Oleh: Yuli Ummu Raihan
Member AMK dan Pemerhati Masalah Publik
Leni Yurleini (54) asal Kota Tasikmalaya, Jawa Barat harus ikhlas, impiannya bersama suami dan dua saudaranya untuk menjadi tamu Allah di Baitullah tahun ini terpaksa ditunda, karena pemerintah Indonesia melalui Kementrian Agama telah memutuskan tahun ini sebanyak 221 ribu calon jamaah haji asal Indonesia tidak akan berangkat. Pernyataan ini dikeluarkan dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) No 494/2020 tentang pembatalan haji.
Leni sudah mendaftar sejak tahun 2012 silam, segala persiapan sudah dipersiapkan. Meski kecewa, sedih dan sedikit terbebani dengan berbagai pertanyaan dari tetangga tentang pembatalan ini, Leni menganggap ini pasti bagian dari rencana Allah.
Menjadi tamu Allah Swt memang impian semua kaum Muslim, baik yg belum atau yang sudah pernah datang ke sana. Demi bisa berangkat haji banyak orang yang telah menabung jauh-jauh hari dan melangitkan doa.
Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan, jamaah haji tahun 2020 akan diberangkatkan tahun depan. Resikonya jamaah tahun 2021 juga akan mundur ke tahun setelahnya. Fachrul Razi berjanji akan mengusahakan penambahan kuota haji. Kebijakan pembatalan haji ini mendapat beragam komentar dari masyarakat dan pejabat. Salah satunya dari anggota Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto. Ia menilai pembatalan ini terburu-buru. Ia juga memprotes Menteri Agama karena mengumumkan pembatalan haji sebelum raker. Raker sendiri ditunda hingga 4 Juni karena menunggu izin Pimpinan DPR karena dilakukan di tengah masa reses.
Masalah haji ini diatur dalam UU No. 8 Tahun 2019 yang mana pemerintah tidak boleh memutuskan sepihak.
Menteri Agama mengatakan telah meminta saran hukum dari Kementrian Hukum dan HAM tentang kewenangan pembatalan haji pada tanggal 25 Mei lalu. Dia meminta saran karena pembatalan haji akibat pandemi ini adalah hal baru. Kemenkumham secara tertulis menjawab bahwa pembatalan ibadah haji ini adalah wewenang Menteri Agama.
Permasalahan haji ini hanya satu dari sekian masalah yang muncul akibat penerapan sistem kapitalisme. Seperti yang kita ketahui, untuk bisa berangkat haji maka calon jamaah haji harus menyetorkan sejumlah uang untuk mendapat jatah kursi haji, dan menyicilnya dalam jangka waktu tertentu. Uang yang disetorkan inilah yang dijadikan dana talangan haji. Sehingga seseorang bisa berangkat haji asal sudah mendapat kursi, bahkan bisa menyicil setelah kembali dari tanah suci. Antusias umat Islam akan rukun Islam ke lima ini sangat besar. Maka, menjamurlah lembaga keuangan yang membuat program haji, bertebaran biro perjalanan haji dan umrah baik yang bekerja dengan hati, atau hanya sekedar mencari keuntungan materi.
Maka, setiap orang berlomba untuk mendaftar haji, bahkan anak kecil yang belum mengerti hakikat haji pun banyak yang didaftarkan orangtuanya. Akibatnya mengularlah antrian jamaah haji setiap tahunnya.
Tidak sedikit calon jamaah haji yang batal berangkat karena keburu meninggal dunia, dan usia yang sudah lanjut dan sangat beresiko jika tetap memaksakan diri berangkat ke tanah suci. Inilah salah satu penyebab tingginya angka kematian jamaah haji selain sudah qada Allah Swt.
Pemerintah beralasan pembatalan ini karena belum ada kepastian dari pemerintah Arab Saudi tentang pembukaan akses ke tanah suci apalagi masih suasana pandemi. Keselamatan rakyat dianggap lebih utama. Pemerintah juga belum memiliki persiapan yang matang jika tetap memberangkatkan para calon haji tahun ini. Terlihat sekali negera tidak mampu memberi pelayanan terbaik bagi rakyatnya meski sudah membayar kepada negara. Apalagi jika kita berharap mendapat pelayanan terbaik secara cuma-cuma.
Menteri Agama juga mengatakan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang telah dilunasi jamaah haji reguler dan khusus akan disimpan dan dikelola terpisah oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Nilai manfaat dari setoran ini akan dilunasi 30 hari jelang pemberangkatan haji tahun depan dimulai. Semua Petugas Haji Daerah (PHD) otomatis juga dibatalkan.
Sempat ada kekhawatiran dana haji yang per Mei 2020 mencapai Rp135 triliun ini akan dipakai untuk memperkuat rupiah dan penanganan pandemi. Tapi ini dibantah langsung oleh Kepala Badan Pelaksana BPKH Anggito Abimanyu dalam konten Youtube AaGym Official pada Minggu, 7/6/2020. Menurutnya dari dana tersebut Rp132 triliun merupakan setoran awal dan nilai manfaat, lalu Rp3,4 triliun berupa Dana Abadi Umat (DAU).
Dana ini rencananya akan diinvestasikan dalam bentuk membangun hotel dan katering di Arab Saudi. Diharapkan dana haji ini akan bertumbuh, tetap aman, dan mampu menjamin pelaksanaan haji. Dari investasi ini akan didapat nilai tambah yang akan menghasilkan uang dan peningkatan pelayanan haji bagi jamaah haji Indonesia. Namun, menurutnya semua ini belum bisa luwes dilakukan karena ada beberapa pihak yang tidak setuju dana umat ini diotak-atik. Perlu sosialiasi agar masyarakat paham dan memaklumi dana haji ini diinvestasikan.
Kekhawatiran beberapa pihak ini tentu memiliki alasan. Apalagi kita mengetahui watak sistem demokrasi yang mengutamakan keuntungan materi di atas segalanya.
Dana haji yang begitu besar tentu rentan disalahgunakan. Budaya korupsi di negeri ini begitu mengurita. Negara berhitung untung rugi dalam pelayanan pada rakyat. Serta kondisi ekonomi Indonesia yang karut-marut di tambah pandemi yang tidak kunjung reda.
Tidak ada jaminan dana umat ini akan benar-benar tumbuh, dan tetap aman. Siapa yang menjamin pelaksanaan haji akan bisa berjalan lancar ketika negara terbelit masalah ekonomi.
Pandemi memang masih menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh dunia termasuk Indonesia. Secara syariat Islam mubah saja menunda pelaksanaan haji jika disertai alasan syar'i. Menghindari mudarat lebih baik karena virus seribu wajah ini masih dan terus menjangkiti dunia. Belum adanya vaksin sebagai upaya pencegahan dan kesulitan mendeteksi orang-orang yang terpapar menjadi alasan yang logis jika pelaksanaan haji dibatalkan.
Sejarah juga mencatat tahun 1814 pelaksanaan haji ditunda karena wabah Tha'un, 1892 batal karena wabah Kolera, 1987 karena wabah Meningitis. Indonesia sendiri juga pernah juga membatalkan pelaksanaan haji pada tahun 1947 karena masa perang dan 1948 akibat Agresi Militer Belanda.
Hanya saja, benarkah ini semata karena pandemi, atau ada sisi politis lainnya?
Dunia telah menerapkan New Normal Life, maka kenapa tidak diupayakan tetap melaksanakan haji dengan beberapa ketentuan protokol kesehatan. Kenapa tidak dibatasi saja, sehingga antrian jamaah haji tidak semakin panjang. Memberikan prioritas pada jamaah yang sudah belum pernah berangkat haji, memeriksa dan memastikan hanya jamaah yang sehat yang akan tetap berangkat, sementara jamaah yang beresiko tinggi seperti lansia dan anak ditunda ke tahun depan. Mengapa kehidupan normal baru hanya diterapkan pada sektor ekonomi, pendidikan, budaya dan lainnya. Mengapa pelaksanaan haji tidak bisa diatur dengan memperhatikan protokol kesehatan.
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah Swt, bagi orang yang mampu. Mampu melakukan perjalanan ke Baitullah, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Ali Imran ayat ke 97, tanpa disertai alasan ('illat) dengan waktu, tempat dan tatacara yang telah ditetapkan. Ibadah haji juga mengandung banyak hikmah di balik pelaksanaannya. Allah Swt berfirman dalam surat al-Hajj ayat 27: "Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka...."
