Oleh:Surfida, S.Pd.I
(Pemerhati Pendidikan)
Komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ) seakan mendapatkan angin segar, karena baru-baru ini mendapatkan dukungan dari perusahaan besar yaitu Unilever. Pernyataan dukungan ini diumumkan oleh Unilever diAmsterdam pada tanggal 19 juni 2020. Setelah pernyataan tersebut warna logo unileverpun berubah. Semula berwarna hitam, berubah warna seperti pelangi. Warna pelangi ini menunjukan bahwa itu adalah warna bendera LGBTQ.
Pernyataan dukungan ini langsung tersebar didunia maya, maka tak sedikit warga Indonesia menyerukan untuk memboikot perusahaan Unilever. MUI pun menyerukan hal yang sama. Melalui Ketua Komisi Ekonomi MUI, Azrul Tanjung, mengatakan bahwa, “Saya selaku ketua komisi ekonomi MUI akan mengajak masyarakat berhenti menggunakan produk Unilever dan memboikot Unilever".(republika.co.id, 28/6/2020). Beliau juga menyampaikan agar masyarakat beralih keproduk lain.
Selain pernyataan boikot, ada juga yang mengingatkan unilever agar tidak mengikuti kebijakan Unilever pusat. Misalnya dari Pengamat Ekonomi Islam Irfan Syauqi Baik. Beliau mengatakan bahwa khusus Unilever indonesia lebih baik fokus pada pengembangan produk halal dan harus menginformasikan dengan jelas bahwa mereka tidak mengikuti kebijakan pusat. (Republika.co.id, 29/6/2020).
Pelangi Subur Dalam Kapitalisme
Seruan MUI untuk memboikot produk Unilever tersebut, patut kita dukung karena itu untuk menyelamatkan generasi muda. Jika kaum pelangi semakin melebarkan sayapnya maka generasi muda kini dan mendatang akan rusak.
Namun, dengan adanya aksi boikot tersebut tidak menjamin bahwa kaum pelangi bisa dihentikan keberadaannya. Yang merasakan efeknya hanya Unilever, tetapi itu tidak akan menjadikan Unilever bangkrut dan menghentikan dukungannya pada kaum pelangi. Selain itu, sebagian masyarakat Indonesia adalah pengguna produk tersebut. Produk Unilever juga banyak dipasaran.
Aksi boikot ini bukan saja kali ini diserukan oleh umat, tetapi sebelumnya juga sudah pernah diserukan. Salah satunya boikot produk Cocacola pada tahun 2018 silam. Karena hasil dari penjualan produk tersebut disumbangkan ke Israel yang sudah membombardir Palestina. Akan tetapi sampai saat ini produk tersebut masih beredar dinegeri ini, dan sebagian rakyat masih memiliki daya tarik beli. Palestina pun masih di kuasai Israel. Begitu juga dengan boikot produk Unilever ini, sepertinya tidak berhasil juga.
Bukan untuk pesimis tetapi LGBT ini dipelihara oleh sistem yang diterapkan dunia saat ini, yaitu sistem Kapitalis Sekuler. Sistem yang menjauhkan agama dari kehidupan. Para pelaku tidak akan merasa berdosa jika mereka melakukan perbuatan menyimpang, sebab mereka menganggap aturan agama hanya berlaku dalam hal ibadah saja. Pun demikian juga banyak institusi yang berpihak pada mereka.
Disisi lain, perusahaan Unilever berpijak pada Liberalisme, yang mengagungkan kebebasan berekspresi. Sehingga LGBT sangat dibutuhkan bagi para pemilik modal sebagai lahan yang subur bagi bisnisnya. Bukan rahasia lagi, dalam sistem Kapitalisme yang menjadi tujuan utama para korporasi adalah keuntungan yang besar. Jika yang menjadi tujuan utama adalah keuntungan, maka keselamatan generasi muda itu urusan belakangan.
Seandainya negara ini serius untuk menyelamatkan generasi muda dari jeratan kaum pelangi, maka negara harus hadir karena masalah ini adalah sistematik. Negara harus menetapkan kejelasan dan kepastian hukum bagi pelaku LGBTQ, juga institusi-institusi yang mendukung keberadaan warga pelangi. Institusi tersebut harus dibubarkan. Urusan menyelamatkan generasi jangan hanya diserahkan kepada MUI dan ormas-ormas Islam. Seandainya saja LGBT ini adalah virus penyakit, mungkin bisa disembuhkan dengan obat medis. Akan tetapi, ia adalah perilaku menyimpang dari fitrah manusia. Maka negara harus hadir dengan segala aturannya.
Penguasa harusnya bekerjasama dengan korporasi dalam mendukung keberadaan para pelaku penyimpangan tersebut. Siapa saja yang menyerukan untuk merangkul LGBT, dalam hal ini mendukung mereka maka harus diberikan sanksi yang tegas.
Namun, apakah sanksi yang tegas ini bisa diterapkan dalam negara yang menjunjung tinggi kebebasan, HAM? tentu tidak. Karena setiap negara mau memberikan sanksi, pasti akan ada suara sumbang para pegiat HAM, pendukung kebebasan yang membela. Oleh karena itu harus hadir sebuah sistem yang mampu menghentikan pergerakan LGBT dunia saat ini.
Islam Solusi Penyimpangan Kaum LGBTQ
Kaum pelangi akan berhenti menyebarkan ajarannya, jika dunia dan khususnya Indonesia mengambil sistem yang datang dari pencipta manusia. Sistem ini adalah Islam. Islam hadir bukan sekedar agama ritual, melainkan sebagai sebuah aturan hidup seluruh alam semesta. Islam juga mampu menyelesaikan seluruh problematika yang dihadapi manusia, termasuk masalah LGBTQ. Maka dari itu Islam harus diterapkan kembali dalam sendi-sendi kehidupan.
Dalam Islam telah jelas bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, untuk kelangsungan hidup manusia. Islam menganjurkan bahwa laki-laki harus menikah dengan perempuan bukan sesama jenis, seperti yang dilakukan para LGBTQ saat ini. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Q.S An-Nisa ayat 1: “Wahai manusia Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (adam), dan Allah menciptakan pasangannya Hawa dari dirinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan pe peliharalah hubungan keluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu”.
Maka dari itu, jika ada yang melakukan perilaku menyimpang tersebut, maka negara Islam langsung bertindak dan memberikan sanksi kepada para pelaku. Dalam syariat Islam, hukuman bagi LGBT adalah dijatuhkan dari gedung yang tinggi sampai mati. Alhasil, pelaku LGBT akan mampu di cegah dan dihentikan. Oleh karena itu, negara harus menerapkan aturan dari Allah SWT agar pelaku LGBT bisa diberantas sampai ke akar-akarnya. Sehingga masyarakat tidak was-was terhadap pengaruh LGBT. Wallahu'alambishowab.
Tags
Opini