesehatan masyarakat adalah hal terpenting. Bidang kesehatan pemerintah mengatakan anggaran kesehatan untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 85,55 Triliun tidak akan bertambah hingga akhir tahun. Meskipun kasus positif Covid-19 saat ini semakin banyak dengan jumlah penambahan rata-rata per hari diatas 1000 kasus. Pernyataan seperti ini seolah kasus Covid-19 di Indonesia sudah landai, padahal tiap harinya di daerah-daerah masih terjadi lonjakan kasus terinfeksi Covid-19.
Apakah pemerintah menjamin hingga akhir tahun ini tidak ada lagi peningkatan Covid-19 di berbagai daerah di Indonesia. dengan dana yang terbilang fantastis tersebutpun belum tentu mampu memenuhi penanganan di bidang kesehatan.
Pandemi sudah berlangsung dengan kurun waktu yang terbilang lama sejak Maret 2020 dan belum menampakkan tanda-tanda teratasi dengan kebijakan apapun, mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Social Distancing sampai penerapan new normal yang sama sekali tidak menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi angka penyebaran Covid-19.
Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementrian Keuangan Kunta Wibawa Dasa Nugraha mengungkapkan, Rincian alokasi anggaran kesehatan penanganan Covid-19 sebesar Rp 87,55 Triliun tersebut antara lain untuk penangana Covid-19 sebesar Rp65,8 Triliun, intensif tenaga medis sebesar Rp5,9 Triliun, santunan kematian sebesar 0,3 Triliun, bantuan iuaran jaminan kesehatan nasional (JKN) sebesar 3 Triliun, anggaran Gugus Tugas Covid sebear Rp 3.5 Triliun dan insentif perpajakan di bidang kesehatan sebesar Rp9,05 Triliun.
Kunta menjabarkan realisasi anggaran tersebut antara lain insentif tenaga medis baru tersalurkan Rp0.1 triliun dari jumlah Rp 5,9 triliun, bantuan iuran JKN belum terealisasi dari jumlah Rp 3 triliun kemudian anggaran Gugus Tugas Covid-19 sudah terserap Rp 2,9 triliun dari jumlah Rp3.5 triliun, serta insentif perpajakan di Bidang Kesehatan baru terserap Rp1,3 triliun dari sejumlah Rp9,05 triliun. Di era kapitalis saat ini, seolah kesehatan harus dibayar dengan lembar rupiah untuk mendapatkan jqminan kesehatan. Miris bukan.
Peran Khalifah dalam Menjamin Kesehatan Rakyat
Dalam Islam kesehatan merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk kemajuan sebuah masyarakat. Dalam negara islam kesehatan memiliki tiga unsur sistem, yakni dari segi peraturannya yang mencakup syariah islam secara keseluruhan, kedua sarana dan prasarana berupa alat-alat medis yang mendukung majunya bidang kesehatan dan ketiga SDM (Sumber Daya Manusia ) berupa dokter, perawat dan tenaga medis lainnya. ( S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic sciences. Hlm 148 )
Pelayanan kesehatan sebuah masyarakat hanya bisa didukung dengan tersedianya sarana dan prasarana dari negara serta Sumber Daya Manusia yang kompeten dalam bidangnya. Itu semua disediakan oleh negara karena negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab penuh untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar. Bagaimana di era kapitalisme sekarang ? Negara hanya menyediakan sebatasnya saja tanpa menjamin penuh kebutuhan masyarakatnya, terbukti dengan tumbangnya beberapa pihak medis atau masyarakat biasa akibat pandemi Covid-19 karena kurangnya sarana prasarana yang disediakan negara.
Gambaran tersebut, menyadarkan kita bahwasanya umat membutuhkan pemimpin yang peka dengan keadaan rakyatnya. Bukan pemimpin yang beretorika dengan janji-janji semu saat kampanye saja. Tetapi pemimpin yang menangani wabah dengan tidak optimal serta menjamin seluruh kebutuhan masyarakatnya. Sehingga dapat kita simpulkan bahwasanya pemimpin saat ini adalah pemimpin yang lahir dari peradaban kapitalisme yang kurang bertanggung jawab penuh atas rakyatnya. Ia juga mengabaikan kewajiban dia sebagai pengurus umat.
Pemimpin saat ini sangat bertolak belakang dengan salah satu hadis Nabi saw. tentang pemimpin.
"Pemimpin masyarakat adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR Muslim)
Inilah seharusnya peran negara dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, dan ini hanya terwujud dalam sebuah sistem yang menerapkan aturan Allah secara utuh yakni dalam sistem Islam yang mengikuti metode kenabian.
"Pemimpin masyarakat adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR Muslim)
Inilah seharusnya peran negara dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, dan ini hanya terwujud dalam sebuah sistem yang menerapkan aturan Allah secara utuh yakni dalam sistem Islam yang mengikuti metode kenabian.
Wallahu a'lam bish shawab
Tags
Opini