Oleh : Amallia Fitriani
Pemerintah memutuskan untuk membatalkan pemberangkatan jamaah haji tahun ini. Keputusan tersebut disampaikan Menteri Agama Fachrul Razi, ia mengatakan kebijakan ini diambil karena pemerintah harus mengutamakan keselamatan jamaah di tengah pandemi Covid-19 yang belum selesai. Selain soal keselamatan, kebijakan pembatalan diambil karena Arab Saudi belum membuka akses layanan penyelenggaraan ibadah haji 2020. Hal itu membuat pemerintah tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan persiapan dalam pelaksanaan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada jamaah. (Republika.co.id, 03/06/2020)
Jelas pembatalan ini menuai polemik ditengah publik, banyak pihak menyayangkan sikap Kemenag yang seolah tergesa-gesa memutuskan hal demikian. Pasalnya pihak Arab Saudi sendiri belum memutuskan perihal ada tidaknya ibadah haji tahun ini. Akibatnya, selain semakin panjangnya daftar tunggu calon jemaah, sanksi, dan kuota yang akan diberikan negara Saudi di waktu mendatang bisa jadi berkurang.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua MPU Aceh (Majelis Permusyawaratan Ulama), Tgk Faisal Ali berpendapat bahwa pemerintah Indonesia agak terlalu cepat mengambil tindakan dengan meniadakan haji, Ia mengatakan jika memang Arab Saudi sudah memutuskan haji dibatalkan tahun ini, memang sudah seharusnya Indonesia juga tidak mengirimkan jemaah haji. Namun yang terjadi saat ini belum ada pernyataan dari Arab Saudi. Ia berharap Arab Saudi tetap menyelenggarakan haji meski dengan jumlah jamaah yang dikurangi. (Cnnindonesia.com, 03/06/2020).
Hal senadapun disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj, menilai pemerintah terburu-buru dalam memutuskan pembatalan ibadah Haji 2020. Seharusnya pemerintah menunggu pernyataan resmi dari Arab Saudi terkait penyelenggaraan ibadah haji. (liputan6.com, 6/6/2020).
Imbasnya, pasca keputusan pembatalan pemberangkatan ibadah haji tahun ini oleh Menag, ialah kekecewaan yang dirasakan oleh para calon jamaah haji yang telah lama menunggu giliran keberangkatan mereka ke tanah suci. Para calon jemaah haji hanya bisa bersabar dan berdoa agar masalah ini segera cepat teratasi dan mereka dapat pergi ketanah suci.
Pembatalan keberangkatan haji memang harus disikapi dengan sabar, namun juga wajib dikritisi alasan pembatalan tersebut? Atas pertimbangan apa? Yang terkesan begitu tergesa-gesa.
Dalam hal ini pemerintah tetap tegas untuk membatalkan pemberangkatan jamaah haji. Seperti dilansir tribunnews.com (09/06/2020), Menteri Agama, Fachrul Razi memastikan kebijakannya yang membatalkan pemberangkatan jemaah haji tahun 2020 ini tidak akan berubah. Keputusan tersebut akan tetap diambil, meski seandainya Pemerintah Arab Saudi membuka layanan ibadah haji.
Kesan yang Muncul dari Pembatalan Haji
Sikap pemerintah yang terkesan kukuh dengan pembatalan pemberangkatan jama'ah haji tahun 2020 meskipun ada kemungkinan pemerintah Arab Saudi membuka layanan ibadah haji, justru semakin menimbulkan banyak dugaan. Setidaknya ada tiga hal yang dapat disimpulkan.
Dugaan pertama bahwa pemerintah terkesan tebang pilih dan tidak konsisten dalam kebijakan yang diambilnya terlihat antara mengeluarkan kebijakan new normal dengan alasan menstabilkan kembali ekonomi yang terdampak corona, dengan kebijakan pembatalan haji yang alasanya demi keselamatan nyawa rakyat. Hal tersebut sangat jelas menampakan bahwa keputusan membatalkan pelaksanaan haji tak sesuai dengan kebijakan “new normal” yang akan diberlakukan.
Mall, pasar, kantor, bandara dan sejumlah tempat yang berpotensi terjadi kerumunan sudah mulai dibuka, asalkan menjalankan protokol kesehatan, walaupun kondisi pandemi di negeri ini belum mereda. Sementara pemberangkatan haji malah dibatalkan, seharusnya, jika ingin konsisten terhadap arah kebijakan dengan tetap memberlakukan new normal, maka pemerintah tidak perlu takut pula dengan pemberangkatan haji, asalkan dengan protokol kesehatan penuh.
Selain itu, pihak Saudi pun belum memutuskan apakah dibuka atau ditutup. Seharusnya keputusan jemaah berangkat atau tidak, diputuskan setelah otoritas Saudi memberikan keputusan.
Dugaan kedua bahwa pemerintah tidak mau ‘repot’ dengan konsekuensi menyelenggarakan atau melayani jamaah di era pandemi (dengan protocol yang lebih berat). Tidaklah aneh jika hal itu terjadi, karena sistem kapitalis sekuler melahirkan para penguasa yang berorientasi materi dan mementingkan diri sendiri serta kelompoknya. Asas yang mereka terapkan hanya asas kepentingan atau manfaat semata, bukan berlandaskan keimanan kepada Allah SWT.
Pelayanan terhadap kepentingan rakyat bukanlah suatu hal yang harus diutamakan karena tidak menguntungkan baginya. Rakyat hanya dipakai sebagai alat untuk meraih kekuasaan semata. Ketika tujuannya telah tercapai, rakyat dicampakan begitu saja, tak lagi di perhatikan dan diurusi dengan sungguh-sungguh. Bahkan rakyat tidak masuk dalam daftar kepentingan yang harus mereka urusi dengan tanggung jawab penuh.
Bagi mereka kepentingan pengusaha diatas segalanya, maka tidak heran jika pemerintah dalam sistem sekuler kapitalis tidak mau direpotkan dengan mengurusi kepentingan rakyat yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka.
Dugaan terakhir bahwa pemerintah hendak mengambil untung dari dana haji yang tertahan karena tidak jadi diberangkatkan, melihat fakta bahwa dana haji alokasi tahun ini menjadi dana "nganggur".
Maka dalam situasi ekonomi yang sulit di tengah pandemi ini yang membutuhkan banyak pemasukan, dana haji tersebut rentan digunakan untuk keperluan lain. Misalnya, dalam satu pernyataan BPKH mengatakan kepada BI bahwa dana haji bisa digunakan untuk stabilisasi rupiah.
Bersambung ke bagian II
Tags
Opini