Tagihan Listrik yang "Menyengat"




Oleh: Relliyanie, S.Pd 
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial)

Betapa menyengat nya tagihan listrik akhir-akhir ini sangat dirasakan oleh pelanggan PLN, terutama yang memiliki daya 900 volt ke atas. Walaupun bagi pelanggan yang disubsidi di berikan keringanan berupa penggratisan listrik selama 3 bulan, tetapi ternyata pelanggan yang lain dinaikkan tarifnya. Jadi ini hanya akal-akalan PLN yang sekilas nampak ingin meringankan beban rakyat saat Pandemi, tetapi menyengat yang lainnya.

Masyarakat mengeluhkan kenaikan tagihan listrik hingga 4x lipat dan menduga ada kenaikan diam-diam dari PLN. PLN mengelak telah menaikkan listrik selama masa pandemic. Kenaikan tagihan listrik dianggap wajar karena penggunaan yg meningkat karena WFH dan BDR.

Seperti yang dikeluhkan warga ini: "Saya pelanggan daya 1.300 yang biasanya bayar Rp 400 ribu per bulan, tapi tagihan untuk bulan ini menjadi Rp 800 ribu. Padahal pemakaian selama ini masih tetap biasa saja," kata Anshori warga Dumai dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (5/6/2020).

Pihak PLN, Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan Bob Saril mengatakan, lonjakan tagihan yang dialami sebagian pelanggan tidak disebabkan oleh kenaikan tarif. Bukan juga disebabkan subsidi silang antara pelanggan golongan tertentu dengan golongan yang lain. Lonjakan pada sebagian pelanggan tersebut terjadi semata-mata karena pencatatan rata-rata rekening sebagai basis penagihan pada tagihan bulan Mei, kemudian pada bulan Juni ketika dilakukan pencatatan meter aktual selisihnya cukup besar. Itulah yang menyebabkan adanya lonjakan,” katanya, Minggu (sindonews.com,7/6/2020).

Bob Saril memastikan seluruh anggapan itu tidak benar. PLN tidak pernah menaikkan tarif listrik karena bukan kewenangan BUMN."Pada intinya bahwa PLN itu tidak melakukan kenaikan tarif karena tarif itu adalah domain pemerintah. Kan sudah ada UU yang diterbitkan pemerintah melalui Kementerian ESDM. Jadi PLN tidak akan berani karena itu melanggar UU dan melanggar peraturan dan bisa dipidana bila menaikkan tarif," ujar Bob dalam konferensi pers bertajuk 'Tagihan Rekening Listrik Pascabayar', Sabtu (6/6/2020).

Tidak hanya listrik, tagihan air pun juga meningkat drastis. Seorang warganet @SoerErte mengatakan tagihan air melonjak 12 kali lipat. Ia melaporkan lonjakan tagihannya tersebut ke PDAM Surabaya, sebab tagihan tersebut dirasa tidak wajar karena ia tidak memiliki kolam renang di rumahnya. Begitu pula yang dikemukakan eorang warganet @sonaintan mengatakan tagihan air di rumahnya bisa menembus angka Rp180 ribu. Padahal rumah tersebut sudah tak dihuni lebih dari 1 bulan(CNN,9/6/2020). 

Ini menegaskan pemerintah tidak peduli terhadap kesulitan rakyat dan sektor strategis layanan publik tidak menyesuaikan pelayanannya dengan pendekatan meringankan kesulitan yang dihadapi masyarakat di masa pandemic. Liberalisasi ekonomi, termasuk di sektor energi, khususnya kelistrikan merupakan desakan pihak asing, baik negara-negara asing maupun lembaga-lembaga asing seperti Bank Dunia dan IMF. Menurut pengamat ekonomi Dr. Hendri Saparini, 90 persen energi negeri ini sudah dikuasi oleh pihak asing. Akibatnya, sumber energi (minyak dan gas) menjadi sangat mahal, dan PLN jelas kena dampaknya.

Pasalnya, biaya pemakaian BBM untuk pembangkit-pembangkit PLN mencapai Rp28,4 triliun per tahunnya, hampir seperempat dari seluruh biaya operasional PLN setiap tahunnya. Besarnya beban biaya operasional ini disebabkan kebijakan ekonomi pemerintah yang memaksa PLN membeli sumber energinya dengan harga yang dikehendaki oleh perusahaan-perusahaan asing yang memegang kendali dalam industri minyak, gas, dan batubara.

Jika PLN merugi, maka akan berimbas pada rakyat yang membutuhkan penerangan dari PLN. Bisa dibayangkan, betapa amburadulnya setiap kebijakan yang diterapkan penguasa di negeri ini. Masa pandemi pun masih menyulitkan kehidupan rakyat. Bagaimana bisa rakyat menaruh kepercayaan pada penguasa dan para pejabatnya?

Islam telah menetapkan negara (Khilafah) sebagai wakil umat untuk mengatur produksi dan distrubusi energi (termasuk listrik) untuk kepentingan rakyat. Negara tidak boleh mengeruk keuntungan dari kepemilikan umum ini. Negara hanya boleh memungut tarif sebagai kompensasi biaya produksi dan distribusi barang-barang tersebut (Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla).

Tarif yang diambil dari rakyat juga dalam nilai yang wajar, tidak boleh melebih-lebihkan hingga membuat rakyat sulit untuk membayar tagihannya. Negara juga tidak boleh memadamkan listrik seenaknya tanpa banyak pertimbangan sebelumnya yang akan merugikan rakyat. Negara juga haram menyerahkan kepemilikan umum atau penguasaannya kepada pihak swasta atau asing berdasarkan hadis Rasulullah saw:

Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal : padang gembalaan, air, dan api.” (HR Ibn Majah).

Maka, untuk menyelesaikan masalah yang terus terjadi di tubuh PLN hingga merugikan rakyat sendiri dengan menghentikan liberalisasi energi dan mengembalikan seluruhnya ke tangan negara sebagai pengelola utama.

Listrik harus dikelola badan milik negara yang statusnya adalah institusi pelayanan, bukan dijadikan sebagai institusi bisnis. Konsekuensinya, badan milik negara yang mengelola listrik memang harus terus disubsidi negara. Pertanyaannya, dari mana negara –dalam hal ini Indonesia– bisa mendanainya? Jawabannya mudah:  Dari kekayaan alam Indonesia yang sangat melimpah ruah.

Liberalisasi energi masih terus terjadi disebabkan masih bercokolnya sistem kapitalisme-sekuler di negeri ini. Maka kita tidak akan pernah bisa keluar dari berbagai macam masalah, termasuk masalah listrik, karena disebabkan kapitalisme-sekuler itulah yang menjadi sumber masalah.

Jika rakyat merindukan kehidupan yang tenang, penerangan yang terang benderang, itu hanya didapatkan dalam naungan Islam (Khilafah). Sebagai contoh, bukti majunya peradaban Islam ialah pada masa Khilafah Bani Umayyah, Cordoba menjadi ibu kota Andalusia, pada malam harinya diterangi dengan lampu-lampu sehingga pejalan kaki memperoleh cahaya sepanjang sepuluh mil tanpa terputus. Ada sebuah masjid dengan 4.700 buah lampu yang menerangi, yang setiap tahunnya menghabiskan 24.000 liter minyak. (al-waie.id, 1/12/2017).

Bisa dipastikan, penerangan untuk fasilitas umum saja mendapatkan perhatian dari negara, apalagi penerangan untuk setiap rumah penduduknya, tentu menjadi prioritas utama bagi Khilafah. Bukannya menaikkan tarif atau tagihan rakyat yang meroket tetapi pelayanannya sering byar- pet. Pilih yang mana? (Dari berbagai sumber).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak