Carut Sengkarut PPDB Zonasi, Hak Pendidikan Kita Direduksi



(Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis)

Carut sengkarut PPDB zonasi kembali terjadi. Kondisi pandemi menambah kisruh karena PPDB harus dilakukan daring dengan berbagai prosedur baru yang harus diikuti. Meski sistem zonasi sudah diberlakukan sejak 2017 lalu, dinamika masyarakat begitu tinggi. Walhasil, prosedur dan pelaksanaannya sering mengalami perbaruan dan perubahan.

Seperti yang baru-baru ini terjadi. Beberapa daerah mengeluhkan PPBD zonasi karena banyak kendala terjadi. Baik karena faktor teknis, seperti kesulitan jaringan internet, persoalan akun, tak mendapatkan verifikasi dari sekolah dan sebagainya maupun tekait aturan zonasi. Akhirnya banyak warga harus datang ke sekolah, tentu dengan rasa was-was terhadap penularan Covid-19 karena masih dalam masa pandemi.

Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, pihak sekolah pun ikut berkeluh kesah. Pasalnya, masih saja ditemui adanya kecurangan administrasi, seperti pemalsuan surat keterangan tak mampu, adanya kartu keluarga ganda, surat rekomendasi dari pihak tertentu dan sebagainya. 

Otonomi daerah, adalah salah satu sebab masalah di sistem zonasi. Meski Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan aturan terkait PPDB zonasi, implementasinya tergantung daerah. Sayangnya, tidak sedikit terjadi ketidaksinkronan kebijakan pusat dan daerah. Seperti dalam kasus digunakannya kriteria usia dalam PPDB di DKI. Dinas Pendidikan DKI mengimplementasikan kebijakan pusat sesuai kondisi wilayah DKI yang padat penduduk dengan kesenjangan ekonomi yang cukup besar.

Seleksi berdasar usia dianggap yang paling manusiawi agar semua warga yang lebih tua usianya didahulukan bersekolah. Sedangkan sisanya diharapkan bisa memanfaatkan sekolah swasta sebagai alternatif. Dalam hal ini pemerintah pusat tidak bisa mengintervensi langsung, atau pun membatalkan kebijakan daerah. Ini semua tentu berhubungan dengan otonomi daerah.

Otonomi daerah juga memicu problem aturan zonasi. Contohnya, hanya karena kendala administrasi wilayah, ada sebagian warga masyarakat (terutama di perbatasan) yang tidak bisa bersekolah di sekolah yang paling dekat dengan tempat tinggalnya. 

Problem kondisi sekolah di Indonesia yang belum merata kualitasnya, juga penyebaran guru berkualitas yang belum merata, tentu juga terkait Otonomi Daerah. Menurut data terakhir Kemendikbud, ruang kelas yang kondisinya tergolong baik tidak mencapai 50% di seluruh Indonesia. Artinya lebih banyak ruang kelas yang rusak dibandingkan yang baik. Dalam hal ini, Pemerintah Daerahlah yang terus didorong untuk mengupayakan solusi masalah ini. Padahal, kondisi inilah yang memicu sengkarut PPDB zonasi. 

Nyata sudah, warga menjerit akan pemenuhan hak pendidikan. Pun mempertanyakan, mengapa negara tak mampu memberikan fasilitas pendidikan mencukupi agar semua anak usia sekolah tertampung di sekolah negeri berkualitas, tanpa harus kisruh setiap tahunnya.

Kalua kita perhatikan, carut sengkarut PPBD zonasi menguatkan pesan betapa lemahnya negara mengurus pendidikan warganya. Padahal pendidikan adalah hak mendasar individu dan masyarakat. Jika ditelusuri, problem PPDB Zonasi ini sejatinya tak lepas dari paradigma pengelolaan kekuasaan negara yang neoliberal. Sebagai bagian dari sistem politik dan ekonomi global, Indonesia menganut model pengelolaan kekuasaan Reinventing Government.
Dengan model ini, negara dituntut memberi kesempatan seluas-luasnya kepada swasta (masyarakat) untuk terlibat dalam kewajiban yang seharusnya dilakukan negara. Selanjutnya negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, bukan pelaksana (operator).

Oleh karena itu, peran sekolah swasta menjadi hal yang sangat diharapkan dalam proses pendidikan. Data yang disampaikan Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (PDSPK) menunjukkan bahwa jumlah sekolah negeri pada jenjang SMP lebih sedikit dibandingkan SMA. Sementara lebih dari 60% SMA ternyata merupakan sekolah swasta.
Berkaitan dengan kurangnya daya tampung sekolah negeri, Pemerintah beranggapan bahwa membangun sekolah negeri baru untuk meningkatkan akses pendidikan bukan langkah yang ekonomis untuk dilakukan dalam waktu dekat.

Karena itu, kemitraan Pemerintah dengan swasta (masyarakat) dianggap solusi. Pemerintah akan mendorong pihak swasta (masyarakat) penyelenggara pendidikan agar memahami kebutuhan masyarakat. Seperti, himbauan agar menurunkan biaya pendidikan, meningkatkan kualitas dan sebagainya.

Padahal, dalam sistem kapitalis, pendidikan kerap dijadikan aset (alat) pengeruk keuntungan. Keterlibatan swasta dalam dunia pendidikan kebanyakannya didasari motivasi mencari keuntungan. Maka berharap pendidikan murah berkualitas pada swasta dalam sistem kapitalis, seperti pungguk merindukan bulan.

Karena itulah, Negara seharusnya hadir secara penuh dalam penyelenggaraan pendidikan dan tidak bergantung pada swasta. Sebab, negara berkewajiban menyediakan sekolah dan semua kelengkapannya sesuai kebutuhan.

Berbeda dengan sistem kapitalis, dalam Khilafah, kepala negara (Khalifah) adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua warga negara. Negara hadir sebagai pelaksana (operator, bukan regulator atau fisilitator) dalam pelayanan pendidikan.

Dengan peran utama ini, negara bertanggung jawab untuk memberikan sarana prasarana, baik gedung sekolah beserta seluruh kelengkapannya, guru kompeten, kurikulum sahih, maupun konsep tata kelola sekolahnya. Negara juga harus memastikan setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan pendidikan secara mudah dan sesuai kemampuannya. Dalam hal ini, birokrasi Khilafah berpegang kepada tiga prinsip: kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan, dan profesionalitas orang yang mengurusi. Dengan prinsip ini kerumitan mendaftar sekolah sangat bisa diminimalisasi.

Sebagai operator (pelaksana tanggung jawab), negara tidak boleh menyerahkan urusannya kepada swasta seraya berlepas tanggung jawab. Dalam negara Khilafah, sekolah swasta memang diberi kesempatan untuk hadir memberikan kontribusi amal salih di bidang pendidikan.
Mereka boleh mendirikan sekolah, lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal. Namun, keberadaan mereka tidak sampai mengambil alih dan menggeser tanggung jawab negara.

Negara Khilafah juga senantiasa membangun suasana takwa warga negaranya. Negara akan terus membangun paradigma pendidikan sahih di tengah-tengah masyarakat. Sehingga masyarakat tidak mispersepsi tentang pendidikan. Mereka hanya mengejar capaian sahih dari proses pendidikan. Yakni, berlomba-lomba mencari derajat tertinggi di sisi Allah melalui ilmu yang diraihnya.Walhasil, keberlangsungan pendidikan akan berjalan dengan khidmat tanpa kisruh. Capaian pendidikan benar-benar optimal untuk membangun peradaban.

Wallahu a’lam bi ash showab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak