Oleh : Uqie Nai
Seorang Ibu dan Alumni Branding for Writer 212
Aksi mogok kerja yang dilakukan tenaga medis di RSUD Ogan Ilir, Sumatera Selatan, beberapa waktu yang lalu berakhir pada pemecatan. Pemecatan itu ditandatangani langsung oleh Bupati Ogan Ilir HM Ilyas Panji Alam. Pasalnya, bupati dan manajemen RSUD Ogan Ilir berdalih tuntutan yang disampaikan para tenaga medis yang melakukan aksi protes tersebut dianggap mengada-ada karena tuntutan terkait rumah singgah dan insentif tambahan bagi yang menangani pasien Corona sudah disediakan.
Sebelumnya, sebanyak 60 tenaga medis di RSUD Ogan Ilir yang berstatus honorer melakukan protes dengan menggelar aksi mogok kerja. Beberapa alasan yang mereka sampaikan, di antaranya terkait ketersediaan alat pelindung diri (APD) yang minim, ketidakjelasan insentif dari Pemkab, tidak ada rumah singgah bagi tenaga medis yang menangani pasien Corona, dan gaji hanya sebesar Rp 750.000 per bulan. (Kompas.com, Jumat, 22/5/2020)
Ada Asap Pasti Ada Api
Ketidakadilan yang dirasakan puluhan tenaga medis di RSUD Ogan Ilir akhirnya sampai juga ke telinga Komisi IV DPRD Ogan Ilir di mana sebelumnya perwakilan dari tenaga medis tersebut mengadukan nasibnya.
Dikutip dari laman Kompas.com (22/5/202), Ketua Komisi IV DPRD Ogan Ilir Rizal Mustopa mengaku sudah mendesak bupati untuk melakukan evaluasi terhadap manajemen RSUD. Sebab, ia menilai tuntutan yang disampaikan para tenaga medis berkaitan dengan kebutuhan dasar dan keselamatan tenaga medis itu sendiri, seperti kebutuhan APD standar, intensif tambahan, dan rumah singgah.
Menurut Rizal, pemenuhan yang dituntut oleh tenaga medis adalah kewajiban Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir, sebab masalah itu sudah diajukan, termasuk masalah insentif juga sudah diajukan RSUD Ogan Ilir jauh hari sebelum kejadian ini. Pertanyaannya, kenapa tenaga kesehatan itu bisa mogok?
Jika pihak RSUD dan Bupati Ogan Ilir menyatakan bahwa fasilitas yang dibutuhkan tenaga medis yang menangani Corona telah tersedia, harusnya tidak terjadi mogok kerja apalagi harus berakhir dengan pemecatan. Aksi yang dilakukan tenaga medis tersebut pasti ada sebab musababnya. Ketidakjelasan insentif dan juga alat perlindungan diri dari pihak RSUD menambah kekalutan para nakes di tengah rawannya Covid-19 seolah bukan hal yang penting hingga berujung mogok kerja.
Pelayanan Kesehatan dalam Pandangan Islam
Karut marut yang terjadi di ranah pelayanan publik memang bukan hal yang baru. Ibarat gunung es, fakta yang terungkap hanya baru sebagian kecil dari sekian banyak masalah yang dihadapi masyarakat, RS dan tenaga kesehatan. Kondisi ini rentan terjadi di alam kapitalis sekuler. Sebab, asas yang dijadikan landasan bertindak dan mengatur urusan umat ada di atas materi dan manfaat. Maka, berharap pada negara yang berbasis kapitalis sekuler hanyalah harapan semu. Perhatian serta pelayanan akan diberikan manakala ada keuntungan di sana meski kondisi masyarakat sangat mengkhawatirkan karena wabah sekalipun tidak menjadi prioritas negara.
Berbeda dengan pelayanan publik ala sistem Islam. Islam dengan seperangkat aturan yang berasal dari Allah Swt. menitik beratkan pemimpin umat bertanggung jawab mengurusi urusan publik berdasarkan arahan syara’ agar terwujud kemaslahatan. Hal ini akan terlihat saat akidah Islam tertanam kuat dalam diri individu, masyarakat dan negara. Masing-masing dibebani tanggung jawab serta amanah untuk beramal sesuai petunjuk syariat terlebih dalam hubungan antar individu dengan rabb nya, individu dengan individu, juga individu dengan dirinya. Sebut saja aktivitas muamalah terkait upah mengupah (ijarah).
Islam sangat memperhatikan tenaga yang dikeluarkan oleh seseorang untuk diberikan upahnya, baik orang tersebut merdeka ataupun hamba sahaya. Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Berilah upah kepada para pekerja sebelum mengering keringatnya.’” (Sunan Ibnu Majah, II/817, no. 244)
Syariat Islam pun menggambarkan bagaimana hukumnya saat aktivitas muamalah menyalahi arahan Allah dan Rasul-Nya. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Allah Ta’ala berfirman :
“Tiga orang yang Aku akan menjadi musuhnya pada hari Kiamat : seseorang yang memberikan janji kepada-Ku lalu ia mengkhianati, seseorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hartanya, dan seseorang yang menyewa pekerja lalu ia menunaikan kewajibannya (namun) ia tidak diberi upahnya.” (Shahih al-Bukhari (IV/417, no. 2227)
Berdasarkan hadis di atas dapat dipahami bahwa, kewajiban individu saja sedemikian ditekankan untuk ditunaikan, apalagi kewajiban yang ada dipundak negara (penguasa) di mana persoalan umat senantiasa harus diselesaikan tanpa kecuali. Dalam hal ini kepala negara harus siap dikritik, dihujat, siap kurang tidur, kurang makan atau kurang memperhatikan kesejahteraan pribadi sebagai bukti tanggung jawab terbesarnya terhadap kepentingan masyarakat, baik kondisi normal maupun kondisi pandemi seperti saat ini. Kepala negara tidak bisa berpangku tangan atau bahkan berlepas diri dari masalah yang dihadapi rakyatnya. Kepemimpinannya akan diminta pertanggungjawabannya di Yaumil Akhir oleh Allah Swt.
Praktik kepemimpinan hakiki telah dicontohkan Rasulullah saw., khulafaur rasyidin hingga khalifah rasyidah berikutnya, Umar bin Abdul Aziz contohnya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz merupakan salah seorang Khalifah Dinasti Umayyah. Dia menjadi penguasa dari tahun 717 M-720 M. Meski hanya memimpin dengan singkat, namun Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai pemimpin yang sangat bertawakal kepada Allah. Dan, dia berhasil membuat masyarakat yang hidup di bawah naungan Dinasti Umayyah sejahtera.
Meski kemajuan diraih kekhalifahan di masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz terbuka bagi rakyat yang ingin menasihatinya. Ia akan sangat berterima kasih jika ada seseorang mengingatkannya atas amanah yang ada dipundaknya, bahkan suatu ketika Umar bin Abdul Aziz menangis. Seperti diriwayatkan dalam sebuah kisah, ada seorang laki-laki mendatangi Umar dan berkata,
“Hai Amirul Mukminin, saat engkau ada di hadapanku ini, ingatlah posisimu di hari hisab, saat kau tidak bisa menghindar dari hisab Allah meski begitu banyak makhluk-Nya yang berseteru di hadapan-Nya. Saat kau menemui-Nya tanpa kepercayaan sedikitpun memiliki amal shaleh. Saat kau tidak merasa selamat dari azab-Nya.“
Umar menyahut, “Apa, coba kau ulangi perkataanmu tadi?” Lelaki itu mengulanginya dan Umar pun menangis seraya berkata lirih, “Ulangi lagi perkataanmu.”
Begitulah kisah teladan dari sosok pemimpin dalam Islam ketika ri’ayah su’unil ummah ada dipundaknya. Akankah kita temukan di era milenial sosok pemimpin pemerhati masalah umat? Jawabnya tentu tidak. Pasalnya, sosok ideal hanya akan hadir saat sistem ideal hadir bersamanya. Pemimpin hakiki hanya akan terwujud di saat sistem Islam ditegakkan di tengah-tengah umat sebagai institusi penerap syariah Islam kaffah. Institusi inilah satu-satunya solusi di kala permasalahan umat tak teratasi, kezaliman serta kemaksiatan semakin nyata, penguasa tak lagi punya empati dan hati nurani bahkan ukuhuwah islamiyyah terburai terkotak-kotak antar individu, kelompok serta negara. Naudzubillah.
Wallahu a’lam bi ash Shawwab
Tags
Opini