Bioskop Dibuka : Kebingungan Atasi Wabah atau Genjot Ekonomi




Oleh : Uqie Nai
Alumni Branding for Writer 212


Laju pertumbuhan kasus positif Covid-19 masih terus mengkhawatirkan. Kurva melandai yang seharusnya menjadi kabar gembira bagi masyarakat nyatanya belum berpihak pada negeri ini. Berbagai langkah dan kebijakan terus dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi virus corona. Dari mulai jaga jarak, jaga fisik, Pemberlakuan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga sekarang dengan new normal nya. Namun alih-alih memutus penyebaran virus justru kebijakan-kebijakan itu membuat korban semakin bertambah.

Gagapnya negara mencari solusi tepat atasi Covid-19 hingga berdampak pada berbagai sektor, baik ril maupun non-ril menjadikan aturan yang dibuatnya tumpang tindih dan menjadi solusi tambal sulam. Sebut saja sektor ekonomi. Pemerintah berupaya memulihkan perekonomian rakyat dengan kembali dibukanya pasar, mall, bandara dan stasiun menjelang Idul Fitri lalu. Akibatnya, PSBB ambyar. Massa memadati tempat-tempat tersebut dengan resiko penularan sulit diprediksi.

Kini, sektor industri hiburan kembali disasar pemerintah bersama pengelola bioskop agar dibuka untuk umum. Alasannya? Tentu bukan untuk memutus virus corona tapi bagaimana mendongkrak ekonomi dari sektor hiburan. Akhirnya upaya ini berujung disepakatinya pembukaan bioskop oleh kedua belah pihak pada 29 Juli 2020 mendatang.
Terpuruknya perekonomian Indonesia dari sebelum dan di masa pandemi sebetulnya bukan karena negara tidak mampu mengatasi dengan mengerahkan kemampuan secara finansial tapi karena negara tidak berpihak pada rakyat. Dari awal virus melanda Indonesia, kebijakan pemerintah selalu plin-plan dan mencla-mencle. Sambutan kepada warga asing (China) untuk masuk ke nusantara sedemikian penting ketimbang nyawa masyarakatnya. Pertimbangannya lagi-lagi bukan karena khawatir wabah merajalela di dalam negeri tapi keuntungan secara materi.

Maka, dengan dibukanya kembali bioskop di tengah wabah bukan hal yang aneh yang dipilih pemerintah. Arah pandang dan tolok ukur kebahagiaan dan kesejahteraan hanya dilihat dari untung dan manfaat. Pun halnya dengan kebijakannya tak bisa dilepaskan dari materi. Sementara rakyat harus kembali menelan pil pahit dengan fakta yang terus diperlihatkan rezim dalam bayang kapitalis sekuler. Paham yang mengedepankan kapital dengan cara menjauhkan norma agama (Islam) dari kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berkaca dari keburukan riayah pemimpin (kapitalisme) dalam mengatasi pandemi, cuma Islam dan aturannya yang mampu memberikan solusi tepat. Hanya Islam yang membuat pemimpinnya sigap, memiliki aturan tepat, tegas dan komprehensif. Mengapa demikian?

Ketika Rasul saw. memerintahkan agar masyarakat menjauhi tempat wabah dan orang yang terjangkit tha'un di masa beliau adalah keputusan jelas dan tegas untuk menyelamatkan nyawa manusia. Memisahkan mana yang sakit mana yang sehat. Sehingga Rasul saw. sebagai pemimpin umat mampu memberikan perhatian kepada yang terdampak wabah secara paripurna sementara yang sehat tetap beraktivitas seperti biasanya. Begitu juga saat Khalifah Umar bin Khattab ra. dihadapkan pada kasus yang sama, ia tidak ragu mempraktikkan apa yang telah dicontohkan Rasul. Dampaknya, wabah segera berakhir, masyarakat terjangkit segera ditangani, tidak menunggu korban bertambah banyak atau gonta-ganti kebijakan, bahkan roda perekonomian tetap bisa dilakukan tanpa campur tangan asing atau kelompok yang ingin merusak kedaulatan negara. Semua itu bisa berjalan sempurna karena landasannya aqidah Islam.

Musibah adalah qadha Allah, namun bukan berarti manusia pasrah begitu saja tanpa ikhtiar maksimal. Ikhtiar bukan karena keinginan nafsu dunia melainkan ikhtiar sesuai koridor syara'. Contohnya ada. Teladannya nyata. Dia sosok mulia utusan Allah, Muhammad saw.

Dengan demikian kisruh kepemimpinan saat ini dengan aturan ngawurnya menyikapi wabah disebabkan tidak menjadikan Rasul saw. sebagai qudwah (teladan) dalam segala aspek kehidupan umat. Manusia banyak bersikap angkuh lagi sombong menempatkan hukum kufur di atas undang-undang syariat. Ironisnya, tak mengakui jika Rasulullah saw. pernah menjalankan roda pemerintahan di Madinah al Munawwarah, padahal kepemimpinannya diakui dunia dan menjadi teladan sepanjang masa. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

لَقَدْ كَا نَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَا نَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَا لْيَوْمَ الْاٰ خِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًا ۗ 
"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah." (QS. Al-Ahzab 33: Ayat 21)

Wallahu a'lam bi ash Shawwab





 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak