Oleh Suci Hardiana Idrus
Lagi-lagi, Pancasila kembali dipersoalkan. Kembali dibahas, dan berulang kali diperdebatkan. Seolah mengingkari pernyataan bahwa Pancasila adalah sesuatu yang bersifat final. Lantas dimana finalnya jika masih terus dijadikan polemik bahkan di tengah kondisi pandemi seperti ini? Yang ada hanya nihil, terlalu jauh membahas Haluan Pancasila dibandingkan bersungguh-sungguh menangani Pandemi yang telah merenggut puluhan ribu nyawa rakyat. Ditambah carut marutnya perekonomian, utamanya pada masyarakat yang rentan dengan kesulitan ekonomi.
Kekisruhan bermula saat RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila) ini yang tak memasukkan TAP MPRS tentang pelarangan Komunisme. Hal ini dianggap Sebagai anak bangsa, kita jangan melupakan sejarah. PKI merupakan pengalaman pahit dan sejarah luka yang dalam bagi bangsa ini. Secara tidak langsung kita diajak berdamai dengan PKI-Komunisme. Sedang di masa lalu mereka tak kenal istilah damai, kecuali kepada para kaum penghianat.
Dilansir dari tirto.id, tanggal 16, Juni, 2020, Merujuk laman resmi DPR, RUU HIP setidaknya sudah dibahas tujuh kali. Dan rapat tersebut diketuai oleh Rieke Diah Pitaloka-kader PDIP.
Dua rapat perdana dilaksanakan pada tanggal 11-12 Februari 2020. Mulai 8 April 2020, rapat RUU HIP sudah menggunakan nama Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU HIP, Dua rapat berikutnya, 13 dan 20 April 2020, berjalan tertutup. Dua hari setelahnya, 22 April 2020, Baleg mengadakan rapat dalam rangka Pengambilan Keputusan Fraksi atas RUU itu. Lagi-lagi dipimpin oleh Rieke. Hampir semua fraksi setuju. Hanya PKS yang menolak karena RUU ini tak mengakomodasi TAP MPRS tentang pelarangan komunisme. Pada 12 Mei, DPR RI resmi menetapkan RUU itu menjadi inisiatif DPR dan menunggu surpres persetujuan Presiden Joko Widodo untuk pembahasan selanjutnya.
Selain itu, Berbagai kontroversi terkait RUU HIP mulai muncul dari berbagai kalangan. Baik dari pihak MUI dan sejumlah politisi, akademisi, Purnawirawan TNI hingga dan ormas Islam besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama pun ikut mengecam agar RUU ini segera tiadakan, bukan ditunda. Karena terdapat pasal yang tak sejalan dengan apa yang selama ini disepakati tentang Pancasila yang bersifat final dan tak bisa diubah.
Melansir dari CNN Indonesia, tanggal 17, Juni, 2020, Mengenai Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) Pasal 6 yang memuat tentang Trisila dan Ekasila dikritik oleh banyak kalangan. Banyak yang menganggap itu sama saja mengerdilkan Pancasila.
Diketahui, Pada Pasal 6 RUU HIP dinyatakan bahwa ciri pokok Pancasila disebut Trisila, antara lain Ketuhanan, Nasionalisme dan Gotong Royong. Kemudian pada Ayat (2) dinyatakan bahwa Trisila terkristalisasi dalam Ekasila, yakni gotong royong.
Yang kita ketahui selama ini begitu banyak upaya untuk menggeser peran agama dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Memisahkan agama dari politik merupakan cerminan dari kedangkalan berpikir. Lihatlah bagaimana Pancasila dijadikan alat gebuk bagi suatu kelompok dengan tuduhan ingin mengganti, merongrong Pancasila. Itu pun tak terbukti adanya. Mereka berbondong-bondong mengkriminalisasi aktivisnya dengan bermodalkan Pancasila. Hingga banyak di antara mereka yang saling mengklaim dirinya Pancasilais dan menyematkan selainnya adalah anti Pancasila. Hingga pada akhirnya rakyat terpecah dan saling menuding.
Siapa yang diuntungkan dari adanya RUU HIP ini? Hari ini, kita melihat dengan jelas siapa yang ingin merubah dan menggeser nilai Pancasila? Terlalu banyak Undang-Undang yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat tapi sebaliknya memihak ke konglomerat pemilik modal. Kedaulatan di tangan rakyat hanya janji-janji tertulis tanpa wujud yang realistis.
Inilah akibat virus sekularisme yang memisahkan peran agama dari kehidupan dan negara. Seolah agama hanya berurusan di masjid, pesantren, biara, dan gereja saja. Sehingga tak banyak yang sadar bahwa pembodohan dan kebohongan banyak terjadi di ruang lingkup pemerintahan. Tatkala muncul masyarakat yang bersikap kritis dilabeli dengan makar.
Wallahu'alam