Sekolah Lagi Saat Pandemi, Masalah atau Solusi?



Oleh Yanti Nurhayati, S.IP. (Muslimah Peduli Umat)

Setelah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dilakukan beberapa bulan di Indonesia, namun tidak menjadikan berkurangnya pasien yang terkena virus covid 19, malah dari hari ke hari pasien covid 19 terus bertambah. Nah, kini pemerintah kembali membuat tatanan baru yaitu dengan sebutan New Normal.
Yang dimaksud dengan new normal adalah skenario untuk mempercepat penanganan COVID-19 dalam aspek kesehatan dan sosial-ekonomi. Pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana untuk mengimplementasikan skenario new normal dengan mempertimbangkan studi epidemiologis dan kesiapan regional.

"Presiden mengharapkan new normal ini diimplementasikan dengan beberapa pertimbangan," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto setelah rapat terbatas pada Senin (18/5/2020), seperti dikutip Sekretariat Kabinet.

Ketika diberlakukannya New Normal ini maka otomatis seluruh lini kehidupan dimasyarakat akan kembali berjalan seperti biasa. Salahsatunya adalah dengan dibuka kembali dunia pendidikan. Ada beberapa ketentuan yang harus dipatuhi dari WHO, ketika memberlakukan new normal, yaitu
1. Tidak menambah penularan atau memperluas penularan atau semaksimalnya mengurangi penularan.
2. Menggunakan indikator sistem kesehatan yakni seberapa tinggi adaptasi dan kapasitas dari sistem kesehatan bisa merespons untuk pelayanan COVID-19.
3. Surveilans yakni cara menguji seseorang atau sekelompok kerumunan apakah dia berpotensi memiliki COVID-19 atau tidak sehingga dilakukan tes masif

Membaca beberapa hal dari WHO yang harus dipatuhi oleh suatu negara, maka kalau kita perhatikan jumlah pasien di Indonesia belum menunjukkan penurunan, malah yg ada adalah peningkatan. Walaupun pemerintah menekankan harus mengikuti beberapa protokol kesehatan, tapi apakah anak-anak sekolah setingkat TK atau SD bisa melaksanakannya, mengingat umur mereka yang masih sangat kecil yang sangat belum paham dengan situasi yang ada.

Jakarta sebagai salah satu wilayah dengan jumlah kasus corona tinggi memiliki banyak kasus anak positif corona. Dilihat dari situs corona.jakarta.go.id, pada Minggu (31/5/2020), hingga hari ini ada 91 balita (0-5 tahun) di Jakarta tercatat positif terinfeksi COVID-19.

Data menunjukkan sebanyak 42 balita perempuan positif COVID-19. Sedangkan balita laki-laki sejumlah 49 orang.

Ada pun balita yang menjadi orang dalam pemantauan (ODP) mencapai 682 perempuan dan 681 laki-laki. Sementara pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak 159 balita perempuan, serta 210 laki-laki.

Sementara itu, kasus positif corona anak usia 6-19 tahun di Jakarta juga belum tuntas. Tercatat, sebanyak 390 anak, dengan 195 perempuan dan 195 laki-laki positif virus ini.

Jumlah ODP anak perempuan mencapai 904, sedangkan laki-laki 910 orang. Untuk PDP sebanyak 199 anak perempuan, serta 197 anak laki-laki.

Menurut Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman B Pulungan, resiko penularan virus corona pada anak memang cukup tinggi. Maka orang tua harus berperan penting mengawasi anak, terlebih jika ada kegiatan di luar rumah.

"Ada kegiatan di luar rumah yang rawan menularkan ke anak, maka perlu pengawasan," ujarnya, dikutip CNN Indonesia.

Untuk imunitas, Aman mengatakan kalau tak ada perbedaan signifikan antara anak dan orang dewasa. Meskipun virus disebut rentan terhadap orang usia lanjut, bukan berarti kondisi serupa tak terjadi pada anak-anak.

"Sama saja ya kalau bicara imunitas, tidak benar kelompok usia anak tidak rentan terhadap COVID-19," tuturnya.

Kalau kita perhatikan Situs thesun.co.uk mewartakan, pada Rabu, 27 Mei 2020, jutaan anak-anak di Korea Selatan kembali ke sekolah, namun rencana memulai kembali proses belajar-mengajar terhenti setelah ada 176 kasus baru virus corona dalam tempo tiga hari terakhir.

Kasus ini khawatir terjadi kepada anak-anak Indonesia disaat masuk tahun ajaran baru, walaupun dengan sejumlah protokol.
Sulit rasanya untuk menyambut optimis atas kebijakan pemerintah membuka sekolah lagi, sebelum benar-benar terlihat penurunan pasien terkena virus ini. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan ketidakjelasan pemerintah menangani wabah corona hingga saat ini.
Belum usai drama mudik dan pulang kampung yang dilematis, antara dilarang dan diperbolehkan, kini muncul lagi wacana pembukaan sekolah di tengah pandemi. Sontak mengundang keraguan dari berbagai pihak. Terutama para orang tua siswa yang mengkhawatirkan keamanan kesehatan anak-anak mereka.

Pemerintah terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kontroversial.
Semua kebijakan tersebut tentu muncul dari rezim ruwaibidhah. Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan umat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:

“Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, orang Ruwaibidhah berbicara. Ada yang bertanya, “Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala as-Shahihain, V/465)

Imam as-Syathibi pun menjelaskan arti Ruwaibidhah, “Mereka mengatakan, bahwa dia adalah orang bodoh yang lemah, yang membicarakan urusan umum. Dia bukan ahlinya untuk berbicara tentang urusan khalayak ramai, tetapi tetap saja dia menyatakannya.” (As-Syathibi, al-I’tisham, II/681)

Penanganan segala kasus dalam rezim dengan sistem sekuler, sungguh tidak memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, yang diambil hanya untuk kepentingan para penguasa semata. Berbeda dengan cara pandang Islam yang selalu memperhatikan kesejahteraan dan keselamatan rakyatnya dengan berbagai kebijakan dalam setiap menangani berbagai kondisi yang melanda negeri.

Sabda Rasulullah Saw., “Al-Imâm râ’in wa huwa mas`ûl[un] ‘an ra’iyyatihi (Imam/ khalifah/ kepala negara adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusan rakyatnya).” (HR al-Bukhari).

Di masa kejayaan Islam, ilmuwan mendapatkan dana penelitian yang besar dari baitulmal (lembaga keuangan negara Khilafah saat itu) dan didukung langsung oleh Khilafah, sehingga mereka bisa fokus dengan penelitian dan bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Ketika wabah smallpox melanda Khilafah Utsmani di abad ke 19 menimbulkan kesadaran di kalangan penguasa tentang pentingnya vaksinasi smallpox (cacar). Maka Sultan memerintahkan di tahun 1846 penyediaan fasilitas kesehatan yang bertugas untuk melakukan vaksinasi terhadap seluruh anak-anak warga muslim dan nonmuslim dengan menyitir fatwa ulama tentang pencegahan penyakit dan bukti empiris yang menunjukkan proteksi dari kematian.
Catatan sejarah ini menunjukkan bahwa negara berperan penting untuk melindungi kesehatan warganya dari penyakit, tanpa memandang status sosial dan keyakinannya.

Akan hadir ketenangan orangtua ketika menyekolahkan anaknya, jika negara benar-benar memberikan jaminan keamanan kesehatan untuk anak-anak jika sekolah dibuka lagi.

Hanya sistem Islam yang mampu memberikan ketenangan dan kepuasan kepada rakyatnya. Saatnya New System hadir ditengah-tengah umat, yaitu sistem Islam dengan bingkai Kekhilafahan..
Wallohualam bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak