Polemik RUU HIP dan Degradasi Ketuhanan di Indonesia



Oleh : Indri Ngesti R
 
RUU HIP yang diharapkan menjadi pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun kebijakan Pembangunan Nasional dipelbagai bidang justru memuat banyak polemik Salah satu yang mengemuka karena celah keterbukaan terhadap berkembangnya komunisme.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menduga Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) ingin melumpuhkan unsur Ketuhanan pada sila pertama Pancasila secara terselubung dan berpotensi membangkitkan komunisme. MUI mengatakan unsur-unsur dalam RUU HIP mengaburkan dan menyimpang dari makna Pancasila, salah satunya bagian Trisila dan Ekasila yang dinilai sebagai upaya memecah Pancasila.
Dalam Pasal 7 RUU HIP dituliskan:

(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.

(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
"Memeras Pancasila menjadi Trisila lalu Ekasila yakni 'gotong-royong' adalah nyata-nyata upaya pengaburan makna Pancasila sendiri," kata MUI, mengutip maklumat MUI Pusat dan MUI se-provinsi Indonesia, Jumat (12/6)."Dan secara terselubung ingin melumpuhkan keberadaan sila pertama," 

MUI juga mempertanyakan dan memprotes tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam draf RUU. MUI mengingatkan keberadaan RUU HIP bisa jadi merupakan upaya PKI menghapus citra buruknya dalam sejarah Indonesia, sehingga mereka menilai RUU tersebut wajib ditolak tanpa kompromi.

"Kami pantas mencurigai bahwa konseptor RUU HIP ini adalah oknum-oknum yang ingin membangkitkan kembali paham dan Partai Komunis Indonesia. Dan oleh karena itu patut diusut oleh yang berwajib," kata mereka.

Merespons isu kontroversial, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan pemerintah akan menolak pembahasan RUU HIP jika aturan tersebut memeras Pancasila dan membuka pintu terhadap paham komunisme."Pemerintah akan menolak jika usulan memeras Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila," tegas Mahfud, Sabtu (13/6). (CNNIndonesia, 15/06/2020)

Meski pembahasannya ditunda, tidak berarti pembahasan tentang aspek ideologi ini selesai. Bahaya laten yang dihadapi  Indonesia tidak semata datang dari RUU ini, namun justru ruh yang melahirkan RUU ini yang harus lebih diwaspadai. Ancaman terbesar yang patut diwaspadai adalah berkembangnya  kapitalisme dan liberalisme yang makin mengakar di sektor strategis umat. 

Akibat kapitalisme dan liberalisme lahirlah banyak RUU dan kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Masih lekat dibenak kita dengan lahirnya UU Penanaman Modal Asing (PMA), UU Minerba, dan UU Kelistrikan yang menyebabkan masyarakat tercekik tarif listrik yang tinggi, Kebijakan kenaikan iuran BPJS di tengah Pandemi serta produk kebijakan lain yang tidak berpihak pada rakyat.

Tidak hanya itu, kapitalisme dan liberalisme juga berusaha berkonfrontasi dengan ajaran Islam yang mulia. Mereka mencoba head to head dengan umat Islam dengan menciptakan berbagai kericuhan pemikiran. Berusaha menyandingkan ajaran Islam yang mulia yaitu Khilfah dengan Komunisme, dan paham isme lainnya, padahal Khilafah adalah wahyu Allah yang mulia. Bertindak keras pada ormas Islam yang berusaha meluruskan haluan negara, dan bertindak lembut pada asing dan aseng yang jelas bertujuan menjajah dan menghancurkan negara. 

Tidak ada pilihan lain dari negeri ini untuk mengatasi berbagai problematika yang ada kecuali menghadirkan Islam sebagai sistem kehidupan. Islam sebagai sistem kehidupan bukanlah sistem yang lahir dari produk akal manusia yang terbatas. Sistem Islam dibangun berdasarkan wahyu dan dilandasi oleh aqidah Islam. Aqidah Islam meyakini bahwa Allah adalah Al Khaliq (Pencipta) yang menciptakan segala sesuatu, sekaligus sebagai Al Mudabir (Pengatur)  yang memberikan aturan dalam setiap apa yang diciptakan. 

Oleh karenanya sistem Islam (Khilafah) dalam memproduksi aturannya tidak akan memperturutkan hawa nafsu penguasa (pemimpin), namun berlandaskan wahyu yang Allah SWT turunkan. Karena aturan bersumber dari Allah yang merupakan Al Khaliq dan Al Mudabir maka sebuah keniscayaan aturan tersebut tidak akan menyalahi eksistensi manusia. Aturan yang ada akan menjaga eksistensi manusia sesuai fitrahnya. Sumber aturan Islam yaitu Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas akan menjadi pedoman dalam melahirkan setiap peraturan negara.

Siapakah yang lebih memahami ciptaannya jika bukan sang pencipta ? Maka sudah saatnya kita mengarahkan pandangan dan perjuangan menuju terwujudnya sistem Islam yang membawa rahmat keseluruh alam yaitu Khilafah. Dengan Khilafah produk UU dan kebijakan yang menyengsarakan rakyat akan diganti dengan Dustur serta Qonun yang berdasarkan wahyu Illahi yang membawa keridhaan Allah, sehingga kehidupan bernegara akan penuh kebarokahan. InsyaAllah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak