Tanah Surga Terlilit Hutang



Oleh: Ayra Naira
(Aktivis Dakwah)

“Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Begitulah lirik sebuah lagu yang mengekspresikan besarnya anugerah yang diberikan di tanah ini. Namun sayang seribu sayang kekayaan seperti emas, tambang, minyak, gas alam dan lain sebagainya nyatanya tak mampu mensejahterakan negeri ini. Jangankan mensejaterakan, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja pemerintah mengalami defisit  Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan harus menarik utang secara besar-besaran untuk memenuhinya. Miris memang tapi itulah faktanya.
Menteri Sri Mulyani Indrawati kepada Vivanews mengungkapkan , pemerintah telah menarik utang untuk biaya defisit Anggaran Pendapatan Belanja Ngara (APBN) hingga Mei 2020 sebesar Rp356,1 triliun. (16/06 2020). Disisi lain pemerintah juga melakukan penarikan utang sebesar 1.006 Triliun  berdasarkan Perpu No.1 Tahun 2020, dengan dalih menghadapi wabah Corona. Jumlah ini mencapai tiga kali lipat dari utang setiap tahun. (Bisnis News, 13/5/2020). Pun sebelum wabah terjadi utang Indonesia sudah membengkak. Belum lagi fakta tentang  utang BUMN yang sangat besar.
Tidak heran jika dalam sistem sekarang ini hampir seluruh negara mempuyai utang. Karena sistem kapitalis sendiri berdiri di atas kepentingan manfaat para pemegang modal. Maka disaat yang bersamaan jika suatu negara membutuhkan uang, para pemilik modal akan berlomba-lomba memberikan pinjaman. Namun tentunya pemberian utang tersebut tidak serta merta begitu saja, selain bunga yang tinggi tentu ada tujuan lain seperti pepatah yang mengatakan “No Free Lunch”. Tak heran jika nantinya kebijakan-kebijakan yang diambilpun tentu mengikuti intstruksi para pemilik modal yang telah memberikan pinjaman.
Utang yang membengkak ini pun disertai bunga yang sangat tinggi dimana pemerintah  terseok-seok menyicil bunganya, apalagi dengan utang pokoknya. Dampaknya pemerintah mulai menarik segala bentuk pajak kepada masyarakat. Alih-alih berutang untuk kepentingan masyarakat yang ada masyarakat dibebani pajak dan berbagai tagihan yang semakin melonjak seperti tagihan listrik.
Lalu bagaimana Islam memandang hal ini? Salah satu pos pemasukan Khilafah adalah dengan pengelolaan sumber daya alam. Sistem Islam mempunyai konsep kepemilikan sumber daya alam  yang berbeda dengan sistem kapitalis.  Dari Ibnu Abbas ra berkata sesungguhnya Nabi Muhammad saw. bersabda; “orang muslim berserikat dalam tiga hal yaitu; air, padang rumput , api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Dalam hal ini, tiga kekayaan alam tersebut merupakan kepemilikan umum, pemerintah berhak mengelolanya untuk kesejahteraan umat namun tidak diperbolehkan untuk dimiliki secara perorangan dan tidak dibenarkan untuk diberikan kepada pihak asing untuk mengelolanya seperti yang terjadi pada sistem saat ini. Dan pengelolaannya  akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Sumber-sumber pemasukan uang serta pos-pos pengeluarannya berdasarkan ketentuan syariat. Artinya tidak dibenarkan mengada-adakan suatu proyek untuk diambil keuntungan secara individu. Apabila pemerintah daulah mengalami defisit anggaran maka ada tiga langkah strategi untuk menanggulanginya yaitu, pertama meningkatkan pendapatan negara melalui pengolaan harta milik negara, melakukan hima pada sebagian harta milik umum, menarik pajak sesuai ketentuan syariah, mengoptimalkan pemungutan pendapatan. Kedua menghemat pengeluaran dengan memprioritas untuk pengeluaran yang dapat ditunda dan yang mendesak, dan yang ketiga berutang secara syar’i yaitu mengikuti ketentuan syariah dengan tidak mengambil utang luar negeri atau dari lembaga internasioanal dikarenakan utang tersebut pasti terdapat riba dan pasti mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri Khilafah.
Wallahu a’lam bish-shawabi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak