Di tengah pandemi covid-19 wakil ketua badan legislasi (baleg) DPR Achmad Baidowi menunggu supres (surat presiden) untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (Republika, Sabtu 13/6/2020).
Tidak heran maka seminggu terakhir publik banyak membicarakan RUU HIP ini. Meskipun pada hari Rabu 17 Juni kemarin RUU HIP ini ditunda untuk disahkan tetapi bukan berarti RUU ini tidak akan disahkan. Masih besar peluang RUU HIP ini untuk disahkan cepat atau lambat.
Lalu, mengapa RUU HIP ini banyak ditolak tokoh dan ormas-ormas di Indonesia?
Pertama, RUU HIP tidak menguntungkan rakyat. Justru bisa dikatakan merugikan rakyat. Belum disahkan saja sudah menimbulkan perpecahan ditengah masyarakat. Apalagi jika sudah benar-benar disahkan. Dalam pasal 17 huruf b dan j RUU HIP menjelaskan pelaksanaan demokrasi ekonomi pancasila.
Di sana disebutkan pencegahan pemusatan kekuatan ekonomi pada seseorang atau kelompok tertentu tetapi ada poin yang membolehkan negara berhutang demi memperkuat ekonomi (cnnindonesia,15/6/2020).
Utang negara yang semakin banyak nanti akan dibebankan juga ke rakyat. Rakyat lagi yang akan dirugikan. Kedua, salah satu sebab terjadinya pro-kontra RUU HIP ini adalah tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang selama ini menjadi landasan Pancasila.
TAP MPRS tersebut menyebutkan bahwa komunisme adalah ideologi ideologi terlarang, ini artinya sangat memungkinkan adanya celah bagi komunis untuk eksis lagi di Indonesia. Ketiga, RUU HIP ini bisa dijadikan alat penguasa untuk menggebuk pihak-pihak yang dianggap bersebrangan dengan penguasa.
Isi dari RUU HIP bisa dimaknai penguasa sebagai penafsir tunggal Pancasila(vivanews,17/6/2020). Dengan kata lain sangat mungkin ditafsirkan siapa saja yang berbeda pendapat dengan Presiden dapat disebut tidak pancasilais, Siapa saja yang mengkritik penguasa disebut tidak pancasilais.
Tentu ini sangat berbahaya. Membuka peluang besar terjadinya rezim otoriter. Siapapun yang sedang berkuasa.
Jelaslah RUU HIP tidak layak untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Hal ini juga semakin membuktikan bahwa pemerintah membuat Undang-undang tidak menjadikan kepentingan rakyat sebagai pertimbangan utama.
Selain itu masyarakat juga harus menyadari bahwa ancaman berbahaya bagi Indonesia bukan hanya komunisme. Ada bahaya lain yang mengintai Indonesia dan tidak kalah besarnya. Bahaya itu adalah berkembangnya kapitalisme dan liberalisme yang semakin mengakar.
Jika komunis menggunakan cara revolusi berdarah-darah dalam menerapkan ideologinya dan menjadi trauma tersendiri bagi bangsa Indonesia. Maka ideologi kapitalisme punya cara imperialisme (penjajahan) dalam menyebarkan ideologinya. Hanya saja penjajahan kapitalisme saat ini berubah lebih halus sehingga tidak disadari masyarakat Indonesia.
Imperialisme gaya baru berubah dalam bentuk pemberian hutang berbunga tinggi, kepemilikan asing dalam SDA dalam negeri, dan campur tangan asing dalam sektor-sektor strategis negara. Hal-hal tersebut tanpa disadari menjadikan Indonesia belum bisa berdaulat sepenuhnya, sehingga sulit untuk mensejahterakan rakyatnya sendiri. Hal ini sangat berbeda dengan Islam.
Islam sebagai sebuah agama yang sempurna mempunyai cara sendiri dalam menyelesaikan segala permasalahan manusia. Mulai dari dari urusan terkecil sampai urusan terbesar. Mulai dari urusan masuk kamar mandi sampai urusan negara semua diatur dalam Islam. Sebagaimana firman Allah “… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Al-Maa-idah: 3].
Islam berasal dari Allah SWT yang Maha Sempurna. Hal ini tentu berbeda dengan manusia yang bersifat lemah meskipun manusia telah dikaruniai akal. Tapi akal manusia sangat terbatas, masih sangat mungkin melakukan kesalahan. Maka produk aturan hasil akal manusiapun pasti terbatas. Mengapa tidak untuk menggunakan aturan Islam yang telah sempurna? Bahkan aturan Islam sangat komprehensif dan terintegrasi dalam menjelaskan penyelenggaraan negara dan telah terbukti bisa mewujudkan keutuhan, keadilan, dan kesejahteraan.
*Anggota Cendekia Politika Institut
Tags
Opini