Oleh : Miliani Ahmad
Kondisi masyarakat saat ini bukanlah sebuah kondisi yang diharapkan oleh semua pihak. Hantaman pandemi beberapa bulan belakangan sangat memukul perekonomian masyarakat. Karena sebelum pandemi pun perekonomian sudah begitu karut marut.
Situasi sosial bergejolak. Terlebih semua sektor usaha mengalami kegoncangan. PHK masal terjadi dimana-mana. Yang masih bekerja gajinya sudah tak bisa penuh seperti semula karena produktivitas usaha yang menurun. Ketakutan akan ketidakpastian hidup kedepan terus menghantui masyarakat.
Tapi nyatanya, kondisi yang dihadapi masyarakat tidak seiring dengan kebijakan yang dijalankan pemerintah. Alih-alih berupaya untuk membantu masyarakat yang terdampak, pemerintah justru kadang-kadang menjalankan kebijakan yang semakin membuat masyarakat hidup dalam banyak tekanan. Seperti menaikkan iuran BPJS ditengah ekonomi yang sulit, naiknya harga tarif dasar listrik (TDL), bahkan ada opsi untuk menggunakan dana haji dengan dalih untuk menangani masalah pandemi.
Ibarat jatuh tertimpa tangga pula, kini lahir lagi kebijakan non populis dengan menerbitkan PP No. 25 tahun 2020 tentang penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA).
Lama tak terdengar kabarnya, setelah disahkan melalui UU 4/2016 pada Maret 2016, akhirnya Presiden Joko Widodo menandatangani peraturan pemerintah (PP) No. 25 tahun 2020. Tujuan awal program ini untuk memudahkan masyarakat dalam mendirikan hunian. Artinya ada kemudahan fasilitas untuk mendapatkan rumah. Selain itu Tapera juga diperuntukkan bagi yang telah memiliki rumah pribadi untuk melakukan renovasi. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan pengajuan pinjaman kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya.
Didalam peraturan ini dijelaskan dengan sangat gamblang siapa saja yang wajib menjalankan aturan ini. Tapera ini diwajibkan atas PNS, TNI dan Polri, BUMN, BUMD serta karyawan swasta yang besarannya diambil dari gaji sebesar 3 % dengan alokasi 2,5% pekerja dan 0,5% dari pemberi kerja.
Tapera ini akan dilakukan dalam tiga tahap zona waktu dan kelas profesi yang akan dimulai tahun 2021 mendatang. Pada tahap pertama yakni di tahun 2021 seluruh ASN/TNI dan Polri yang akan terlebih dahulu melaksanakan aturan pemotongan gaji. Tahap kedua akan berlaku untuk seluruh pegawai BUMD dan tahap terakhir adalah golongan pekerja swasta atau formal lainnya.
Kontroversi Tapera
Mengingat dana yang terhimpun melalui Tapera ini bukanlah angka yang sedikit, Tapera dianggap sebagai upaya pemerintah menghimpun dana dari masyarakat untuk menopang perekonomian negara tanpa memperhatikan kondisi masyarakat yang sedang kesulitan menghadapi pandemi. Perkiraan potensi dana yang dikumpulkan mencapai puluhan trilliun rupiah per tahun sebagaimana pengumpulan dana haji, zakat, infak dan sedekah.
Melihat potensi yang besar ini memunculkan banyak kekhawatiran atas keamanan dan keefektifan pengelolaannya. Jika menilik perkembangan pengelolaan dana yang ada di negara ini, acapkali terjadi banyak kebocoran. Ketiadaan sistem kontrol yang ketat ditambah mentalitas individu pengelolanya yang lemah justru seperti akan mengulang drama-drama masalah investasi seperti yang terjadi pada PT Asuransi Jiwasraya (persero), dan PT Asabri (persero) bahkan di banyak lembaga investasi lain yang belum terkuak ke publik hingga saat ini.
Tapera pun juga disinyalir tidak mampu menjamin semua peserta bisa memiliki rumah. Menurut Yayat Supriyatna selaku pengamat tata kota Universitas Tri Sakti, ketika masa pensiun tiba misalnya, jika diakumulasikan tabungan tersebut belum tentu bisa dapat rumah. Karena harga rumah semakin hari akan semakin mahal.
Ketua umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang menyatakan keberatan atas kebijakan ini. Tapera justru dianggap semakin membebani pengusaha dan pekerja. Apalagi pada saat sekarang bisnis sedang terpuruk. Bahkan pengusaha di DKI mengusulkan agar PP ini dicabut saja.
Islam menjawab persoalan perumahan
Lahirnya Tapera dilandasi filosofi bahwa pembangunan perumahan dan pemukiman adalah tanggung jawab semua masyarakat berdasarkan semangat gotong royong. Tapera ini dimaksudkan untuk membantu pemerintah mengatasi kekurangan ketersediaan rumah (bocklog) yang terus membesar. Sekitar 10-12 juta unit masih dibutuhkan ketersediaannya oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Masalah utamanya adalah keterbatasan kapasitas APBN untuk menyediakan fasilitas rumah bagi rakyat. Hal lainnya adalah karena memang adanya niat dari pemerintah untuk terus mengurangi subsidi dari APBN hingga nol.
Bisa disimpulkan bahwa paradigma pengaturan negara berkaitan dengan perumahan adalah dengan membebankannya kepada masyarakat. Hal ini berbeda dengan Islam. Islam memiliki paradigma khusus yang akan menjadikan penanganan ini tidak menjadi beban masyarakat. Dalam perspektif Islam, rumah adalah kebutuhan dasar bagi masyarakat sebagaimana kebutuhan sandang dan pangan. Sehingga kebutuhan dasar ini menuntut adanya pemenuhan yang harus dijalankan oleh negara.
Mekanisme pemenuhan kebutuhan rumah menurut hukum Islam melalui tiga tahap sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan mekanisme tersebut.
1. Memerintahkan untuk Bekerja
Adanya kewajiban bagi masyarakat khususnya kaum laki-laki yang mampu untuk bekerja. Hal ini bukan hanya pembebanan yang berlaku tanpa adanya faktor pendukung berupa fasilitas yang wajib disediakan oleh negara. Negara dalam hal ini berkewajiabn untuk menciptakan lapangan kerja atau memberikan bantuan lahan, modal usaha dan juga peralatan yang dibutuhkan. Sehingga dengan yang demikian sangat memungkinkan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasarnya atau sekunder bahkan tersiernya.
Tetapi secara realisasinya kemampuan setiap orang berbeda, hasil yang diperoleh pun juga bisa berbeda. Sehingga ada sebagian yang bisa memenuhi kebutuhannya ada juga yang tidak mampu termasuk dalam perkara memiliki rumah. Lalu bagaimana jika hasil yang diperoleh ternyata belum mampu mewujudkan keinginan untuk membeli rumah atau hanya sekedar menyewanya? Maka mekanise kedua bisa menjawab persoalan ini
2. Kewajiban Kepala Keluarga, Ahli Waris dan Kerabat
Mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk pemenuhan ini maka bisa diupayakan lewat kewajiban bagi para kepala keluarga, ahli waris dan kerabat untuk membantu pemenuhannya.
Sebagaimana firman Allah: “Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal.” (QS. ath-Thalaq[65]: 6).
Sedangkan Rasulullah saw. bersabda: “Mulailah memberi nafkah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu, ibumu, ayahmu, saudara laki-lakimu, dan saudara perempuanmu; kemudian kerabatmu yang jauh,” (HR. Nasa’i).
3. Kewajiban Negara
Jika tahap 1 dan tahap 2 tidak bisa menyelesaikannya, maka giliran selanjutnya adalah negara yang berkewajiban menyediakan rumah. Dengan menggunakan harta milik negara atau harta milik umum dan berdasarkan pendapat atau ijtihad untuk kemaslahatan umat, maka khalifah bisa menjual (secara tunai atau kredit dengan harga terjangkau), menyewakan, meminjamkan atau bahkan menghibahkan rumah kepada orang yang membutuhkan. Sehingga, tidak ada lagi individu rakyat yang tidak memiliki atau menempati rumah.
Pada sisi lain, regulasi Islam dan kebijakan seorang khalifah juga akan lebih memudahkan seseorang memiliki rumah. Tentu saja berbagai regulasi dan kebijakan khalifah tersebut muncul dari pemikiran dan hukum Islam demi melayani kemaslahatan rakyatnya.
Begitulah Islam telah memberikan jawaban atas setiap persoalan yang menimpa kehidupan saat ini termasuk dalam hal perumahan.
Rasanya amat sulit bagi masyarakat untuk mewujudkan mimpi memiliki rumah jika pengaturan kehidupan negara berparadigma sebagai regulator. Ujung-ujungnya rakyatlah yang harus menjadi tumbal dan menanggung beban semua persoalan yang dihadapi bangsa saat ini. Maka kembali ke Islam adalah jalan untuk melepaskan beban sekaligus beroleh keberkahan dalam hidup.
“Dan jika penduduk negeri beriman dan bertaqwa ( kepada Allah sesungguhnya Kami ( Allah ) bukakan kepada mereka ( pintu-pintu ) berkah dari langit dan bumi; Tetapi mereka mendustakan ( ayat-ayat Kami ), maka Kaminsiksa mereka lantaran apa yang telah me- reka kerjahan.” ( Qs. Al-A’raf[7]: 96 )
Wallahua’lam
Tags
Opini