Oleh : Khaulah Ariska
(Mahasiswa Pendidikan Matematika)
(Mahasiswa Pendidikan Matematika)
Sebagai negara agraris, sudah sepatutnya Indonesia tidak lagi bergantung pada impor. Indonesia seharusnya mampu menciptakan kedaulatan pangan dengan lahan pertanian yang luas juga kekayaan air yang melimpah. Namun, nyatanya impor kian menjadi-jadi. Menjadi ‘mata air’ yang dituju pemerintah lantas menimbulkan kemelaratan pada penghasil pangan di negeri ini.
Meski menuai kritik keras, keputusan pemerintah untuk membuka keran lebar-lebar impor tampaknya tak bisa terelakkan. Impor kian melonjak meskipun dalam kondisi wabah. Hal ini diklaim karena produksi lokal menurun juga karena adanya pelonggaran syarat impor.
Dilansir dari laman kompas.com, Senin 25 Mei 2020, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, Prihasto Setyanto mengatakan bahwa pasokan dalam negeri saat ini belum mencukupi kebutuhan masyarakat, sehingga masih perlu dibantu oleh impor. Lanjutnya, impor didominasi oleh komoditas sayur-sayuran, seperti bawang putih, kentang industri, bawang bombai, cabai kering, bahkan garam.
Dilansir dari laman kompas.com, Senin 25 Mei 2020, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, Prihasto Setyanto mengatakan bahwa pasokan dalam negeri saat ini belum mencukupi kebutuhan masyarakat, sehingga masih perlu dibantu oleh impor. Lanjutnya, impor didominasi oleh komoditas sayur-sayuran, seperti bawang putih, kentang industri, bawang bombai, cabai kering, bahkan garam.
Dilansir dari laman cnbcindonesia, (3/5/2020), Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves), Safri Burhanudin mengatakan Indonesia sebenarnya sudah berhasil dalam melakukan swasembada garam. “Kalau kita bicara swasembada, kita sudah swasembada, kita sudah capai target. Hanya saja sekarang kebutuhan produksinya meningkat”, kata Safri.
Lihatlah realita yang terjadi hari ini, Indonesia yang subur yang salah satu ranahnya dijuluki paru-paru dunia justru makannya bergantung pada impor. Perihal swasembada, benarkah swasembada sudah berjalan maksimal? Nyatanya rencana swasembada atau kemandirian pangan tidak sejalan dengan peluang cukai yang ingin didapat oleh kementerian perdagangan dan kepentingan para pebisnis yang akhirnya berikhtiar mendorong pelonggaran syarat impor.
Di tengah pandemi Covid-19 yang masih menghantui masyarakat, nyatanya penguasa tetap menerbitan Peraturan Presiden (Perpres) untuk mempermudah izin impor pangan hingga bahan baku. Jika menyelisik lebih jauh, kita bisa menyimpulkan dua hal yang pantas tersemat untuk para pemimpin negeri. Pertama, duduknya mereka di kursi kekuasaan nyatanya demi keuntungan diri, anak-keturunan juga kroni-kroninya. Kedua, pemimpin kita memang kurang pandai membaca situasi. Seperti yang pernah dikabarkan oleh lisan mulia Rasulullah Saw., bahwasanya pada suatu masa, umat akan dipimpin oleh orang-orang Ruwaibidhah, yaitu orang-orang bodoh yang mengurusi urusan banyak orang. Buktinya, Indonesia yang punya berbagai kekayaan alam justru impor menjadi deru nafasnya. Astagfirullah. Semuanya tentu kembali pada siapa yang memimpin dan menggunakan aturan apa untuk memimpin.
Impor yang melonjak di tengah wabah menunjukkan bahwa negara yang memiliki kekayaan melimpah ruah ini tidak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Para penguasa abai, bersantai di kursi ‘emas’ mereka. Padahal begitu banyak lahan dibiarkan tak terurus. Impor seolah menjadi satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Tanah Air kita, yang dalam penggalan lirik dari Koes Plus, katanya ‘tanah surga’ tidak bisa mandiri memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Hal ini seharusnya membuat kita semakin melek bahwasanya pemerintah di sistem yang menaungi kita saat ini tidak bertanggung jawab penuh dalam mengurusi urusan rakyatnya. Perihal ketahanan pangan di tanah air saja, sangat rapuh. Jauh dari kata sejahtera. Sangat miris ketika kita sandingkan negeri kita dengan istilah ‘negeri yang tongkat dan kayu tumbuh jadi tanaman’. Seharusnya pemerintah bisa menggenjot produktifitas pangan agar dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dan tidak selalu bersandar pada impor. Seharusnya dengan lahan pertanian yang masih sangat luas ini, kebutuhan rakyat terpenuhi dengan menggalakkan berbagai cara untuk kemandirian pangan negeri.
Tidakkah kita merasa malu menjadi negara agraris yang diberi kekayaan luar biasa oleh Sang Pencipta, tetapi persoalan pangan saja masih bergelayut di ketiak para negara importir ?
Kebijakan impor sejatinya tidak bisa lepas dari kebijakan liberalisasi ekonomi yang diambil penguasa hari ini. Berpatokan pada kebijakan ini, bahwa yang lemah harus dikorbankan supaya yang kuat tampil sebagai juara. Akibatnya negara-negara yang berada di predikat bawah tidak putus-putus menjadi konsumen rutinan dari komoditas negara-negara yang berkuasa. Oleh karena itu, negara yang berada di predikat bawah sulit membangun ketahanan pangan dalam negeri sebab terus bergantung pada negara importir. Ketika sudah pada tahap ini, dampak impor lebih besar dan lebih terasa lagi. Terutama bagi para penghasil pangan dalam negeri yang notabene berasal dari rakyat kalangan bawahyang akhirnya menjerit di balik tawa ria para pebisnis.
Mengapa hal ini terus-menerus terjadi layaknya rantai makanan? Karena liberalisasi ekonomi juga lahir dari rahim kapitalisme yang menaungi kita saat ini. Oleh karenanya, untuk menghentikan ketergantungan kita akan pangan dan kebutuhan lainnya, tentu dengan cara menganti secepat mungkin sistem hari ini dan bertransformasi ke sistem lain yang mempunyai tata aturan sedemikian rupa demi kemandirian ekonomi dalam negeri. Dengan bergegas cepat mengeliminasi sistem hari ini dan menggantikannya dengan sistem yang punya visi jelas, dengan penguasanya bertindak sebagai pelayan bukan korporasi, tentu berkontribusi besar untuk kemandirian negara dalam pemenuhan kebutuhan dalam rakyat.
Yang menjadi pertanyaan besar, adakah sistem yang bisa berkontribusi menghilangkan ketergantungan negara dengan pihak importir? Tentu ada, yaitu sistem Islam yang menerapkan syariat Islam secara kafah yang terbukti kurang lebih 1.300 tahun menjadi negara adidaya berhasil meratakan wilayah kekuasaannya dengan kesejahteraan tiada tandingan. Dengan syariat Islam dari Sang Maha Sempurna yang diterapkan secara sempurna, negara Islam tak akan bergantung pada impor dari negara lain. Bahkan bisa menjadi negara yang berdaulat, dan bisa mensejahterakan seluruh rakyat.
Wallahu a'lam
Tags
Opini