Oleh : Iin, S, SP
Virus covid-19 yang mewabah di penjuru dunia, termasuk Indonesia belum juga diketahui kapan akan berakhir. Korban jiwa sudah tidak terhitung jumlahnya. Kemerosotan ekonomi pun tak bisa dihindari, mulai dari perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, peningkatan belanja negara dan pembiayaan, serta memburuknya sistem keuangan.
Korban nyawa yang terus meningkat tidak menjadikan pemerintah mengevaluasi kegagalannya dalam mengatasi bencana, justru pemerintah membuat Perppu baru dengan alasan menyelesaikan persoalan ekonomi yang tengah terjadi.
Selasa 12 Mei 2020, dalam rapat paripurna DPR telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 tahun 2020. Berisi tentang Kebijakan Keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan covid-19. Dalam pengesahannya pun menuai pro dan kontra (Pikiran Rakyat.com, 15/5/2020)
Perppu No 1 tahun 2020 ditandatangani Presiden Joko Widodo. Sebagai landasan hukum Kebijakan Keuangan ditengah situasi yang genting akibat pandemi covid-19 karena kekosongan hukum. Dalam aturan tersebut, Pemerintah menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 sebesar Rp. 405,1 Triliun.
Perppu Dibuat Untuk Siapa?
Alih-alih untuk menyelamatkan negeri dari krisis ekonomi akibat pandemi virus Corona, adanya Perppu penanganan virus Corona disahkan sebagai undang-undang akan membentuk "Imunitas Absolut" penguasa dalam pemerintahan. Keuntungannya adalah penguasa "kebal hukum". Mereka menggunakan uang negara Rp. 405,1 Triliun tanpa bisa dituntut hukum. Disaat yang sama pejabat negara di sektor keuangan dan investasi berbicara untuk memanfaatkan momentum wabah untuk melakukan reformasi besar-besaran di pemerintah. Bukan untuk mengakhiri korupsi tapi justru memuluskan nafsu korporasi dan elit pemilik kursi.
Sejatinya kegagalan mengatasi wabah dan terpuruknya ekonomi karena negeri-negeri Islam tidak berpegang teguh terhadap ajaran agamanya. Justru lebih memilih mengadopsi sistem kapitalisme yang telah nyata membawa kehancuran.
Kapitalisme yang menjauhkan agama dari kehidupan, membuat agama tidak lagi menjadi tolak ukur dalam mengambil kebijakan. Termasuk hukuman bagi para koruptor, hukumnya tidak akan memberikan efek jera malah akan melanggengkan korupsi berjamaah diantara penguasa.
Dari sikap pemerintah di era wabah yang kebijakannya cenderung menguntungkan penguasa untuk mereformasi besar-besaran justru bisa membawa pada semakin kuatnya cengkraman kapitalis atau sebaliknya mendorong umat meninggalkan sistem Kapitalisme karena terungkap kebobrokannya. Atau, akan memilih sistem Islam sebagai satu-satunya sumber hukum dan dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi didalam masyarakat maupun negara.
Karena Islam telah terbukti selama ratusan tahun telah membawa umat kepada peradapan gemilang yang membawa kemaslahatan kepada seluruh umat. Semua itu akan terwujud jika ada kesadaran dari umat untuk melakukan perubahan secara revolusioner untuk kembali kepada sistem Islam.