Sengatan Tarif Listrik Kala Pandemi



Oleh: Silvi F.Rachman S.Pd* 



Listrik merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Hampir tidak ada aktivitas, langsung atau tidak langsung, tanpa menggunakan listrik. Ia sudah menjadi pendukung kehidupan dasar yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Jadi, apa pun yang terkait dengan listrik akan menyedot perhatian publik yang serupa jika muncul persoalan dengan urusan bahan bakar minyak (BBM) dan sembako. Tidak mengherankan jika muncul hiruk-pikuk ketika muncul perubahan drastis soal tarif listrik.

Apalagi di tengah-tengah pandemi Corona Virus 2019 (covid-19), ketika semua orang harus mengencangkan ikat pinggang, dikejutkan tagihan listrik yang meroket. Tagihan yang harus dibayarkan tiba-tiba dua kali lipat jika dibanding dengan biasanya, bahkan ada yang lima kali lipat dari bulan-bulan sebelumnya. Tak ayal berbagai spekulasi bermunculan di ranah publik, termasuk jagad maya. Spekulasi itu, misalnya, PLN (Perusahaan Listrik Negara) menerapkan subsidi silang terhadap pelanggan yang disubsidi hingga tudingan PT PLN menaikkan tarif listrik secara sepihak. (www.kompas.com/09/10/2020)

Merespons keluhan-keluhan tersebut, PT PLN (Persero) angkat suara. Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril memastikan seluruh anggapan itu tidak benar. PLN tidak pernah menaikkan tarif listrik karena bukan kewenangan BUMN.

"Pada intinya bahwa PLN itu tidak melakukan kenaikan tarif karena tarif itu adalah domain pemerintah. Kan sudah ada UU yang diterbitkan pemerintah melalui Kementerian ESDM. Jadi PLN tidak akan berani karena itu melanggar UU dan melanggar peraturan dan bisa dipidana bila menaikkan tarif," ujar Bob dalam konferensi pers bertajuk 'Tagihan Rekening Listrik Pascabayar', pada hari Sabtu (6/6/2020). (www.industri.kontan.co.id/10/06/2020)

Jubir Presiden Bidang Sosial Angkie Yudistia juga mengatakan, pemerintah menegaskan tidak ada kenaikan tarif listrik seperti dikeluhkan warga. Lonjakan tarif listrik yang tinggi disebabkan oleh konsumsi yang jauh lebih banyak saat kita lebih sering beraktifitas di rumah.

"Masa pandemi yang mendorong diberlakukannya kebijakan PSBB menjadikan kegiatan kita lebih intens di rumah dan mengakibatkan penggunaan listrik yang juga turut mengalami peningkatan," tuturnya dalam keterangan tertulis. (www.finance.detik.com/10/06/2020)

Indonesia dikenal sebagai negara kaya raya dengan segala potensi yang dimilikinya. Tidak ketinggalan potensi sumber energi yang melimpah ruah sebagai karunia dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebut saja sumber energi fosil (minyak, gas dan batu bara). Namun sayang sebagian besar sumber energi primer ini ternyata digunakan untuk memenuhi kebutuhan negara lain.

Ironisnya dibalik gencarnya ekspor migas dan batu bara, Indonesia malah mengalami krisis listrik yang luar biasa. Krisis listrik di Indonesia bukan lagi kasus baru dan bersifat temporal, namun sudah kronis. Sebagian besar rakyat sudah terbiasa dengan penderitaan pemadaman listrik. Pemadaman tidak hanya bergilir bahkan sudah menjadi agenda rutin.

Meski ditengah buruknya layanan listrik oleh PT PLN, harga listrik cenderung mahal karena harga listrik diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar alias harga komersil. Krisis listrik yang terus menerus terjadi dalam waktu yang sangat panjang tidak terlepas dari buah diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal dan sistem politik demokrasi yang mencengkram saat ini. Sistem tersebut menyebabkan liberalisasi pada tata kelola listrik, baik sumber energi primer maupun layanan listrik.

Islam adalah agama yang paripurna. Akidah Islam melahirkan seperangkat aturan yang tak hanya komprehensif tapi juga solutif. Dalam pandangan Islam, listrik merupakan kepemilikan umum. Hal ini dipandang dari dua aspek.

Pertama, listrik sebagai bahan bakar termasuk dalam katagori api (energi) yang merupakan milik umum. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam,

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput (kebun/hutan), air, dan api (energi).” (HR. Ahmad).
Hal tersebut termasuk di dalamnya berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan sebagainya.

Kedua, Sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik baik oleh PT PLN maupun swasta seperti batubara dan migas, juga merupakan milik umum. Sebagaimana disebutkan dalam hadits sebelumnya. Karena menjadi kepemilikan umum, sumber energi seperti batubara dan migas jelas haram dikelola secara komersial oleh pihak asing dan swasta. Juga haram mengkomersilkan hasilnya seperti listrik.

Oleh karena itu, tata kelola kelistrikan negara tidak boleh melibatkan bahkan diserahkan secara komersial kepada pihak asing dan swasta. Dengan alasan dan dalih apapun. Karena menjadi tanggung jawab negara menjamin kebutuhan listrik setiap rakyatnya. Baik dari kualitas maupun kuantitas. Dengan harga murah bahkan gratis bila menungkinkan. Untuk seluruh rakyat, tanpa memandang kaya atau miskin. Muslim atau non Muslim. Dengan prinsip-prinsip pengelolaan listrik inilah, Indonesia dengan sumber energi primer yang melimpah terhindar dari krisis listrik berkepanjangan dan harga yang melangit. Maka, saatnya memberikan kesempatan Islam untuk menuntaskan problematika listrik nan pelik. Dan membuang jauh liberalisasi listrik yang menimpa negeri.

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa Allah menguasai hati manusia, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan.” (TQS. Al-Anfal [8]:24).


* (pemerhati sosial dan politik)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak