UU TAPERA, HADIR UNTUK MENAMBAH SEJAHTERA ATAUKAH TAMBAH SENGSARA?



Oleh : Ummu Aqeela

Pada 20 Mei 2020 Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Melansir dari Kompas.com Selasa (2/6/2020) Undang-Undang Tapera digadang-gadang menjadi solusi pembiayaan jangka panjang untuk kepemilikan rumah di Indonesia.

Lantas apa itu Tapera?

Tapera merupakan akronim dari Tabungan Perumahan Rakyat.
Melansir dari PP Nomor 25 Tahun 2020 penyimpanan yang dilakukan oleh peserta Tapera secara periodik dalam jangka waktu tertentu hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayan perumahan dan atau dikembalikan setelah kepesertaannya berakhir. Mereka yang wajib menjadi peserta Tapera adalah pekerja dan juga pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta.

Kategori pekerja adalah adalah mereka yang bekerja di sektor negeri maupun swasta. Secara lengkap yakni:
1. Calon Pegawai Negeri Sipil
2. Pegawai Aparatur Sipil Negara
3. Prajurit Tentara Nasional Indonesia
4. Prajurit siswa Tentara Nasional Indonesia
5. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
6. Pejabat negara
7. Pekerja/buruh badan usaha milik negara/daerah
8. Pekerja/buruh badan usaha milik desa
9. Pekerja/buruh badan usaha milik swasta
10. Pekerja yang tidak termasuk pekerja sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan 9 yang menerima Gaji atau Upah.

Menjadi anggota Tapera berati harus membayar simpanan peserta sebesar 3 persen dari besaran gaji atau upah peserta. Di mana 0,5 persennya ditanggung oleh pemberi kerja dan 2,5 persennya ditanggung oleh pekerja. Sedangkan bagi pekerja mandiri akan ditanggung sendiri oleh pekerja mandiri. Terdengar seperti sebuah angin segar bagi pekerja bukan?, karena dengan itu pekerja tidak lagi harus menabung uang secara mandiri. Tetapi tunggu dulu sebelum berada pada kesimpulan seperti itu perlu kita cermati, apakah kebijakan ini adalah solusi untuk sejahtera ataukah sebaliknya menjadi masalah yang membawa sengsara?

Perlu menjadi catatan penting bahwa saat ini pekerja harus menerima beberapa potongan gaji yang dia dapatkan umumnya setiap bulan, diantaranya BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan lain lain. Dengan hadirnya potongan untuk pembelian rumah akan menambah beban pekerja dalam mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Selain alasan itu, kebijakan ini dinilai sangat tidak manusiawi menjawab permasalahan yang dihadapi. Di tengah Pandemi Covid-19 selayaknya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menjawab permasalahan konkrit masyarakat khususnya pekerja yang saat ini mayoritas menjadi korban PHK. Dilansir dari CNN Indonesia, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan jumlah masyarakat yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan sebanyak 2 juta sampai 3,7 juta orang. Lebih lanjut lagi fenomena ini akan menambah angka kemiskinan di Indonesia, dikarenakan jumlah pengangguran juga meningkat.

Dapat kita lihat pada konteks kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat yang digadang -gadang pemerintah saat ini, terlihat jelas bahwa tujuan yang sebenarnya dari pemerintah adalah bukan untuk memberikan rumah yang terjangkau dan bisa ditinggali oleh pekerja, melainkan bagaimana rumah-rumah yang nantinya dimiliki oleh pekerja adalah hasil dari transaksi jual beli melalui pemotongan gaji dan bunga yang tinggi . Bisa disimpulkan bahwa dimata pemerintah, rumah bukan lagi sebagai objek tempat tinggal, tetapi tidak lebih dari sekedar objek transaksi jual beli yang tidak setara dan merugikan pekerja. Jika salah satu pihak dirugikan yaitu perkerja tentu saja pihak lainnya lah yang akan diuntungkan, siapalagi jika bukan pemerintah dan sederet perusahaan yang ikut campur didalam keputusan itu. Sungguh seperti pungguk merindukan bulan, sampai kapanpun sistem kapitalis ini tidak akan memberikan kesejahteraan yang nyata untuk umat, bahkan umatlah yang menjadi bulan-bulanan eksploitasi dalam mengambil keuntungan sebesar-besarnya.

