(Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis)
Beberapa hari terakhir, banyak masyarakat yang mengeluhkan tagihan listrik PLN naik. Di media sosial beredar, kalau pelanggan PLN merasa kalau tarif listrik naik, terutama mereka yang masuk kategori pelanggan non-subsidi.
Sementara itu, PT PLN (Persero) sudah memastikan kalau pihaknya tidak melakukan penyesuaian tarif listrik. Bahkan, menurut PLN, harga listrik tidak mengalami kenaikan sejak tahun 2017. Menurut PLN, tagihan listrik naik terjadi karena kenaikan konsumsi selama work from home ( WFH). Lalu faktor lainnya yakni penambahan kurang tagih pada bulan sebelumnya. (www.Kompas.com, 10/06/2020)
Di akun Instagram resminya seperti dilihat pada Minggu (10/5/2020), PLN memperlihatkan simulasi perhitungan rekening yang ditagihkan untuk bulan Mei 2020 di mana banyak pelanggannya melakukan WFH.
Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini juga mengatakan, PLN adalah perusahaan BUMN yang setiap laporannya harus mendapatkan audit dari BPK dan pengawasan dari BPKP. Sehingga tidak mungkin pihaknya menaikkan tarif diam-diam.
Penderitaan rakyat seolah tak ada habisnya. Masalah dating bertubi – tubi. Wabah yang tak kunjung reda, sulitnya mendapatkan pekerjaan, PHK di mana-mana, dan kini kesulitan pula membayar tagihan listrik.
Bukan main kesulitan yang harus diterima rakyat selama masa pandemi. Ini menunjukkan pada rakyat, tidak adanya empati pemerintah terhadap kesulitan rakyat dan sektor strategis layanan publik tidak menyesuaikan pelayanannya dengan pendekatan meringankan kesulitan yang dihadapi masyarakat di masa pandemi.
Lantas, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah dalam hal ini, sebagai penanggung jawab penuh atas setiap keluhan dan kesulitan yang dialami rakyat? Lalu, bagaimana sikap yang harus ditunjukkan rakyat terkait tagihan listrik mereka yang membengkak? Cukupkah menerima semua kondisi ini dengan bersabar dan membayar semua tagihan listrik? Atau bersuara dengan lantang menuntut penguasa turun tangan meringankan beban mereka?
Pengamat kebijakan dan Pemerintahan Gede Siriana Yusuf, menilai PLN tidak bisa berdalih dengan mengatakan kenaikan tagihan listrik dikarenakan menggunakan rata-rata tiga bulan terakhir sebagai acuan tagihan bulan Mei. Apalagi saat masyarakat sedang sulit tidak ada penghasilan karena terdampak Covid-19.
Ia juga menambahi bahwa solusi kenaikan dengan membayar secara mencicil juga bukan solusi yang tepat. Seharusnya perhitungan tagihan perlu dikoreksi lagi, lalu masyarakat juga membutuhkan biaya ekstra untuk kenaikan listrik meski dicicil pembayarannya.
Kemudian, Gede Siriana juga tak setuju jika alasan kenaikan listrik yang diungkapkan PLN akibat aktivitas di rumah dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pasalnya, PSBB bukan mau masyarakat tetapi kebijakan pemerintah. Sekolah dengan belajar online juga bukan mau siswa. Konsekuensinya penggunaan listrik lebih banyak. (www.teropongsenayan.com, 7/6/2020)
Maka sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menanggung beban rakyatnya hadapi tagihan listrik yang membengkak. Namun sayang, yang terjadi saat ini, pemerintah tidak mau menanggung makan, sewa kontrakan warganya, dana bansos pun tak luput dari pemangkasan. Bentuk apatisnya penguasa terhadap kesulitan masyarakat luas.
Perlu menjadi perhatian publik, di tubuh PLN sampai saat ini masih terus mengalami permasalahan, baik terkait perawatan alat-alat PLN dan UU listrik yang menjadi penyebab terjadinya liberalisasi energi. Banyak jaringan dan alat-alat PLN yang sudah tua karena tidak adanya biaya investasi sehingga harus dilakukan overhaul yang akhirnya merugikan masyarakat banyak dengan pemadaman listrik. Teknologi listrik termasuk teknologi tinggi. Banyak alat-alat yang juga masih harus diimpor dan harganya mahal. Sementara APBN terbatas.
Akibatnya, kenaikan tarif dasar listrik secara periodik (rutin) menjadi pilihan. Kenaikan ini sudah berlangsung berkali-kali sejak zaman Soeharto hingga masa Jokowi. UU Listrik juga memberikan peluang lebih lebar kepada pihak swasta/asing untuk bersaing dengan PLN dalam penyediaan listrik. Konsekuensinya listrik menjadi barang ekonomi, ditambah lagi pemerintah terus mengurangi subsidi bagi PLN.
Liberalisasi ekonomi, termasuk di sektor energi, khususnya kelistrikan merupakan desakan pihak asing, baik negara-negara asing maupun lembaga-lembaga asing seperti Bank Dunia dan IMF. Menurut pengamat ekonomi Dr. Hendri Saparini, 90 persen energi negeri ini sudah dikuasi oleh pihak asing. Akibatnya, sumber energi (minyak dan gas) menjadi sangat mahal, dan PLN jelas kena dampaknya.
Pasalnya, biaya pemakaian BBM untuk pembangkit-pembangkit PLN mencapai Rp28,4 triliun per tahunnya, hampir seperempat dari seluruh biaya operasional PLN setiap tahunnya. Besarnya beban biaya operasional ini disebabkan kebijakan ekonomi pemerintah yang memaksa PLN membeli sumber energinya dengan harga yang dikehendaki oleh perusahaan-perusahaan asing yang memegang kendali dalam industri minyak, gas, dan batubara.
Jika PLN merugi, maka akan berimbas pada rakyat yang membutuhkan penerangan dari PLN. Bisa dibayangkan, betapa amburadulnya setiap kebijakan yang diterapkan penguasa di negeri ini. Masa pandemi pun masih menyulitkan kehidupan rakyat. Bagaimana bisa rakyat menaruh kepercayaan pada penguasa dan para pejabatnya?
Islam telah menetapkan negara (Khilafah) sebagai wakil umat untuk mengatur produksi dan distrubusi energi (termasuk listrik) untuk kepentingan rakyat. Negara tidak boleh mengeruk keuntungan dari kepemilikan umum ini. Negara hanya boleh memungut tarif sebagai kompensasi biaya produksi dan distribusi barang-barang tersebut (Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla)
Tarif yang diambil dari rakyat juga dalam nilai yang wajar, tidak boleh melebih-lebihkan hingga membuat rakyat sulit untuk membayar tagihannya. Negara juga tidak boleh memadamkan listrik seenaknya tanpa banyak pertimbangan sebelumnya yang akan merugikan rakyat. Negara juga haram menyerahkan kepemilikan umum atau penguasaannya kepada pihak swasta atau asing berdasarkan hadis Rasulullah saw:
“Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal : padang gembalaan, air, dan api.” (HR Ibn Majah)
Maka, untuk menyelesaikan masalah yang terus terjadi di tubuh PLN hingga merugikan rakyat sendiri dengan menghentikan liberalisasi energi dan mengembalikan seluruhnya ke tangan negara sebagai pengelola utama. Dan kekayaan dari bumi Indonesia, lebih dari cukup untuk mengelola , asal Semua tata kelola benar dan mempertimbangkan kemaslahatan masyarakatnya.
Wallahu a’lam bi ash showab.