Isu tersebut pun segera dibantah oleh Kepala Badan Pelaksana BPKH, Anggito Abimanyu. Ia memberikan klarifikasi terkait dana haji tersebut ia menyatakan bahwa "Pernyataan tersebut adalah bagian dari ucapan silaturahmi secara online kepala BP-BPKH kepada Gubernur dan jajaran Deputi Gubernur BI," jelasnya. (Detikfinace.com, 03/06/2020).
Isu penyalahgunaan dana haji yang jumlahnya fantastik itu bukanlah kali pertama. Sebelumnya, tahun 2017 di awal pembentukan BPKH, Presiden Jokowi menyatakan agar dana haji yang terkumpul bisa dioptimalkan untuk kepentingan infrastruktur seperti jalan tol atau pelabuhan. Begitu juga banyak pejabat yang tersandung kasus korupsi dana haji, seperti Mantan Menteri Agama, Suryadarma Ali, Menteri agama era SBY.
Akar Masalah Polemik Pembatalan Haji
Polemik pembatalan pemberangkatan haji bukan sekedar terletak pada keputusan pemerintah membatalkan haji karena adanya wabah, akan tetapi paradigma penguasa yang menjadikan haji sebagai komoditas ekonomi, dan ini yang patut dikoreksi.
Diakui atau tidak, faktanya negeri ini mengambil sistem kapitalis sekuler sebagai pijakan dalam berbagai kebijakan. Terlihat dari adanya pemisahan agama dalam urusan bernegara. Agama hanya boleh dilaksanakan di ranah privat, tidak boleh dibawa ke ranah publik. Bila ada yang membawa agama ke ranah publik, siap-siap dituduh fanatik, radikal, ekstrimis, intoleran, dll. Namun, bagian dari agama yang mengandung kemanfaatan materi seperti zakat dan haji, ini begitu sangat diperhatikan bahkan sampai dibuat lembaga yang fokus dalam mengurusi dana tersebut hingga dana haji diutak atik karena menggiurkan.
Seperti inilah potret penguasa dalam sistem kapitalis sekuler ketika mengeluarkan kebijakan, yakni menghalalkan segala cara demi mendapatkan keuntungan semata.
Berbeda dengan sistem Islam, dalam Islam, sebuah negara merupakan institusi yang memiliki tugas untuk mengatur seluruh urusan umat. Kepentingan rakyat menjadi hal utama dan pertama untuk diselesaikan. Para pemimpinnya pun memiliki sifat amanah karena landasannya ialah keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Negara dalam sistem Islam akan memberikan ruang yang besar bagi individu untuk dapat menunaikan kewajibannya kepada Allah SWT.
Proses beribadah pun akan dipermudah. Setiap orang mendapatkan kesempatan yang sama untuk beribadah dan akses yang mudah untuk dapat memenuhi kewajiban beribadah kepada-Nya.
Islam juga tidak akan membiarkan penyelewengan terhadap dana yang diperuntukan bagi pelaksanaan ibadah digunakan untuk hal yang lain apalagi berdalih untuk penguatan perekonomian, karena dalam Islam seluruh pos bagi perekonomian negara sudah memiliki ruang masing-masing yang disimpan di dalam baitul mal dan diatur sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing pos tersebut.
Manajemen Pengelolaan Haji Dalam Sistem Islam
Negara dalam sistem Islam akan menempuh beberapa kebijakan dalam pengaturan masalah ibadah haji, (mediaumat.com, 31/10/2012). Yaitu:
Kebijakan Pertama, membentuk departemen khusus Haji dan Umrah dari pusat hingga ke daerah. Karena hal ini berkaitan dengan masalah administrasi, urusan tersebut bisa didesentralisasikan, sehingga memudahkan calon jamaah haji dan umrah.
Kebijakan kedua pemerintah dalam sistem Islam akan menetapkan besar dan kecilnya ongkos naik haji (ONH) sesuai kebutuhan jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan tanah Haram, serta akomodasi yang dibutuhkan selama haji. Dalam penentuan ONH ini paradigmanya adalah pelayanan urusan Haji dan umrah bukan paradigma bisnis untung dan rugi, apalagi menggunakan dana Haji untuk investasi.
Kebijakan Ketiga yaitu penghapusan visa Haji dan Umrah. Hal ini terkait dengan hukum syara’ tentang kesatuan wilayah yang berada dalam satu Negara. Seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor.
Kebijakan Keempat yaitu pengaturan kuota Haji dan Umrah agar tidak ada kendala keterbatsan tempat bagi jamaah. Sistem Islam juga mengatur terkait kewajiban Haji dan Umrah yang hanya berlaku sekali dalam hidup, dan juga berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat serta kemampuan.
Pengaturan kuota bisa berdasarkan dalil bahwa kewajiban haji dan umroh hanya sekali seumur hidup. “Rasulullah saw pernah berkhotbah di hadapan kami dan berkata: ”Allah telah mewajibkan haji pada kalian.” Lantas Al Aqro, ia berkata, “Apakah haji tersebut wajib setiap tahun?” Beliau berkata, “Seandainya iya, maka akan kukatakan wajib (setiap tahun). Namun haji hanya wajib sekali. Siapa yang lebih dari sekali, maka itu hanyalah haji yang sunah.” Dikeluarkan oleh yang lima selain Imam Tirmidzi. (HR. Abu Daud no. 1721, Ibnu Majah No. 2886, An Nasai no.2621, Ahmad 5:331. Al Hafidz Abu Tahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Selanjutnya, kuota pun bisa diatur berdasarkan dalil bahwa kewajiban haji hanya berlaku bagi yang mampu.
Sehingga yang belum mampu tidak usah mendaftar karena belum terkena taklif hukum. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Ali ‘Imran: 97)
Kebijakan kelima Pembangunan infrastruktur Makkah-Madinah, mulai dari perluasan Masjidil Haram, Masjid Nabawi, hingga pembangunan transportasi massal dan penyediaan logistik bagi jamaah haji dan umrah.
Namun, harus dicatat, perluasan dan pembangunan ini tidak akan menghilangkan situs-situs bersejarah, karena situs-situs ini bisa membangkitkan kembali memori jamaah haji tentang perjalanan hidup Nabi dalam membangun peradaban Islam, sehingga bisa memotivasi mereka.
Demikianlah negara dalam sistem Islam mengatur kepentingan masyarakat termasuk dalam hal ini pelayanan dalam pelaksanaan ibadah haji. Terlebih di tengah pandemi yang membutuhkan keseriusan dan kesungguhan demi terlaksananya kepentingan itu sendiri.
Wallahua’alam bi shawab.
Tags
Opini