Menurut Ibnu Abbas manfaat yang bisa diraih adalah manfaat dunia dan akhirat. Manfaat di dunia adalah keuntungan dari pelaksanaan kurban dan keuntungan perdagangan, sementara di akhirat mendapat pahala dan keridaan Allah Swt. (Ibn Katsir, Tafsir Alquran al-'Adzim, Juz V/365).
Dari sisi politis, ibadah haji ini adalah momen persatuan umat Islam. Wukuf di 'Arafah sebagai rukun haji yang paling utama yang mempertemukan seluruh jamaah haji dari berbagai penjuru dunia. Di momen ini semua menyatu, tidak ada lagi suku, warna kulit, bahasa, strata sosial dan yang lainnya. Semua sama yaitu umat Islam, kedudukan mereka sama sebagai hamba Allah yang beribadah pada Rabb-Nya.
Pemandangan agung inilah yang dibanggakan Allah Swt kepada para malaikat-Nya. Pada momen inilah umat Islam bisa menyampaikan pengaduan dan muhasabah pada khalifah. Sebaliknya khalifah juga bisa memanfaatkan momen haji ini untuk bertanya tentang periayahannya langsung pada masyarakat. Mendengar keluh kesah dan aspirasi rakyatnya. Momen haji juga menjadi sarana dakwah Islam melalui kutbah-kutbah. Haji juga bisa menjadi sarana untuk belajar dan meminta fatwa kepada para ulama.
Dari pelaksanan haji ini diharapkan membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi jamaah dan masyarakat serta negara. Bukan sekedar ritual tahunan semata.
Semua ini akan bisa terlaksana jika pengaturan haji dilakukan oleh sebuah negara sekelas khilafah, bukan seperti saat ini yang diserahkan pada kebijakan masing-masing negara.
Negara Khilafah akan mengatur sedemikian rupa agar pelaksanaan haji bisa berjalan dengan baik. Diantaranya, membuat departemen khusus yang menangani masalah haji dan umrah. Departemen ini akan mengurusi segala persiapan, pemberangkatan, bimbingan bagi jamaah selama di tanah suci, kesehatan, konsumsi jamaah, penginapan, dan yang lainnya sampai kepulangan para jamaah ke tempat asalnya.
Negara Khilafah akan memudahkan setiap orang yang sudah mampu, dan sanggup melakukan perjalanan ke tanah suci. Ongkos Naik Haji (ONH) akan dihitung berdasarkan jarak tempat tinggal jamaah dengan tanah suci. Negara menyediakan sarana transportasi baik darat, laut, dan udara yang nyaman dan aman serta harganya terjangkau. Sehingga, biaya yang dikeluarkan para jamaah tidak akan terlalu besar. Semua ini karena negara menjalankan fungsinya sebagai pelayan rakyat. Bukan menjadikan haji dan umrah sebagai lahan bisnis, menggunakan dana haji sebagai investasi dan menggunakannya untuk hal lain yang tidak berhubungan dengan haji.
Negara Khilafah merupakan rumah bersama bagi umat Islam di seluruh dunia. Maka, untuk melaksanakan haji tidak memerlukan visa karena masih satu wilayah kekuasaan.
Negara Khilafah juga akan mendata semua rakyatnya sehingga bisa mengatur kuota haji dan umrah. Karena kewajiban haji hanya sekali seumur hidup, maka yang sudah pernah didorong untuk memberi kesempatan pada yang lainnya.
Negara Khilafah juga akan membangun sarana dan prasarana pendukung di Mekah dan Madinah. Memperluas area pelaksanaan haji tanpa merusak dan menghilangkan situs bersejarah. Menyediakan semua logistik yang diperlukan, dan memberi pelayanan kesehatan pada semua jamaah haji.
Memastikan seluruh jamaah bisa melaksanakan haji dan umrah dengan baik dan benar.
Inilah pelaksanaan haji yang kita impikan. Bukan hanya sekedar ritual ibadah apalagi sekedar wisata religi. Semoga Pandemi ini segera berakhir sehingga mimpi kita semua untuk bisa beribadah di tanah suci segera terwujud aamiin. Wallahu a'lam bishawab.