Oleh: Latifah
Media sosial sudah menjadi kebutuhan di era sekarang, digitalisasi memberi dorongan pada perubahan tak terkecuali bagi penggunanya seperti digitalisasi kegiatan jual beli, melakukan komunikasi jarak jauh, bertukar informasi, melihat informasi dan lainnya.
Media sosial banyak memberikan sisi positif, namun juga memberikan sisi negatif, seperti terlihat dari perbuatan yang tidak selayaknya dipertontonkan namun dengan mudah di upload dan disebar tanpa batasan.
Kasus tontonan muslimah yang berpakaian syar’i namun berperilaku tidak pantas, menanggalkan rasa malu, men cemarkan nama baik dan meruntuhkan agama serta Negara, karena wanita merupakan tiang agama.
Jikalau wanita baik maka baik pula negara dan sebaliknya.
Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu (HR. Ibnu Majah).
Dari hadits tersebut dapat diketahui bahwasanya malu diperlukan dalam kehidupan terkhusus untuk bermedia sosial. Media sosial merupakan sebuah media berbasis kecanggihan teknologi dan sudah umum digunakan sekarang.
Malu bukan berarti untuk malu-maluin tapi malu disini dalam versi agama. Al-hayya (malu) dalam bahasa arab berarti sikap menahan diri dari berbuat suatu keburukan. Menurut Fadhulullah Al-Jailani, malu adalah perubahan yang menyelubungi seseorang lantaran khawatir kepada sesuatu yang tercela, sesuatu yang sejatinya buruk.
Berdasarkan kepada siapa rasa malu dibagi menjadi tiga bagian yaitu malu kepada Allah, malu kepada manusia dan malu kepada diri sendiri.
Hilangnya rasa malu sungguh bencana, maka selaku pengguna media sosial selayaknya agamalah yang mengatur pola pikir dan pola sikap terkhusus muslimah.
Pengaturan bermedia sosial bukan hanya diserahakn pada individu tapi juga kepada Negara guna menciptakan media sosial yang berstandar hukum syara. Wallahu’alam bissawab.[]
*)Seorang Remaja Muslimah