Sekolah di Buka Saat Tinggi Kurva Corona



Oleh : Miftahhurahmah, S.Pd

"Kami putuskan perpanjang masa belajar di rumah setelah melakukan rapat bersama antara Disdikbud Kalsel, MKKS SMA, MKKS SMK serta MKKS SMP tingkat provinsi," kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadisdikbud) Provinsi Kalsel, HM Yusuf Effendi, Senin (1/6/2020).


Adapun terkait penerapan new normal, hingga saat ini masih dalam tahap wacana, Namun apabila benar diterapkan, maka sekolah akan beradaptasi, seperti mengurangi jumlah murid di dalam satu kelas dengan berbagai skema," tandasnya. (Tribunnews, 01/06/2020)


Mendengar wacana di atas seolah ada  beban tersendiri bagi orangtua dan anak didik, betapa tidak jika penerapan new normal diberlakukan di Kalsel maka sekolah akan dibuka meski dengan adaptasi yakni dalam satu kelas jumlah siswa akan dikurangi. Siapa yang bisa menjamin dengan sistem shift begitu virus itu tak akan menular? Siapa yang bisa memastikan bahwa jika jumlah siswa sedikit dalam satu kelas lalu mereka bisa tetap jaga jarak dan konsisten memakai masker?



Ada juga wacana bahwa sekolah akan dibuka dengan mekanisme tak ada jam istirahat yang rentan bagi siswa untuk berkerumun di kantin sekolah, sekali lagi siapa yang bisa memastikan dijam pelajaran guru selalu standby mengajar, hingga bisa dipastikan mereka tak akan berkerumun dalam kelas ketika pelajaran kosong?
Lalu benarkah jumlah siswa yang sedikit jumlahnya per kelas, mereka adalah siswa yang sehat semuanya, mengingat anak-anak juga berpotensi untuk membawa virus dalam tubuh mungil mereka. Dan sudah jadi rahasia umum bahwa penjagaan dan perlindungan pemerintah terhadap masyarakat sangat minim untuk penanganan kasus penyebaran virus ini, terbukti dari banyaknya rumah sakit yang kekurangan alat ventilator, laboratorium yang memeriksa  swab pasien yang minim, dan para medis yang kekurangan alat pelindung diri hingga rela memakai jas hujan atau APD berjam-jam lamanya.



Dari fakta ini, jelas bisa dibayangkan bagaimana mekanisme siswa yang masuk sekolah akan minim dalam hal pendeteksi virus dan minim pula dalam hal perlindungan seperti ada tidaknya termo gun disetiap gerbang sekolah, persediaan masker bagi anak didik yang kehilangan masker atau lupa membawa saat jam pelajaran berlangsung, ada tidaknya petugas yang senantiasa mengingatkan untuk selalu cuci tangan dan jaga jarak.
Jangan sampai siswa atau anak menjadi kluster baru dalam wabah ini, dikarenakan tiap hari mereka akan berkumpul tanpa ada jaminan pasti protokol kesehatan bisa mereka patuhi.  Namun ketika mereka harus belajar dirumah mestinya ada perbaikan sistem belajar oleh kementerian pendidikan, agar pembelajaran dari rumah juga tidak terkesan membosankan bahkan membebani anak didik dan orangtuanya. Terlebih  bagi siswa yang tinggal di pedesaan dengan keterbatasan internet.



Belajar dari rumah hendaklah di siasati dengan metode yang menyenangkan semisal belajar sambil bermain atau belajar dari alam, jangan melulu tugas.
Inilah gambaran sistem kapitalisme dalam mengatasi pandemi dipandang dari sisi pendidikan, penuh dengan pertanyaan yang muncul dibenak kita yang membuat sanksi apakah kebijakan ini sudah tepat ataukah belum.



Sementara dalam Islam sangat jelas betapa generasi muda adalah kantong masa depan yang akan terus dijaga dan di lindungi, tidak hanya perlindungan secara fisik ke mereka, namun perlindungan secara pemikiran akan terus dilakukan negara.
Terkait perlindungan fisik, jika kondisi wabah ini belum dipastikan berakhir dan belum ada obat yang ditemukan, maka anak-anak tak akan dibiarkan berkeliaran di luar dengan alasan menuntut ilmu sekalipun. Dan ketika harus belajar dirumah, negara akan memfasilitasi pembelajaran dengan maksimal sehingga tak ada kendala internet, kuota atau bahkan sinyal.
Inilah yang sejatinya diharapkan bagi generasi muda muslim. Anak-anak adalah aset dan konstruktor peradaban dunia. Jangan biarkan mereka punah sebelum waktunya, akibat pandemi, terlebih jika akibat karut-marut politik penanganannya.

Wallahu a'lam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak