Boikot Unilever, Cukupkah menyelesaikan masalah



Oleh : Sifi

Perusahaan produsen barang rumah tangga terbesar ketiga di dunia ini, Unilever mendadak menjadi pembicaraan panas di kalangan netizen Indonesia. Ini terjadi tepat setelah pihak perusahaan Unilever Global mengunggah logo baru dalam akun Instagram resminya @unilever.

Adapun letak masalahnya adalah logo baru Unilever itu berwarna pelangi, seolah sebagai bentuk dukungan resmi terhadap golongan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender), seperti yang terlihat sebagai berikut:

"Kami berkomitmen untuk membuat kolega LGBTQI+ bangga pada kami karena mereka. Itulah sebabnya kami mengambil tindakan bulan kebanggan ini," demikian bunyi keterangan yang dituliskan akun instagram @Unilever.
Seperti yang diberitakan PR Pangandaran, pihak Unilever Global tampak begitu percaya diri dengan koalisi baru mereka.
"Bergabung dengan Open for Business untuk menunjukan bahwa kita berarti bisnis pada inklusi LGBTQI+," demikian bunyi pernyataan dari Unilever Global.

Sontak saja, unggahan yang menunjukan dukungan 100 persen pada budaya yang ditolak umat Islam telah memicu kemarahan netizen, terutama umat Islam Indonesia.
Terbukti, unggahan pada Jumat 19 Juni 2020 itu telah mendapatkan komentar lebih dari 17 ribu orang. Kebanyakan isi komentar menyuarakan hasrat kompak untuk memboikot produk mereka.

"Say good bye @unilever there are still many products that are move elegenat than unilever, (selamat tinggal unilever, disini lebih banyak produk yang lebih baik dari produk mereka)," demikian bunyi cuitan dari @takinells dalam akun Instagramnya.

Nampaknya, Unilever saat ini harus siap-siap di tinggal konsumen dari kalangan muslim. Akibat dukungannya secara terang-terangan mendukung LGBT. Pasalnya seruan boikot pun telah disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Azrul Tanjung selaku Ketua Komisi Ekonomi MUI, menegaskan akan mengajak masyarakat untuk beralih pada produk lain. “Saya selaku ketua komisi ekonomi MUI akan mengajak masyarakat berhenti menggunakan produk Unilever dan memboikot Unilever,” kata Azrul. Republika, Ahad (28/6/2020).

Alhasil, seruan boikot produk Unilever semakin hari semakin membesar bak bola salju yang terus menggelinding. Memang, produsen bakal merugi dengan adanya aksi boikot ini. Hanya saja kerugian itu cuma sepersekian persen saja alias sedikit. Lalu, cukupkah menyelesaikan LGBTQ+ hanya bermodalkan boikot saja?

Sepertinya tidak. Mengingat bukan hanya Unilever yang mendeklarasikan dukungannya pada "kaum pelangi" ini, setidaknya ada puluhan perusahaan besar dunia seperti Microsoft, Apel, Google dan perusahaan Multinasional MNC.
Memang aksi boikot akan ada sisi merugikannya bagi produsen tersebut, tapi itu tidak menjamin bahwa mereka akan menghentikan dukungannya pada kaum LGBTQ+.


Karena di dalam negara yang menganut sistem liberal kapitalis seperti di negeri ini, mereka tidak akan melihat siapa yang mereka dukung selama itu memberikan keuntungan yang banyak bagi mereka.

Sebenarnya, keberadaan kaum sodom dan sejenisnya tentu membahayakan kehidupan sosial masyarakat tidak hanya kaum muslim. Namun selama hidup dalam sistem sekuler demokrasi dukungan terhadap mereka mampu digerakkan secara internasional karena paham kebebasan.

Jadi tidak cukup hanya memboikot produk mereka karena MNC global perusahaan Multinasional berikut Apple, Google dan lain-lain telah melakukan seribu cara agar tetap produk mereka diterima oleh masyarakat muslim.

Sungguh, solusi jitu untuk pemberantasan dan perlawanan terhadap LGBT ini dibutuhkan upaya yang serius. Upaya yang bukan hanya parsial(sebagian) tetapi upaya yang sistematis sampai ke akar-akarnya. Dimulai dengan menghapus faham, sistem serta individu, masyarakat sampai institusi (lembaga) yang liberal. Tentunya diganti dengan sesuatu yang benar yang berasal dari Sang Pencipta Tuhan Semesta Alam (Allah Subhanahu wa Ta'ala).

Apalagi kalau bukan ideologi Islam. Di mana ideologi ini mampu melahirkan individu, masyarakat bahkan sampai ke tingkat institusi(lembaga) yang taat, bertaqwa dan menebar rahmat.

Semua ini akan terwujud dengan adanya institusi (negara) yang menaunginya. Ya itulah Daulah Khilafah Islamiyah. Sebuah sistem pemerintahan Islam yang di wariskan oleh baginda Rasulullah dan di teruskan para sahabat. Di dalam Islam LGBT merupakan tindakan yang berdosa bahkan haram.

Dengan sistem Islam, negara mampu mencegah, memberantas dan memberi hukuman kepada para pelaku LGBT tanpa pandang bulu dan tanpa melihat keuntungan materi semata tentunya sesuai dengan tuntunan syariat Islam.

Selain itu masyarakat akan dibangun ketakwaannya, selalu diawasi perilakunya agar senantiasa sesuai jalur yang benar. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya" (QS. At-Talaaq: 2)

Tentu upaya yang seserius ini merupakan upaya yang seharusnya di lakukan oleh semua muslim. Bukan segelintir orang, bukan kelompok-kelompok kecil apalagi seorang diri. Sudah saatnya sebagai seorang muslim mengambil peran yang mulia ini untuk mewujudkan kembali Daulah Khilafah Islamiyah agar kaum sodom, LGBT, dan sejenisnya tidak berkembang pesat seperti saat ini. Wallahu a’lam biash-shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak