Oleh : Puput Weni
Pemerintah sepatutnya hadir sebagai pengurus rakyat tidak hanya sebagai regulator sekedar mengatur, membuat kebijakan yang semakin hari semakin membingungkan dan mencekik rakyat. Kesehatan yang merupakan hal yang sangat vital dalam kehidupan manusia untuk melakukan aktifitas. Kesehatan rakyat merupakan kebutuhan dasar yang seharusnya dijamin oleh pemerintah namun nyatanya di bumi pertiwi kesehatan merupakan suatu hal yang mahal.
Ditengah pandemi covid-19 pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang membuat rakyat kecewa. Persiden Jokowi kembali menaikkan iuran BPJS Kesejatan yang tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020). Kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) diatur dalam Pasal 34 (mataram.tribunnews.com, 15/5/2020).
Tarif baru BPJS Kesahatan berlaku mulai Juli 2020 dengan rincian, tarif iuran BPJS Kesehatan untuk kelas mandiri antara lain Kelas I sebesar Rp150.000 per orang per bulan, Kelas II Rp100.000, Kelas III Rp25.500 dan menjadi Rp35.000 pada 2021.
Belum sempat rakyat "menghela nafas" menikmati iuran BPJS kesehatan turun namun sekarang sudah naik lagi. Kebijakan kenaikan BPJS Kesehatan manjadi bukti bahwa pemerintah lepas tangan terhadap pengurusan rakyat, kebijakan yang tak manusiawi, tak ada empati yang terselip pada para penguasa. Rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan hidup karena dampak pandemi covid-19 membuat banyak perusahaan gulung tikar dan melakukan PHK terhadap karyawannya. Pemasukan uang rakyat semakin sulit ditambah lagi kenaikan kebutuhan bahan pokok. Sebelum BPJS kesehatan naik kondisi rakyat sudah tercekik, apa lagi sekarang bak sudah jatuh tertimpa tangga.
Keberadaan BPJS bukanlah sebagai jaminan atas kesehatan rakyat namun layaknya asuransi kesehatan. Aspek untung rugi menjadi pertimbangan utama dalam pelayanannya. Padahal, dana BPJS itu semuanya dari rakyat. Baik melalui iuran maupun subsidi APBN.
Negara yang menjadi harapan satu-satunya untuk menjaga rakyat dalam masa sulit menghadapi wabah, justru tampil sebagai mafia pemalak. Inilah fakta negara kapitalis. Urusan hidup seperti kesehatan harus cari sendiri, bayar sendiri. Prinsip untung rugi paten menjadi tolak ukur standarnya serta tunduk pada korporasi.
Berbeda dengan negara islam dalam bingkai khilafah. tak memikirkan untung rugi, tak mengedepankan kepentingan dan takut kehilangan kekuasaan, namun kepemimpinannya selalu mengedepankan ketaatan kepada pemilik kekuasaan tertinggi Allah SWT. Aturan yang menyengsarakan rakyat haram dalam sistem islam, pemerintah berfungsi sebagai riayah atau pengurus rakyat.
Pengurusan dilakukan dalam segala aspek kehidupan termasuk aspek kesehatan. Ditengah wabah seperti saat ini, pemerintah dalam sistem islam menyediakan pelayanan kesehatan yang mudah diakses, mulai dari Rumah Sakit, tenaga medis, fasilitas kesehatan yang layak dan lengkap, peralatan kedokteran dan obat-obatan tersedia tanpa pungutan biaya.
Pembiayaan dalam sistem islam berasal dari Baitul Maal, salah satunya bersumber dari pemasukkan kepemilikan umum mulai dari tambang batu bara, gas bumi, minyak bumi, tambang emas dan berbagai logam mulia lain. Pengelolaan baitul maal dilaksanan dengan penuh tanggungjawab atas dasar iman dan pelaksanaan yang benar hanya mengharap ridho dari Allah SWT. Peran aktif dan keseriusan negara dalam menangani wabah dapat dirasakan oleh rakyat, kebijakan pemerintah tegas dan tepat sasaran sehingga setiap masalah dapat diatasi sesuai syariat tidak menggunakan konsep kufur yang Allah SWT murkai. Wallahu a’lam bishshawab