Oleh : Yanik Inaku
(Anggota Komunitas Setajam Pena)
Indonesia saat ini sedang melakukan pembangunan diberbagai sektor, salah satunya yang paling getol adalah pembangunan infrastuktur dengan harapan adanya perbaikan ekonomi. Ketika melakukan Pembangunan nasional, maka sumber yang digunakan oleh Indonesia adalah salah satunya bersumber dari utang. Dana yang ada di dalam negeri sangat terbatas, sehingga dana luar negeri sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah pembiayaan suatu pembangunan yang ada di Indonesia. Padahal seperti kita ketahui indonesia adalah negeri "Gemah Ripah Loh Jinawi". Memiliki SDA yang melimpah. Lalu, kenapa harus berhutang ?
Utang luar negeri Indonesia terus merangkak naik dari tahun ke tahun. Bank Indonesia (BI) mencatat pembengkakan utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir April 2020 menjadi sebesar USD400,2 miliar. ULN terdiri dari sektor publik yakni pemerintah dan bank sentral sebesar USD192,4 miliar dan sektor swasta termasuk BUMN sebesar USD207,8 miliar. Angka yang cukup mencengangkan kita, padahal Indonesia salah satu negara yang baru-baru ini dicoret oleh Amerika dari negara berkembang dan sekarang disematkan sebagai negara maju. Dari segi ekonomi negara maju memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat dan berbeda dengan negara berkembang. Padahal jika dilihat dari kualitas pertumbuhan ekonomi, Indonesia masih sangat rapuh, sehingga bukan tidak mungkin, kalau sewaktu-waktu Indonesia bisa mengalami kemunduran ekonomi.
Sebelum terjadi pandemi, ULN indonesia sudah membengkak. Apalagi ditambah dengan adanya pandemi ini yang membuat roda ekonomi terhenti. Salah satu alasan katanya yang menyebabkan utang LN Indonesia semakin membubung tinggi. Hal ini disebabkan peningkatan kebutuhan pembiayaan terutama untuk penanganan wabah COVID-19. Begitu pula untuk defisit anggaran periode sebelumnya. Meski naik, BI menyatakan kenaikan ULN ini dilakukan secara hati-hati dan penggunannya pun dipastikan tepat sasaran.
Hutang yang terus menumpuk tanpa sanggup dibayar, tentu akan mendatangkan konsekuensi tertentu pada negara. Terlebih jika ternyata pinjaman yang ada telah habis tenggang waktu pelunasan. Bisa jadi, aset penting milik negara akan disita atau diambil untuk menutup hutang-hutang yang ada. Jumlah utang yang dimiliki Indonesia tersebut "pasti tidak aman" karena bunga dan cicilannya dibayar dengan "gali lubang, tutup lubang". Tentunya ketika suatu negara memberi bantuan utang ke negara lain pasti ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Terlebih lagi jika negara tidak bisa membayar utang maka negara telah kehilangan kendalinya. Negara pemilik dana yang notabene dari pihak asing, mempunyai kekuatan untuk menekan negara yang kesulitan mengembalikan uangnya. Selanjutnya bisa ditebak, para pemodal tersebut sedikit banyak akan campur tangan pada urusan pemerintahan yang ada.
Hutang memang menjadi sarana yang ampuh untuk melemahkan suatu negara. Tak hanya soal ekonomi, tapi juga masuk ke ranah politik dan bahkan mengancam kedaulatan negara itu sendiri. Jika melihat hutang Indonesia yang semakin menumpuk, bukan tidak mungkin Indonesia dikendalikan oleh negara pemberi utang. Tak ayal kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah lebih berpihak pada negara pemberi utang yaitu pihak asing.
Ambilah contoh, salah satu kebijakan yang dilakukan untuk menekan pengeluaran biasanya lebih memilih untuk mengurangi bahkan menghentikan subsidi untuk rakyat. Jadi lengkaplah sudah penderitaan rakyat yang negaranya mengalami defisit anggaran yaitu pajak yang tinggi dan minimnya jaminan penghidupan dari pemerintah karena subsidi akan ditekan sekecil mungkin agar tidak membebani anggaran negara. Jadi kebijakan Negara ini berpotensi makin jauh dari pemenuhan kemaslahatan rakyat tapi dikendalikan oleh kepentingan asing.
Islam memiliki aturan yang khas dan jelas dalam pengelolaan ekonomi. Islam menetapkan bahwa pemerintah wajib bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyat. Rasulullah SAW bersabda, “Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka” (HR. Muslim). Begitu halnya dengan utang yang dimiliki oleh negara harus diselesaikan sesuai tempo yang sudah ditentukan apabila sudah jatuh tempo belum bisa melunasi maka boleh dan seharusnya tanpa ada tambahan (riba).
Pemasukan negara dalam sistem pemerintahan Islam, sumber-sumber pendapatannya diperoleh dari kepemilikan negara (milkiyyah ad-daulah) seperti ‘usyur, fa’i, ghonimah, kharaj, jizyah. Selain itu dapat pula diperoleh juga dari pemasukan pemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) seperti pengelolaan hasil pertambangan, minyak bumi, gas alam, kehutanan dan lainnya.Dan juga diperoleh dari zakat maal (ternak, pertanian, perdagangan, emas dan perak). Dari 3 pos ini mengalirkan harta baitul mal karena bertumpu pada sektor produktif. Harta baitul mal juga selalu mengalir karena tidak terjerat utang ribawi. Dengan demikian, kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan kebutuhan anggaran dari utang luar negeri dapat dihindari. Semua aturan ini akan sulit tercapai bila masih menggunakan sistem demokrasi-kapitalis. Sungguh, hanya dengan sistem Islam yang kaffah, semua permasalahan yang ada bisa teratasi, baik dalam bidang perekonomian, pendidikan, politik, sosial budaya termasuk untuk utang luar negeri.
Wallahu a'lam bish-showab.