Oleh : Sifa Amalia N
(Aktivis Mahasiswi, Pemerhati Kebijakan Publik)
Di tengah kelumpuhan perekonomian, kenaikan tarif dasar listrik dan iuran bpjs, serta kekhawatiran akibat pandemi covid-19 ini muncul kembali kebijakan yang menambah beban rakyat. Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) ini sukses menggenjot keuangan rakyat.
Pasalnya, Besaran Simpanan Peserta ditetapkan sebesar 3 persen. sebanyak 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja dan sisanya sebesar 2,5 persen ditanggung oleh pekerja yang diambil dari gaji pegawai. Peserta dana Tapera di PP itu disebut terdiri dari pekerja dan juga pekerja mandiri. Golongan pekerja yang dimaksud meliputi calon PNS,anggota TNI Polri dan pekerja dari perusahaan swasta. Sedangkan pekerja mandiri menjadi peserta dengan mendaftarkan diri sendiri kepada BP Tapera. Jika peserta mandiri tidak membayar simpanan, maka status kepesertaan Tapera dinyatakan non-aktif. (viva.co.id, 4/6/20)
kepesertaan di BP Tapera pekerja akan berakhir jika telah memasuki masa pensiun bagi yaitu 58 tahun bagi pekerja mandiri, peserta meninggal dunia, atau peserta tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama lima tahun berturut-turut. Bagi peserta yang berakhir kepesertaannya berhak memperoleh pengembalian simpanan dan hasil pemupukannya, paling lambat tiga bulan setelah masa kepesertaannya dinyatakan berakhir.
Ilusi Tabungan Penderitaan Rakyat
Melihat PP TAPERA ini memang banyak terjadi pro kontra sehingga patut dikritisi. Setidaknya dalam beberapa poin berikut:
Pertama, iuran yang memberatkan.
Gaji pegawai dan pekerja itu sudah dipotong dengan berbagai iuran. Mulai dari pajak penghasilan, BPJS Kesehatan, Jaminan Pensiun, Jaminan Hari Tua (JHT), dan terbaru iuran Tapera. Hal ini semakin menyusut gaji pegawai negeri dan para pekerja berkali-kali. Terlebih gaji itu dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan bahkan keamanan. Bertambah dan berlipatlah beban ekonomi rakyat.
Begitu pula para pengusaha di Jakarta, mereka telah menyampaikan keberatan atas PP ini. “Tapera justru dianggap semakin membebani pengusaha dan pekerja. Apalagi bisnis saat ini sedang terpuruk. Bahkan pengusaha di DKI mengusulkan PP ini dicabut saja. untuk membayar tanggungan BPJS karyawan saja susah. Apalagi jika ditambah Tapera, mereka angkat tangan. Ia meminta harusnya pemerintah memberikan dukungan agar para pengusaha bisa segera bangkit. Bukan malah memberikan beban.” Tutur Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta Sarman Simanjorang (kompas, 4/6/20)
Kedua, berpotensi menjadi lahan baru korupsi.
Amburadulnya lembaga penyelenggara kesehatan (BPJS) Kesehatan semestinya menjadi pelajaran. Bukan malah membuka peluang muncul masalah baru. Dengan simpanan yang panjang, siapa yang bisa menjamin dana Tapera tenang di tempatnya? Ini berpotensi menjadi lahan basah baru.
Ketiga, kepekaan sosial penguasa yang rendah.
Di Terbitkannya PP ini di tengah wabah menunjukkan betapa kepekaan pemerintah sangat rendah. Pemerintah dengan mudahnya menarik iuran yang menambah beban hidup rakyat yang makin berkecamuk di tengah perekonomi yang kian melemah. Pemimpin itu tugasnya adalah mengurusi rakyat, bukan malah memalak dan memeras uang rakyat.
Islam yang meriayah
Dalam Islam, pemimpin itu hadir memberi layanan sebaik mungkin. Sebab, tugasnya adalah mengurus urusan rakyat. Amanah itu harus dijalankan karena tanggungannya dunia dan akhirat. Seorang pemimpin yang bertakwa tak akan menyalahi tugasnya. Ia bahkan tak akan berani membebani rakyat dengan beban sekecil pun.
Mereka akan mengelola keuangan sesuai dengan pandangan Islam. Pemimpin yang beriman akan mencari dana sesuai ketentuan syara. Ia akan mendapatkan pemasukan utama dari mengelola SDA yang ada. Yaitu dari fa’i dan kharaj seperti ghanimah, jizyah, status kepemilikan tanah, dan dharibah. Bukan hanya dengan mengandalkan pajak dan pungutan lainnya. Itulah kepemimpinan Islam. Hanya dalam penerapan syariat Islam, fungsi negara bisa kembali normal di tengah keabnormalan kehidupan yang berasaskan hukum buatan manusia hari ini.