Penolakan 'New Normal' PP Muhammadiyah Akankah ke Pemakzulan?




Oleh : Nur Fitriyah Asri
Pengurus BKMT Kabupaten Jember, Pegiat Literasi Opini AMK

Wacana new normal  mendapat penolakan keras dari semua elemen masyarakat. Hal ini disebabkan karena memunculkan kebingungan. Wajar jika publik menilai, "Pemerintah lebih mementingkan ekonomi dari pada nyawa rakyatnya." Ormas Muhammadiyah salah satu di antaranya yang menolak new normal.

Presiden Joko Widodo tampaknya nekad menerapkan new normal sebagai jalan tengah membangkitkan ekonomi yang terpuruk akibat pandemi Corona. Namun, penerapan ini dinilai kontradiktif karena kasus Corona justru terus melesat tinggi hingga hari ini. 

"Laporan BNPB menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 masih belum dapat diatasi,   Apakah semuanya sudah dikaji secara valid dari para ahli epidemiologi?," ucap Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, dalam rilisnya.  (kumparan.new. 28/5/2020)

Pernyataan penolakan terhadap anjuran berdamai dengan Covid-19 dipertegas dengan pernyataan resmi. Hal ini dibenarkan dan diperkuat oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti. Apalagi pemerintah akan menerjunkan TNI dan Polri di titik-titik keramaian. Jumlah aparat yang dikerahkan mencapai 349 ribu di 25 kapupaten/kota. Pengerahan aparat justru, "Membentuk situasi tidak normal dan cenderung menyusutkan kebebasan sipil," kata Kepala Biro Penelitian Pemantauan dan Dokumentasi Kontras Rivanlle Anandar.

Begitu juga menurut Dokter Spesialis Paru RSUP Persahabatan, dr. Erlina Burhan, Indonesia belum siap new normal, jika melihat prasyarat yang ditentukan oleh beberapa kriteria yang ditetapkan oleh WHO (Organisasi Kesehatan Dunia). Antara lain:
Poin pertama, negara tersebut sudah terbukti bahwa transmisi Covid-19 telah terkontrol. Apakah Indonesia termasuk di dalamnya?
Kedua, kapasitas sistem kesehatan mampu untuk mendeteksi, menguji, mengisolasi, dan menangani setiap kasus, serta menelusuri kontak.
Ketiga, adalah upaya pencegahan harus diterapkan di tempat kerja, sekolah, dan tempat umum lain. Misalnya pembatasan jarak, menyediakan fasilitas cuci tangan, dan etika (higiene) respirasi.

Dilematis memang, update perkembangan Corona di Indonesia terbaru, total kasus 28.233, (Kamis, 4 Juni 2020). Di sisi lain, pemerintah mulai menggaungkan new normal. Padahal dalam sejarahnya terbukti bahwa pelonggaran PSBB yang dipaksakan, menyebabkan ledakan gelombang kedua Covid-19, yang terjadi di Perancis, di Korea Selatan, di Wuhan dan di beberapa tempat lain di dunia. Setelah dibuka diadakan penutupan lagi. (Bbc.com.Indonesia. 29/5/2020)

Itulah alasan mengapa new normal ditolak. Jika diterapkan sungguh sembrono dan tidak manusiawi. New normal sangat prematur dan tentu berisiko tinggi. Di pihak lain ada nasib tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan 
korban Covid-19 tidak mendapat perhatian dan dikorbankan. Juga adanya kelompok rawan tertular yaitu balita, penderita penyakit penyerta, kelompok kurang gizi, orang-orang tua dan masih banyak lagi. Apakah pemerintah akan mempertaruhkan nyawa rakyatnya hanya karena lebih mementingkan ekonomi?

Jika itu pilihannya, sama dengan pemerintah dalam upaya memutus rantai penyebaran Covid-19, kembali ke opsi pertama yaitu Herd Immunity, merupakan kekebalan kelompok yang terbentuk secara alami ataupun melalui imunisasi (belum diketemukan vaksinnya). Jadi pilihannya kekebalan secara alami artinya dengan membiarkan virus menginfeksi sebagian besar orang. Orang yang terinfeksi jika sembuh akan menjadi kebal. Sehingga wabah akan hilang dengan sendirinya, karena virus tidak menemukan tempat untuk dihinggapi. Bahayanya bagi yang rentan, mereka akan kalah, ibarat mati bunuh diri karena Covid-19 sangat mematikan.
Sebenarnya sedari awal mendapat penolakan keras karena dinilai tidak manusiawi.

Betapa tidak, ibaratnya rakyat dilepas di hutan belantara disuruh mencari hidup sendiri, dengan prinsip: "Hidup atau mati terserah" artinya dengan tingginya angka korban terpapar virus Corona, rakyat dibebaskan beraktivitas normal seperti seakan-akan tidak ada wabah. Apakah ini tidak berbahaya? Di sisi lain rakyat sulit untuk menaati protokol kesehatan. Itulah bukti jahatnya sistem demokrasi kapitalisme. Sekeji waktu pemilu dulu,  hilangnya nyawa KPPS 700 orang lebih dan hilangnya puluhan nyawa mahasiswa ketika unjuk rasa dianggap angin lalu saja.

Sangat berlawanan dengan Islam. Pemimpin atau khalifah diwajibkan mengatur urusan umat dengan hukum Islam dan sebagai junnah (perisai) yang melindungi rakyatnya. Karena merupakan kewajiban yang dipikul di pundaknya, di akhirat nanti akan dimintai pertanggungjawaban. 
Dalam Islam nyawa satu orang sangatlah penting. Sebagaimana sabda Rasulullah:
"Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak." (HR. Nasa'i, Tirmidzi)

Anehnya, ketidakadilan juga ditampakkan oleh rezim ini. Sudah jelas-jelas hasil laporan BNPB menyatakan masih tinggi dan belum bisa diatasi.
Namun, pemerintah ngotot  melonggarkan PSBB, tapi hanya terbatas kalangan tertentu. Misalnya, yang dibuka hanya di mal-mal,  transportasi (bandara, terminal, pelabuhan), perusahaan-perusahan, tempat hiburan, rekreasi, hotel, dan lainnya. Sedangkan tempat-tempat ibadah yaitu masjid, surau, dan lainnya masih ditutup. Usaha-usaha kecil (petani, peternak, nelayan, pasar tradisional dan lainnya juga ditutup. Nyata benar jika pemerintah berpihak kepada kapitalis dan korporasi. Di samping itu ditengarai terjadi diskriminasi terhadap Islam. Wajar jika berkembang rumor rezim dinilai tidak adil dan anti-Islam

Sejatinya penguasalah yang menyulut gesekan di tengah masyarakat, dan tanpa disadari kebijakan-kebijakannya terkait Covid-19 sama dengan   meneror rakyatnya. Akibatnya rakyat ketakutan. 

Begitu juga rezim dinilai tidak amanah. Seharusnya ketika ada wabah seperti ini, kewajiban pemerintah bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya yang dilockdown atau di PSBB. Nyatanya pemerintah abai, terbukti sampai ada yang meninggal dunia akibat kelaparan. Artinya rezim mengkhianati konstitusi, karena semua itu sudah diatur dalam UU. Nomor 6 Tahun 2018. Sayangnya media tutup mata dan telinga, tidak mempublikasikan peristiwa-peristiwa tersebut atau takut  diberedel 

Melihat fenomena di atas, menjadi perhatian dan sorotan publik dan banyak tokoh, bahkan mantan Presiden RI SBY turut mengkritisi. Begitu juga Din Syamsuddin Ketum MUI, Mantan Ketua Umum Muhammadiyah,  menyampaikan wacana tentang pemakzulan.