Berbeda sekali dalam Islam, rumah termasuk kebutuhan primer bagi setiap individu rakyat selain sandang dan pangan. Kebutuhan primer tersebut menjadi tanggung jawab negara. Rasulullah Saw sebagai kepala negara hingga para khalifahnya telah menetapkan dan menjalankan kebijakan ini. Mekanisme pemenuhan kebutuhan rumah menurut hukum Islam melalui tiga tahap sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan mekanisme tersebut.


1. Memerintahkan untuk Bekerja

Negara memerintahkan semua kaum lelaki (yang mampu) untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Selain itu, negara juga memfasilitasi mereka untuk dapat bekerja, misalnya dengan menciptakan lapangan kerja, ataupun memberikan bantuan lahan, peralatan dan modal. Dengan demikian, perintah dan fasilitas untuk bekerja tersebut memungkinkan mereka memenuhi semua kebutuhan primernya bahkan kebutuhan sekunder dan tersiernya.

2. Kewajiban Kepala Keluarga, Ahli Waris dan Kerabat

Mereka yang tidak mampu membeli, membangun, atau menyewa rumah sendiri, entah karena pendapatannya tidak mencukupi atau memang tidak mampu bekerja, maka pada gilirannya akan menjadi kewajiban kepala keluarga, ahli waris dan kerabatnya, sebagaimana aturan (hukum) Islam dalam menyantuni makanan dan pakaiannya.

Allah SWT berfirman:
“Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal.” (QS. Ath-Thalaq: 6); dan “Dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai.” (QS. At-Taubah: 24).
Sedangan Rasulullah SAW bersabda: “Mulailah memberi nafkah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu, ibumu, ayahmu, saudara laki-lakimu, dan saudara perempuanmu; kemudian kerabatmu yang jauh,” (HR. Nasa’i).

3. Kewajiban Negara

Jika tahap 1 dan tahap 2 tidak bisa menyelesaikannya, maka giliran selanjutanya adalah negara yang berkewajiban menyediakan rumah. Dengan menggunakan harta milik negara atau harta milik umum dan berdasarkan pendapat atau ijtihad untuk kemaslahatan umat, maka khalifah bisa menjual (secara tunai atau kredit dengan harga terjangkau), menyewakan, meminjamkan atau bahkan menghibahkan rumah kepada orang yang membutuhkan. Sehingga, tidak ada lagi individu rakyat yang tidak memiliki atau menempati rumah.

Demikianlah gambaran singkat mengenai mekanisme pemenuhan perumahan rakyat di dalam sistem Islam. Hasil yang diperoleh dari setiap pelaksanaan mekanisme tersebut cukup jelas dan diurus oleh negara demi menjamin pemenuhan rumah bagi setiap umat. Tidak boleh ada umat yang terlantar, tidak menempati rumah, dan menjadi gelandangan.

Kesejahteraan hidup di bawah lindungan syariat memang sebuah harapan setiap muslim. Bagi umat Islam, kesejahteraan berupa hidup di lingkungan yang nyaman, damai, jauh dari perbuatan zalim serta tegaknya keadilan hanya bisa diperoleh jika ditegakkannya syariat Islam secara kaffah. Sebab, hukum yang paling adil serta paling ideal untuk mewujudkan pemerintahan yang adil sehingga terbentuk masyarakat sejahtera adalah hukum dari Sang Pencipta. Demikian juga sebaliknya, ketika Syariat Islam mulai dijauhkan maka kesejahteraan hidup pun akan semakin sulit untuk diwujudkan.

Wallahu’alam bishowab




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak