Sri Gita Wahyuti A. Md
Aktivis Pergerakan Muslimah dan Member AMK
Bing beng bang yok kita ke bank
Bang bing bung yok kita nabung
Tang ting tung hey jangan dihitung
Tahu-tahu kita nanti dapat untung
Lirik lagu anak-anak era 80-90an, seolah terngiang kembali, disebabkan adanya Peraturan Pemerintah (PP) no 25 tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat atau PP Tapera. Dimana seluruh pekerja negeri ini wajib menjadi peserta, dari pegawai negeri sipil (PNS) dan aparatur sipil negara (ASN), juga dari seluruh pekerja swasta dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum. Tabungan akan diambil dari gaji pekerja sebanyak 3% tiap bulannya, ditanggung bersama oleh peserta sebesar 2,5% dan 0,5% oleh pemberi kerja (perusahaan).
Dalam PP Tapera pasal 15 ayat 2 peserta dan pemberi kerja wajib membayarkan iuran tersebut selambat-lambatnya tanggal 10. Status kepesertaan Tapera pekerja akan berakhir jika telah memasuki masa pensiun, bagi pekerja mandiri jika telah mencapai usia 58 tahun, peserta meninggal dunia, atau tidak memenuhi lagi kriteria kepesertaan.
Bagi peserta yang berakhir kepesertaannya berhak memperoleh pengembalian simpanannya tersebut.
Tabungan adalah simpanan uang yang berasal dari pendapatan yang tidak digunakan untuk keperluan sehari-hari atau kepentingan lain. Dapat digunakan dan diambil kapan saja tanpa terikat perjanjian dan waktu. Namun, Direktur Jenderal (Dirjen) Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR, Eko Djoeli Heripoerwanto mengatakan “Tapera adalah gotong royong, bentuknya tabungan wajib. Yang dimaksud dengan gotong royong artinya, yang bisa memanfaatkan adalah masyarakat tertentu, tidak semua peserta.” katanya pada konferensi pers virtual “Manfaat Tapera untuk Pekerja” pada Jumat, (5/6/2020) di Jakarta.
Di tengah kondisi pandemi yang belum juga reda, rakyat pun masih dalam keadaan menderita akibat tidak adanya jaminan dari pemerintah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari selama work from home dan stay at home, pemerintah malah berusaha mencari celah menambah beban ekonomi rakyatnya. Walaupun prinsip dari Tapera ini adalah gotong royong, tetapi dalam beberapa hal tetap patut untuk dikritisi.
Jika benar prinsipnya gotong royong, mengapa harus ada iuran wajib? Mengapa dana iuran wajib itu baru bisa cair jika peserta meninggal atau sudah memasuki usia pensiun? Bagaimana bila peserta membutuhkan tabungan sebelum jangka waktu tersebut?
Terlebih dalam Pasal 38 Nomor 25 Tahun 2020 menyebutkan bahwa tidak semua peserta Tapera bisa menikmati manfaat kepemilikan rumah meski rutin membayar iuran. Syarat mendapatkan skema pembiayaan dari BP Tapera jika sudah memiliki masa kepesertaan minimal 1 tahun. Ini tentu saja menyalahi definisi tabungan secara umum.
Dengan adanya PP Tapera, Gaji pegawai dan pekerja tentu saja jumlahnya kian menyusut karena sebelumnya pun sudah dipotong beraneka pajak dan iuran. Seperti pajak penghasilan, BPJS Kesehatan, Jaminan Pensiun, Jaminan Hari Tua dll. Ini menunjukkan betapa jiwa sosial dan kepedulian pemerintah terhadap kondisi rakyat sangat rendah. Di sisi lain, dengan simpanan yang begitu panjang, bukankah Tapera berpotensi menjadi lahan baru untuk korupsi?
Ini sangat berbeda dengan Islam. Dalam Islam, Pemimpin itu adalah pengayom dan pelayan rakyat. Tugasnya adalah mengurus urusan rakyat. Termasuk di dalamnya mengurus urusan perumahan yang menjadi kebutuhan dasar. Bukan mengeruk keuntungan dari rakyat.
Sudah semestinya penyelenggara perumahan rakyat sepenuhnya menjadi tanggungan negara. Tanpa kompensasi, tanpa iuran wajib.
Begitulah kepemimpinan negara dalam sistem kapitalisme, perannya dikalahkan oleh berbagai intrik politik dan kepentingan. Hanya Islam satu-satunya harapan. Dengan penerapan syariat Islam, fungsi negara bisa kembali normal.
Wallahualam bishshawwab
Tags
Opini