Tanpa Dukungan Sains dan Kesiapan Masyarakat, New Normal Diberlakukan



Penulis : I.Y.A.S*



Presiden Indonesia meminta masyarakat memulai kehidupan baru berdampingan dengan Virus Corona 2019 (COVID-19) karena sampai sekarang vaksinnya belum juga ditemukan. Pada Kamis (7/5/2020) lalu, misalnya, ia mengatakan: "Kita harus hidup berdamai dengan COVID-19.” (tirto.id/07/06/2020). 

Padahal jika mengutip data dari covid19.go.id,  total kasus positif per 30 Mei 2020 mencapai 25.773 orang, 7.015 pasien sembuh, dan 1.573 pasien meninggal dunia. Data ini menunjukan bahwa sampai akhir Mei 2020 kasus covid-19 belum mengalami penurunan tetapi sebaliknya yaitu peningkatan. 

Pengambilan kebijakan New Normal pada 1 Juni 2020 ini diberlakukan bersamaan dengan diturunkannya aparat penegak hukum seperti satuan polisi pamong praja (satpol pp), polisi hingga militer. Aparat penegak hukum pun dikerahkan untuk mentertibkan atau mengedukasi kebijakan New Normal. New Normal adalah beraktivitas di luar rumah seperti biasanya ditambah dengan protokoler kesehatan seperti menggunakan masker, sering mencuci tangan, hindari kerumunan orang atau social distancing. 

Kebijakan New Normal yang diterapakan ini tentunya menimbulkan polemik baru. Jika melihat negara lain semisal Jepang, pelonggaran dilakukan enam pekan setelah kurva covid-19 menurun. Sedangkan di Indonesia kurva penyebaran covid-19 belumlah bisa dikatakan menurun atau masih tinggi. Bahkan menurut para ahli, puncak pandemi belum maksimal karena tidak meratanya test covid-19 diseluruh Indonesia. 

Sebagian pihak menilai ajakan kehidupan new normal ditengah tingginya penyebaran covid-19 di Indonesia dengan mengerahkan kekuatan militer ini dikhawatirkan akan mengakibatkan bentrokan antara masyarakat dan aparat yang tentunya akan berdampak negatif.  Hal ini sebenarnya memperjelas ketidaktegasan kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan masalah covid-19. 

Jika diambil kasus diperbolehkannya mall atau tempat perbelanjaan dibuka yang mustahil jika tidak banyak kerumunan orang dan pasti sangat sulit untuk melakukan social distancing, sama saja kebijakan New Normal ini tidak ada artinya. Jadi untuk apa diberlakukannya New Normal? Padahal diberlakukannya kebijakan baru ini diharapkan bisa memutuskan mata rantai penyebaran covid-19 atau menurunkan angka terinfeksinya masyarakat. 

Dan apakah dengan mengerahkan anggota penegak hukum akan menurunkan penyebaran covid-19? 
Belum tentu. Karena sampai saat ini belum terjadi penurunan. Peraturan yang diterapkan juga tidak sesuai dengan penelitian dan suara masyarakat. Bahkan banyak organisasi masyarakat dan peneliti yang menolak kebijakan ini.

Jelaslah kebijakan ini diterapkan bukan untuk kemaslahatan umat. Kebijakan diterapkan lebih menitik beratkan untuk para kapitalis dari pada kemasalahatan umat. Alih-alih agar perekonomian tidak terus merosot, tetapi yang dihasilkan adalah tetap saja ekonomi semakin hancur ditambah banyaknya korban nyawa meninggal dunia.

Dalam Islam hal ini tentu tidaklah akan terjadi karena kemaslahatan manusia sangat terjaga. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

“Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.” (HR. An-Nasa’i)

Islam sangat menjaga nyawa manusia, baik itu muslim maupun non muslim. Bahkan non muslim pun tidak boleh terbunuh terkecuali atas alasan yang sesuai dengan hukum syara. Pada akhirnya, pentingnya diterapkannya aturan Islam dalam skala negara akan mendatangkan kemaslahatan umat manusia dimana bukan hanya untuk manusia saja tapi rahmatan lil’alamin, kemaslahatan bagi seluruh alam dan seisinya.


*(Aktivis Islam Generasi Milenial)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak