Oleh: Ummu Almee
Bank Indonesia (BI) mencatat pembengkakan Utang Luar Ngdsegeri (ULN) Indonesia pada akhir April 2020 menjadi sebesar USD400,2 miliar. ULN t,rdiri dari sektor publik yakni pemerintah dan bank sentral sebesar USD192,4 miliar dan sektor swasta termasuk BUMN sebesar USD207,8 miliar.
“ULN Indonesia tersebut tumbuh 2,9 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada Maret 2020 sebesar 0,6 persen (yoy). Hal itu disebabkan oleh peningkatan ULN publik di tengah perlambatan pertumbuhan ULN swasta,” jelas Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko melalui keterangan di Jakarta, Senin (15/6/2020).
ULN pemerintah mengalami peningkatan, setelah pada bulan sebelumnya terkontraksi. Posisi ULN pemerintah pada akhir April 2020 tercatat sebesar USD189,7 miliar atau tumbuh 1,6 persen (yoy), berbalik dari kondisi bulan sebelumnya yang terkontraksi 3,6 persen (yoy).
Menurutnya, perkembangan tersebut dipengaruhi oleh arus modal masuk pada Surat Berharga Negara (SBN), dan penerbitan Global Bonds pemerintah sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan pembiayaan, termasuk dalam rangka penanganan wabah Covid-19.
“Pengelolaan ULN pemerintah dilakukan secara hati-hati dan akuntabel untuk mendukung belanja prioritas yang saat ini dititikberatkan pada upaya penanganan wabah Covid-19 dan stimulus ekonomi,” paparnya.
Sektor prioritas tersebut mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial sebesar 23,3 persen dari total ULN pemerintah, sektor konstruksi 16,4 persen, sektor jasa pendidikan 16,2 persen, sektor jasa keuangan dan asuransi 12,8 persen, dan sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib 11,6 persen.
Sementara itu, ULN swasta pada akhir April 2020 tumbuh sebesar 4,2 persen (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 4,7 persen (yoy). Perkembangan ini disebabkan oleh makin dalamnya kontraksi pertumbuhan ULN lembaga keuangan di tengah stabilnya pertumbuhan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan.
Pada akhir April 2020, ULN lembaga keuangan terkontraksi 4,8 persen (yoy), lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi bulan sebelumnya 2,4 persen (yoy). Sedangkan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan sedikit meningkat dari tujuh persen (yoy) pada Maret 2020 menjadi 7,3 persen (yoy) pada April 2020.
Beberapa sektor dengan pangsa ULN terbesar, yakni mencapai 77,4 persen dari total ULN swasta adalah sektor jasa keuangan & asuransi, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara dingin (LGA), sektor pertambangan dan penggalian, dan sektor industri pengolahan.
“Struktur ULN Indonesia tetap sehat, didukung penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir April 2020 sebesar 36,5 persen, sedikit meningkat dibandingkan rasio pada bulan sebelumnya sebesar 34,6 persen,” ungkapnya.
Di samping itu, struktur ULN Indonesia tetap didominasi oleh ULN berjangka panjang dengan pangsa 88,9 persen dari total ULN. Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, BI dan pemerintah terus meningkatkan koordinasi dalam memantau perkembangan ULN, didukung dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya.
“Peran ULN juga terus dioptimalkan dalam menyokong pembiayaan pembangunan, dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian,” pungkasnya. (Asiatoday.id)
Pada ideologi demokrasi dengan kapitalisme sebagai basis kekuatan yang dikembangkan dunia terutama amerika, eropa dan negara-negara maju, punya pengaruh yang kuat terhadap utang ini. Karena dalam demokrasi, Utang telah menempati peran penting melalui mekanisme ekonomi kapitalis. Dalam konsep kapitalisme yang sudah kita pelajari dari mulai kita sekolah sampai dengan tingkat praktisi, sudah diarahkan dan dibenamkand pemikiran kita bahwa Utang mengambil peranan yang penting dari mulai penempatan modal awal yang akan digunakan untuk memulai suatu usaha sampai dengan ekspansi bisnis yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan. Ini sudah menjadi jalan yang shohih dalam kehidupan sekarang ini. Padahal tanpa terasa didalamnya mengandung riba karena adanya perhitungan time value of money. Kita bisa lihat hal ini dalam skala kecil industri menengah, multinasional, baik usaha biasa maupun di perusahaan di bursa hingga pemerintah.
Konsep tersebut diterapkan dengan asumsi bahwa baik individu mau pun perusahaan tidak akan memiliki cukup uang untuk melakukan rencana ekspansi/perluasan usaha, sehingga sudah menjadi hal yang lumrah untuk mencari pinjaman. Bukannya menunggu dari akumulasi keuntungan. Kalau kita telaah kiprah perbankan dalam 300 tahun terakhir, dimana sektor perbankan telah berkembang sampai memainkan peran kunci dalam kehidupan ekonomi, karena perbankan menjadi alat untuk mengumpulkan dana dari masyarakat kemudian diberdayagunakan dalam proses pinjam meminjang atau utang piutang. Lalu kenapa jalan ini yang dipilih untuk pembangunan??? Padahal ini adalah jerat (konsep utang) dan ribawi.
Islam memiliki aturan yang khas dan jelas dalam pengelolaan ekonomi. Fakta tersebut sangat jauh berbeda bila ditinjau dari pengelolaan perekonomian dalam Islam. Islam menetapkan bahwa pemerintah wajib bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyat. Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka” (HR. Muslim). Ditinjau dari pemasukan negara dalam sistem pemerintahan Islam, sumber-sumber pendapatannya diperoleh dari kepemilikan negara (milkiyyah ad-daulah) seperti ‘usyur, fa’i, ghonimah, kharaj, jizyah dan lain sebagainya. Selain itu dapat pula diperoleh dari pemasukan pemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) seperti pengelolaan hasil pertambangan, minyak bumi, gas alam, kehutanan dan lainnya. Negara bertanggung jawab atas optimalisasi dari harta kepemilikan umum dan negara tersebut tanpa adanya liberalisasi dalam lima aspek ekonomi, yaitu liberalisasi barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil. Dan juga diperoleh dari zakat maal (ternak, pertanian, perdagangan, emas dan perak). Tiga pos ini mengalirkan harta baitul mal karena bertumpu pada sektor produktif. Harta baitul mal juga selalu mengalir karena tidak terjerat utang ribawi. Dengan demikian, kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan kebutuhan anggaran dari utang luar negeri dapat dihindari.
Baitul mal sebagai lembaga yang mengelola pemasukan tersebut dan akan dikeluarkan atau dibelanjakan untuk keperluan negara dan rakyat. Termasuk diantaranya proyek-proyek infrastruktur. Hal tersebut bukanlah tanggung jawab kaum muslimin melainkan tanggung jawab baitul mal, yang berarti bagian dari tanggung jawab negara. Disini terlihat jelas, sumber-sumber pemasukan negara didapatkan tanpa membebani rakyat. Kalaupun ada pengambilan pajak (dharibah), hanya akan dibebankan jika baitul mal sedang kosong dan pelaksanaannya sesuai dengan apa yang telah diwajibkan oleh syariat atas kaum muslimin.
Sebagai gambaran jumlah surplus (pendapatan dikurangi pengeluaran Negara) imasa Khalifah Harun ar-Rasyid sama besarnya dengan jumlah total APBN Indonesia. Pembangunan infrastruktur juga sangat megah dan modern tanpa berhutang sepeser pun dengan Negara luar. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab beliau membangun kanal dari Fustat ke Laut Merah untuk memudahkan akses perdagangan, membangun kota dagang Basrah (jalur dagang ke Romawi), membangun kota Kuffah (Jalur dagang ke Persia) dan memerintahkan gubernur Mesir membelanjakan sepertiga pengeluarab infrastruktur dan lain-lain. Itupun neraca keuangan tidak pernah defisit. Maka sebetulnya secara keimanan dan logika ilmiah kita membutuhkan Baitul Maal dalam sistem politik khilafah Islam untuk membangun Negara yang mandiri dan masyarakat yang makmur.
Namun, semua aturan ini akan sulit tercapai dan tidak mampu mengantarkan umat pada keridhaan Allah Swt bila masih menggunakan sistem demokrasi-kapitalis. Sungguh, hanya dengan sistem Islam yang kafah, semua permasalahan yang ada bisa teratasi, baik dalam bidang perekonomian, pendidikan, politik, sosial budaya dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Ssrat Thaha[20]: 124, “Siapa saja yang berpaling dari perintahku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit”.
Wallahu a’lam.
Tags
Opini