Sebagaimana yang dilansir oleh, tempo.com. Dosen Pemikiran Politik Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Din Syamsuddin, mengatakan pemakzulan pemimpin merupakan sesuatu yang dimungkinkan dalam konteks politik Islam. Mengutip pandangan pemikir Islam, Al-Mawardi. Din menjelaskan ada tiga syarat untuk memakzulkan kepala negara.

Pertama, tidak adanya keadilan. Sebab, berlaku adil merupakan syarat utama seorang pemimpin. Karena itu jika hal ini tidak terpenuhi maka layak untuk diberhentikan.
"Ketika pemimpin tidak berlaku adil, hanya menciptakan satu kelompok lebih kaya, atau ada kesenjangan ekonomi," katanya dalam diskusi daring 'Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas
Pemakzulan Presiden'."

Syarat kedua, pemimpin bisa diberhentikan jika tidak memiliki ilmu pengetahuan atau tidak mempunyai visi kepemimpinan yang kuat dalam mewujudkan cita-cita nasional. Dalam konteks Indonesia, hal ini sama dengan saat pemimpin itu tidak memahami esensi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
"Kalau ada pemberangusan diskusi, mimbar akademik, itu secara esensial bertentangan dengan nilai mencerdaskan kehidupan berbangsa," ujar Din.

Adapun syarat yang terakhir seorang pemimpin bisa dimakzulkan adalah ketika dia kehilangan kewibawaannya dan kemampuan memimpin terutama dalam masa kritis.

Selain itu, ucap Din, Imam Al-Ghazali pernah menyatakan setuju dan memungkinkan adanya pemakzulan jika ada ketidakadilan atau kezaliman. "Terutama orientasi represif," kata mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah.

Jika dilihat dari persyaratan pemakzulan (pemecatan) dalam perspektif Islam sudah memenuhi syarat, rezim bisa dimakzulkan (dipecat diberhentikan).

Mumcul pertanyaan, bagaimana dalam sistem demokrasi?
Ibaratnya seperti menegakkan benang basah, sulit! Seperti pengakuan Anggota Komisi I DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan TB Hasanuddin, "Tidak mudah menurunkan presiden pilihan rakyat. Proses pemakzulan presiden cukup sulit. Seperti mimpi di siang hari bolong.  Sebab, dengan konfigurasi koalisi partai politik saat ini, proses pemakzulan presiden menjadi tidak mungkin." Ujarnya.

Itulah fakta, bahwa dalam sistem demokrasi adanya konspirasi (kongkalikong) adalah sesuatu hal yang lumrah. Karena asasnya bukan dibangun dari akidah Islam, tapi asas manfaat. Jadi hukum dibuat oleh manusia sendiri berdasarkan kepentingan hawa nafsunya (manfaat), bukan berlandasan halal dan haram. Adapun keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.  Untuk  memenangkannya dibentuklah koalisi.

Wajar kalau dalam sistem demokrasi sarat dengan konspirasi atau kongkalikong. Saling mencari keuntungan dengan cara korupsi berjamaah, memanipulasi data, pembohongan dan lainnya. Juga mencari keselamatan dengan saling melindungi dan menutupi kesalahannya.
Bukankah hukum bisa diperjualbelikan?

Walhasil, sistem demokrasi sampai kapan pun tidak akan bisa menyelesaikan problematika umat, justru malah menambah masalah, apalagi menyejahterakan rakyat, utopis!

Jika terjadi pemakzulan presiden, sama dengan mengulang peristiwa reformasi yang pernah terjadi, hanya menghasilkan kebebasan yang kebablasan, karena tidak dibarengi dengan perubahan sistem. 

Hanya dengan menerapkan Islam kafah, dalam institusi khilafah, semua masalah tersolusi dengan tuntas. Termasuk menghentikan wabah Covid -19 dengan lokcdown syar'i. Semuanya sudah dicontohkan Rasulullah. Wajib bagi umat Islam untuk mensuritauladaninya. Dengan demikian rahmatan lil alamin akan menyebar ke seluruh penjuru dunia. 

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak