Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Komisi Pemilihan Umun (KPU) melonggarkan batasan jumlah alat peraga kampanye ( APK) yang boleh dibuat oleh pasangan calon kepala daerah pada Pilkada 2020.
Pada Pilkada sebelumnya, KPU membatasi jumlah APK yang dapat dicetak paslon maksimal 150 persen dari jumlah APK yang dicetak KPU. Di Pilkada tahun ini, paslon boleh mencetak APK paling banyak 200 persen.
Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 61 huruf b Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19 yang terbit pada 7 Juli 2020.
KPU juga tak ingin pemungutan suara elektronik pada Pilkada 2020. Sehingga beberapa metode diatur dengan menyesuaikan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Termasuk juga telah disahkannya pasal 57 PKPU 6/2020 yang mengatur tentang tujuh metode kampanye yang diperbolehkan dalam Pilkada tahun ini ( kompas.com, 9/7/2020).
Peraturan diperlonggar, hanya agar Pilkada tetap digelar, ada apa? Mengapa sebegitu ngototnya? Tidakkah pandemi Covid-19 ini membuka hati para penguasa sesungguhnya masih ada urusan yang lebih besar daripada Pilkada. Yaitu nyawa rakyat yang tercabut gara-gara Pandemi, setiap hari bertambah jumlahnya. Bahkan cakupan wilayah penyebaran virusnya juga bertambah lebar.
Kita sama-sama tahu, betapa mahalnya biaya yang dikeluarkan negara untuk perhelatan daerah itu. Alangkah lebih baiknya jika hari ini dialokasikan kepada penanganan pandemi? Sayang, hal ini tidak akan masuk dalam rancangan kebijakan penguasa sebab:
Pertama, negara penganut Demokrasi tak akan melewatkan moment Pilkada, sebab disamakan nyawanya akan bisa dilanjutkan. Krisis kepemimpinan berikut krisis kesejahteraan bagi rakyatnya sengaja dimunculkan kepermukaan agar semakin terlegitimasi sahnya Pilkada. Siapa yang sebenarnya bermain di belakang agenda tahunan ini? Para kaum kapitalis yang berlindung dibalik perundang-undangan buatan negara.
Kedua, jika Pilkada telah berhasil digelar, maka berikutnya para oportunitis dan kapitalis akan berpesta, berbagi posisi penting baik di tubuh kabinet maupun parlemen. Rakyat sudah selesai diikutsertakan dalam pemilihannya. Inilah akod wakalah ( perwakilan) yang batil. Seharusnya, siapa saja yang namanya telah dipilih rakyat, yang kemudian menggiring namanya masuk dalam bursa pemimpin seketika itu sebenarnya ia harus mulai bekerja untuk rakyat.
Ketiga, ada pemborosan biaya, padahal sumber pendanaan Pilkada diambil dari pajak, yang dibayarkan rakyat hingga peras darah mereka. Namun syahwat berkuasa telah membungkam akal sehat para pemimpin kita, justru besaran dana bak oase untuk memulai mengkhianati rakyat. Pemilihan pemimpin berubah menjadi perebutan pengaruh dan kharisma.
Jelas, tak ada faedahnya bagi rakyat baik secara langsung maupun tak langsung, sebab seribu kali Pilkada digelar, pemimpin baru telah diangkatpun nasib rakyat tetap sengsara, harapan menjadi pupus sebab pemerintah nihil dukungan. Para pemimpin baru hanya akan melanggengkan sistem kufur ini.
Maka, kita sebagai kaum Muslim harusnya melek mata melek wawasan. Akankah kita sudi terus-menerus diperintah oleh pemimpin hasil Pilkada yang tak pernah bIsa tepati janji mereka saat kampanye? Wallahu a'lam bish showab
Tags
Opini